Minggu, 07 Maret 2010

PERSPEKTIF DALAM PSIKOLOGI SOSIAL

PERSPEKTIF DALAM PSIKOLOGI SOSIAL

Hasan Mustafa

Pengantar :

Tulisan ini disusun sebagai upaya membantu mahasiswa memahami isi mata kuliah Psikologi Sosial pada program studi Administrasi Negara Fisip Unpar. Acuan uraian ini adalah buku yang ditulis oleh James A. Wiggins, Beverly B. Wiggins, dan James Vander Zanden ( 1994), dilengkapi oleh sumber bacaan lain. Topik lain yang juga merupakan pokok bahasan dalam mata kuliah tersebut akan segera disusun. Semoga bermanfaat.

Akar awal Psikologi Sosial

Walau psikologi sosial merupakan disiplin yang telah lama ada ( sejak Plato dan Aristotle), namun secara resmi, disiplin ini menjadi satu ilmu yang mandiri baru sejak tahun 1908. Pada tahun itu ada dua buku teks yang terkenal yaitu “Introduction to Social Psychology” ditulis oleh William McDougall – seorang psikolog – dan “Social Psychology : An Outline and Source Book , ditulis oleh E.A. Ross – seorang sosiolog.

Berdasarkan latar belakang penulisnya maka dapat dipahami bahwa psikologi sosial bisa di”claim” sebagai bagian dari psikologi, dan bisa juga sebagai bagian dari sosiologi.

Psikologi sosial juga merupakan pokok bahasan dalam sosiologi karena dalam sosiologi dikenal ada dua perspektif utama, yaitu perspektif struktural makro yang menekankan kajian struktur sosial, dan perspektif mikro yang menekankan pada kajian individualistik dan psikologi sosial dalam menjelaskan variasi perilaku manusia.. Di Amerika disiplin ini banyak dibina oleh jurusan sosiologi – di American Sociological Association terdapat satu bagian yang dinamakan “social psychological section“, sedangkan di Indonesia, secara formal disiplin psikologi sosial di bawah binaan fakultas psikologi, namun dalam prakteknya tidak sedikit para pakar sosiologi yang juga menguasai disiplin ini sehingga dalam berbagai tulisannya, cara pandang psikologi sosial ikut mewarnainya.

Apakah perbedaan di antara Sosiologi dan Psikologi ??

Kita sering berpikir bahwa yang namanya dunia psikologi adalah dunia yang

berkaitan dengan persoalan perasaan, motivasi, kepribadian, dan yang sejenisnya.

Dan kalau berpikir tentang sosiologi, secara umum cenderung memikirkan persoalan

kemasyarakatan. Kajian utama psikologi adalah pada persoalan kepribadian, mental,

perilaku, dan dimensi-dimensi lain yang ada dalam diri manusia sebagai individu.

Sosiologi lebih mengabdikan kajiannya pada budaya dan struktur sosial yang

keduanya mempengaruhi interaksi, perilaku, dan kepribadian. Kedua bidang ilmu

tersebut bertemu di daerah yang dinamakan psikologi sosial . Dengan demikian para

psikolog berwenang merambah bidang ini, demikian pula para sosiolog. Namun

karena perbedaan latar belakang maka para psikolog akan menekankan pengaruh

situasi sosial terhadap proses dasar psikologikal – persepsi kognisi emosi dan

2

Pertanyaan yang paling mendasar yang senantiasa menjadi kajian dalam psikologi

sosial adalah : ” Bagaimana kita dapat menjelaskan pengaruh orang lain terhadap perilaku

kita?’”. Misalnya di Prancis, para analis sosial sering mengajukan pertanyaan mengapa

pada saat revolusi Prancis, perilaku orang menjadi cenderung emosional ketimbang

rasional? Demikian juga di Jerman dan Amerika Serikat dilakukan studi tentang

kehadiran orang lain dalam memacu prestasi seseorang . Misalnya ketika seorang anak

belajar seorang diri dan belajar dalam kelompok, bisa menunjukan prestasi lebih baik

dibandingkan ketika mereka belajar sendiri. Gordon Allport (1968) menjelaskan bahwa

seorang boleh disebut sebagai psikolog sosial jika dia “berupaya memahami,

menjelaskan, dan memprediksi bagaimana pikiran, perasaan, dan tindakan individuindividu

dipengaruhi oleh pikiran, perasaan, dan tindakan-tindakan orang lain yang

dilihatnya, atau bahkan hanya dibayangkannya”

Teori-teori awal yang dianggap mampu menjelaskan perilaku seseorang, difokuskan

pada dua kemungkinan (1) perilaku diperoleh dari keturunan dalam bentuk instinkinstink

biologis – lalu dikenal dengan penjelasan “nature” - dan (2) perilaku bukan

diturunkan melainkan diperoleh dari hasil pengalaman selama kehidupan mereka -

3

dikenal dengan penjelasan “nurture”. Penjelasan “nature” dirumuskan oleh ilmuwan

Inggris Charles Darwin pada abad kesembilan belas di mana dalam teorinya

dikemukakan bahwa semua perilaku manusia merupakan serangkaian instink yang

diperlukan agar bisa bertahan hidup. Mc Dougal sebagai seorang psikolog cenderung

percaya bahwa seluruh perilaku sosial manusia didasarkan pada pandangan ini

(instinktif).

Namun banyak analis sosial yang tidak percaya bahwa instink merupakan sumber

perilaku sosial. Misalnya William James, seorang psikolog percaya bahwa walau instink

merupakan hal yang mempengaruhi perilaku sosial, namun penjelasan utama cenderung

ke arah kebiasaan - yaitu pola perilaku yang diperoleh melalui pengulangan sepanjang

kehidupan seseorang. Hal ini memunculkan “nurture explanation”. Tokoh lain yang juga

seorang psikolog sosial, John Dewey mengatakan bahwa perilaku kita tidak sekedar

muncul berdasarkan pengalaman masa lampau, tetapi juga secara terus menerus berubah

atau diubah oleh lingkungan – “situasi kita” – termasuk tentunya orang lain.

Berbagai alternatif yang berkembang dari kedua pendekatan tersebut kemudian

memunculkan berbagai perspektif dalam psikologi sosial – seperangkat asumsi dasar

tentang hal paling penting yang bisa dipertimbangkan sebagai sesuatu yang bisa

digunakan untuk memahami perilaku sosial. Ada empat perspektif, yaitu : perilaku

(behavioral perspectives) , kognitif (cognitive perspectives), stuktural (structural

perspectives), dan interaksionis (interactionist perspectives).

Perspektif perilaku dan kognitif lebih banyak digunakan oleh para psikolog sosial

yang berakar pada psikologi. Mereka sering menawarkan jawaban yang berbeda atas

sebuah pertanyaan : “Seberapa besar perhatian yang seharusnya diberikan oleh para

psikolog sosial pada kegiatan mental dalam upayanya memahami perilaku sosial?”.

Perspektif perilaku menekankan, bahwa untuk dapat lebih memahami perilaku seseorang,

seyogianya kita mengabaikan informasi tentang apa yang dipikirkan oleh seseorang.

Lebih baik kita memfokuskan pada perilaku seseorang yang dapat diuji oleh pengamatan

kita sendiri. Dengan mempertimbangkan proses mental seseorang, kita tidak terbantu

memahami perilaku orang tersebut, karena seringkali proses mental tidak reliabel untuk

memprediksi perilaku. Misalnya tidak semua orang yang berpikiran negatif tentang

sesuatu, akan juga berperilaku negatif. Orang yang bersikap negatif terhadap bangsa A

4

misalnya, belum tentu dia tidak mau melakukan hubungan dengan bangsa A tersebut.

Intinya pikiran, perasaan, sikap (proses mental) bukan sesuatu yang bisa menjelaskan

perilaku seseorang.

Sebaliknya, perspektif kognitif menekankan pada pandangan bahwa kita tidak bisa

memahami perilaku seseorang tanpa mempelajari proses mental mereka. Manusia tidak

menanggapi lingkungannya secara otomatis. Perilaku mereka tergantung pada bagaimana

mereka berpikir dan mempersepsi lingkungannya. Jadi untuk memperoleh informasi yang

bisa dipercaya maka proses mental seseorang merupakan hal utama yang bisa

menjelaskan perilaku sosial seseorang.

Perspektif struktural dan interaksionis lebih sering digunakan oleh para psikolog sosial

yang berasal dari disiplin sosiologi. Pertanyaan yang umumnya diajukan adalah : “

Sejauhmana kegiatan-kegiatan individual membentuk interaksi sosial ?”. Perspektif

struktural menekankan bahwa perilaku seseorang dapat dimengerti dengan sangat baik

jika diketahui peran sosialnya. Hal ini terjadi karena perilaku seseorang merupakan reaksi

terhadap harapan orang-orang lain. Seorang mahasiswa rajin belajar, karena masyarakat

mengharapkan agar yang namanya mahasiswa senantiasa rajin belajar. Seorang ayah rajin

bekerja mencari nafkah guna menghidupi keluarganya. Mengapa ? Karena masyarakat

mengharapkan dia berperilaku seperti itu, jika tidak maka dia tidak pantas disebut sebagai

“seorang ayah”. Perspektif interaksionis lebih menekankan bahwa manusia merupakan

agen yang aktif dalam menetapkan perilakunya sendiri, dan mereka yang membangun

harapan-harapan sosial. Manusia bernegosiasi satu sama lainnya untuk membentuk

interaksi dan harapannya. Untuk lebih jelas, di bawah ini diuraikan satu persatu keempat

prespektif dalam psikologi sosial.

1. Perspektif Perilaku (Behavioral Perspective)

Pendekatan ini awalnya diperkenalkan oleh John B. Watson (1941, 1919).

Pendekatan ini cukup banyak mendapat perhatian dalam psikologi di antara tahun 1920-

an s/d 1960-an. Ketika Watson memulai penelitiannya, dia menyarankan agar

pendekatannya ini tidak sekedar satu alternatif bagi pendekatan instinktif dalam

memahami perilaku sosial, tetapi juga merupakan alternatif lain yang memfokuskan pada

pikiran, kesadaran, atau pun imajinasi. Watson menolak informasi instinktif semacam itu,

5

yang menurutnya bersifat “mistik”, “mentalistik”, dan “subyektif”. Dalam psikologi

obyektif maka fokusnya harus pada sesuatu yang “dapat diamati” (observable), yaitu

pada “apa yang dikatakan (sayings) dan apa yang dilakukan (doings)”. Dalam hal ini

pandangan Watson berbeda dengan James dan Dewey, karena keduanya percaya bahwa

proses mental dan juga perilaku yang teramati berperan dalam menyelaskan perilaku

sosial.

Para “behaviorist” memasukan perilaku ke dalam satu unit yang dinamakan

“tanggapan” (responses), dan lingkungan ke dalam unit “rangsangan” (stimuli). Menurut

penganut paham perilaku, satu rangsangan dan tanggapan tertentu bisa berasosiasi satu

sama lainnya, dan menghasilkan satu bentuk hubungan fungsional. Contohnya, sebuah

rangsangan ” seorang teman datang “, lalu memunculkan tanggapan misalnya, “tersenyum”.

Jadi seseorang tersenyum, karena ada teman yang datang kepadanya. Para

behavioris tadi percaya bahwa rangsangan dan tanggapan dapat dihubungkan tanpa

mengacu pada pertimbangan mental yang ada dalam diri seseorang. Jadi tidak terlalu

mengejutkan jika para behaviorisme tersebut dikategorikan sebagai pihak yang

menggunakan pendekatan “kotak hitam (black-box)” . Rangsangan masuk ke sebuah

kotak (box) dan menghasilkan tanggapan. Mekanisme di dalam kotak hitam tadi -

srtuktur internal atau proses mental yang mengolah rangsangan dan tanggapan – karena

tidak dapat dilihat secara langsung (not directly observable), bukanlah bidang kajian para

behavioris tradisional.

Kemudian, B.F. Skinner (1953,1957,1974) membantu mengubah fokus behaviorisme

melalui percobaan yang dinamakan “operant behavior” dan “reinforcement“. Yang

dimaksud dengan “operant condition” adalah setiap perilaku yang beroperasi dalam suatu

lingkungan dengan cara tertentu, lalu memunculkan akibat atau perubahan dalam

lingkungan tersebut. Misalnya, jika kita tersenyum kepada orang lain yang kita hadapi,

lalu secara umum, akan menghasilkan senyuman yang datangnya dari orang lain tersebut.

Dalam kasus ini, tersenyum kepada orang lain tersebut merupakan “operant behavior“.

Yang dimaksud dengan “reinforcement” adalah proses di mana akibat atau perubahan

yang terjadi dalam lingkungan memperkuat perilaku tertentu di masa datang . Misalnya,

jika kapan saja kita selalu tersenyum kepada orang asing (yang belum kita kenal

sebelumnya), dan mereka tersenyum kembali kepada kita, maka muncul kemungkinan

6

bahwa jika di kemudian hari kita bertemu orang asing maka kita akan tersenyum. Perlu

diketahui, reinforcement atau penguat, bisa bersifat positif dan negatif. Contoh di atas

merupakan penguat positif. Contoh penguat negatif, misalnya beberapa kali pada saat kita

bertemu dengan orang asing lalu kita tersenyum dan orang asing tersebut diam saja atau

bahkan menunjukan rasa tidak suka, maka dikemudian hari jika kita bertemu orang asing

kembali, kita cenderung tidak tersenyum (diam saja).

Dalam pendekatan perilaku terdapat teori-teori yang mencoba menjelaskan secara

lebih mendalam mengapa fenomena sosial yang diutarakan dalam pendekatan perilaku

bisa terjadi. Beberapa teori antara lain adalah Teori Pembelajaran Sosial (Social Learning

Theory) dan Teori Pertukaran Sosial (Social Exchange Theory).

a. Teori Pembelajaran Sosial.

Di tahun 1941, dua orang psikolog – Neil Miller dan John Dollard – dalam laporan

hasil percobaannya mengatakan bahwa peniruan (imitation) di antara manusia tidak

disebabkan oleh unsur instink atau program biologis. Penelitian kedua orang tersebut

mengindikasikan bahwa kita belajar (learn) meniru perilaku orang lain. Artinya peniruan

tersebut merupakan hasil dari satu proses belajar, bukan bisa begitu saja karena instink.

Proses belajar tersebut oleh Miller dan Dollard dinamakan “social learning ” -

“pembelajaran sosial”. Perilaku peniruan (imitative behavior) kita terjadi karena kita

merasa telah memperoleh imbalan ketika kita meniru perilaku orang lain, dan

memperoleh hukuman ketika kita tidak menirunya. Agar seseorang bisa belajar

mengikuti aturan baku yang telah ditetapkan oleh masyarakat maka “para individu harus

dilatih, dalam berbagai situasi, sehingga mereka merasa nyaman ketika melakukan apa

yang orang lain lakukan, dan merasa tidak nyaman ketika tidak melakukannya.”,

demikian saran yang dikemukakan oleh Miller dan Dollard.

Dalam penelitiannya, Miller dan Dollard menunjukan bahwa anak-anak dapat belajar

meniru atau tidak meniru seseorang dalam upaya memperoleh imbalan berupa permen.

Dalam percobaannya tersebut, juga dapat diketahui bahwa anak-anak dapat membedakan

orang-orang yang akan ditirunya. Misalnya jika orang tersebut laki-laki maka akan

ditirunya, jika perempuan tidak. Lebih jauh lagi, sekali perilaku peniruan terpelajari

(learned), hasil belajar ini kadang berlaku umum untuk rangsangan yang sama. Misalnya,

7

anak-anak cenderung lebih suka meniru orang-orang yang mirip dengan orang yang

sebelumnya memberikan imbalan. Jadi, kita mempelajari banyak perilaku “baru” melalui

pengulangan perilaku orang lain yang kita lihat. Kita contoh perilaku orang-orang lain

tertentu, karena kita mendapatkan imbalan atas peniruan tersebut dari orang-orang lain

tertentu tadi dan juga dari mereka yang mirip dengan orang-orang lain tertentu tadi, di

masa lampau.

Dua puluh tahun berikutnya, Albert Bandura dan Richard Walters (1959, 1963),

mengusulkan satu perbaikan atas gagasan Miller dan Dollard tentang belajar melalui

peniruan. Bandura dan Walters menyarankan bahwa kita belajar banyak perilaku melalui

peniruan, bahkan tanpa adanya penguat (reinforcement) sekalipun yang kita terima. Kita

bisa meniru beberapa perilaku hanya melalui pengamatan terhadap perilaku model, dan

akibat yang ditimbulkannya atas model tersebut. Proses belajar semacam ini disebut

“observational learning” – pembelajaran melalui pengamatan. Contohnya, percobaan

Bandura dan Walters mengindikasikan bahwa ternyata anak-anak bisa mempunyai

perilaku agresif hanya dengan mengamati perilaku agresif sesosok model, misalnya

melalui film atau bahkan film karton.

Bandura (1971), kemudian menyarankan agar teori pembelajaran sosial seyogianya

diperbaiki lebih jauh lagi. Dia mengatakan bahwa teori pembelajaran sosial yang benarbenar

melulu menggunakan pendekatan perilaku dan lalu mengabaikan pertimbangan

proses mental, perlu dipikirkan ulang. Menurut versi Bandura, maka teori pembelajaran

sosial membahas tentang (1) bagaimana perilaku kita dipengaruhi oleh lingkungan

melalui penguat (reinforcement) dan observational learning, (2) cara pandang dan cara

pikir yang kita miliki terhadap informasi, (3) begitu pula sebaliknya, bagaimana perilaku

kita mempengaruhi lingkungan kita dan menciptakan penguat (reinforcement) dan

observational opportunity - kemungkinan bisa diamati oleh orang lain.

b. Teori Pertukaran Sosial (Social Exchange Theory)

Tokoh-tokoh yang mengembangkan teori pertukaran sosial antara lain adalah

psikolog John Thibaut dan Harlod Kelley (1959), sosiolog George Homans (1961),

Richard Emerson (1962), dan Peter Blau (1964). Berdasarkan teori ini, kita masuk ke

dalam hubungan pertukaran dengan orang lain karena dari padanya kita memperoleh

8

imbalan. Dengan kata lain hubungan pertukaran dengan orang lain akan menghasilkan

suatu imbalan bagi kita. Seperti halnya teori pembelajaran sosial, teori pertukaran sosial

pun melihat antara perilaku dengan lingkungan terdapat hubungan yang saling

mempengaruhi (reciprocal). Karena lingkungan kita umumnya terdiri atas orang-orang

lain, maka kita dan orang-orang lain tersebut dipandang mempunyai perilaku yang saling

mempengaruhi Dalam hubungan tersebut terdapat unsur imbalan (reward), pengorbanan

(cost) dan keuntungan (profit). Imbalan merupakan segala hal yang diperloleh melalui

adanya pengorbanan, pengorbanan merupakan semua hal yang dihindarkan, dan

keuntungan adalah imbalan dikurangi oleh pengorbanan. Jadi perilaku sosial terdiri atas

pertukaran paling sedikit antar dua orang berdasarkan perhitungan untung-rugi. Misalnya,

pola-pola perilaku di tempat kerja, percintaan, perkawinan, persahabatan – hanya akan

langgeng manakala kalau semua pihak yang terlibat merasa teruntungkan. Jadi perilaku

seseorang dimunculkan karena berdasarkan perhitungannya, akan menguntungkan bagi

dirinya, demikian pula sebaliknya jika merugikan maka perilaku tersebut tidak

ditampilkan.

Berdasarkan keyakinan tersebut Homans dalam bukunya “Elementary Forms of Social

Behavior, 1974 mengeluarkan beberapa proposisi dan salah satunya berbunyi :”Semua

tindakan yang dilakukan oleh seseorang, makin sering satu bentuk tindakan tertentu

memperoleh imbalan, makin cenderung orang tersebut menampilkan tindakan tertentu

tadi “. Proposisi ini secara eksplisit menjelaskan bahwa satu tindakan tertentu akan

berulang dilakukan jika ada imbalannya. Proposisi lain yang juga memperkuat proposisi

tersebut berbunyi : “Makin tinggi nilai hasil suatu perbuatan bagi seseorang, makin

besar pula kemungkinan perbuatan tersebut diulanginya kembali”. Bagi Homans, prinsip

dasar pertukaran sosial adalah “distributive justice” – aturan yang mengatakan bahwa

sebuah imbalan harus sebanding dengan investasi. Proposisi yang terkenal sehubungan

dengan prinsip tersebut berbunyi ” seseorang dalam hubungan pertukaran dengan orang

lain akan mengharapkan imbalan yang diterima oleh setiap pihak sebanding dengan

pengorbanan yang telah dikeluarkannya – makin tingghi pengorbanan, makin tinggi

imbalannya – dan keuntungan yang diterima oleh setiap pihak harus sebanding dengan

investasinya - makin tinggi investasi, makin tinggi keuntungan”.

9

Inti dari teori pembelajaran sosial dan pertukaran sosial adalah perilaku sosial

seseorang hanya bisa dijelaskan oleh sesuatu yang bisa diamati, bukan oleh proses

mentalistik (black-box). Semua teori yang dipengaruhi oleh perspektif ini menekankan

hubungan langsung antara perilaku yang teramati dengan lingkungan.

2. Perspektif Kognitif (The Cognitive Perspective)

Kita telah memberikan indikasi bahwa kebiasaan (habit) merupakan penjelasan

alternatif yang bisa digunakan untuk memahami perilaku sosial seseorang di samping

instink (instinct). Namun beberapa analis sosial percaya bahwa kalau hanya kedua hal

tersebut (kebiasaan dan instink) yang dijadikan dasar, maka dipandang terlampau ekstrem

- karena mengabaikan kegiatan mental manusia.

Seorang psikolog James Baldwin (1897) menyatakan bahwa paling sedikit ada dua

bentuk peniruan, satu didasarkan pada kebiasaan kita dan yang lainnya didasarkan pada

wawasan kita atas diri kita sendiri dan atas orang lain yang perilakunya kita tiru. Walau

dengan konsep yang berbeda seorang sosiolog Charles Cooley (1902) sepaham dengan

pandangan Baldwin. Keduanya memfokuskan perhatian mereka kepada perilaku sosial

yang melibatkan proses mental atau kognitif .

Kemudian banyak para psikolog sosial menggunakan konsep sikap (attitude) untuk

memahami proses mental atau kognitif tadi. Dua orang sosiolog W.I. Thomas dan Florian

Znaniecki mendefinisikan psikologi sosial sebagai studi tentang sikap, yang diartikannya

sebagai proses mental individu yang menentukan tanggapan aktual dan potensial individu

dalam dunia sosial”. Sikap merupakan predisposisi perilaku. Beberapa teori yang

melandasi perpektif ini antara lain adalah Teori Medan (Field Theory), Teori Atribusi

dan Konsistensi Sikap (Concistency Attitude and Attribution Theory), dan Teori Kognisi

Kontemporer.

a. Teori Medan (Field Theory)

Seorang psikolog, Kurt Lewin (1935,1936) mengkaji perilaku sosial melalui

pendekatan konsep “medan”/”field” atau “ruang kehidupan” – life space. Untuk

memahami konsep ini perlu dipahami bahwa secara tradisional para psikolog

memfokuskan pada keyakinan bahwa karakter individual (instink dan kebiasaan), bebas -

10

lepas dari pengaruh situasi di mana individu melakukan aktivitas. Namun Lewin kurang

sepaham dengan keyakinan tersebut. Menurutnya penjelasan tentang perilaku yang tidak

memperhitungkan faktor situasi, tidaklah lengkap. Dia merasa bahwa semua peristiwa

psikologis apakah itu berupa tindakan, pikiran, impian, harapan, atau apapun,

kesemuanya itu merupakan fungsi dari “ruang kehidupan”- individu dan lingkungan

dipandang sebagai sebuah konstelasi yang saling tergantung satu sama lainnya. Artinya

“ruang kehidupan” merupakan juga merupakan determinan bagi tindakan, impian,

harapan, pikiran seseorang. Lewin memaknakan “ruang kehidupan” sebagai seluruh

peristiwa (masa lampau, sekarang, masa datang) yang berpengaruh pada perilaku dalam

satu situasi tertentu.

Bagi Lewin, pemahaman atas perilaku seseorang senantiasa harus dikaitkan dengan

konteks – lingkungan di mana perilaku tertentu ditampilkan. Intinya, teori medan

berupaya menguraikan bagaimana situasi yang ada (field) di sekeliling individu

bepengaruh pada perilakunya. Sesungguhnya teori medan mirip dengan konsep “gestalt”

dalam psikologi yang memandang bahwa eksistensi bagian-bagian atau unsur-unsur tidak

bisa terlepas satu sama lainnya. Misalnya, kalau kita melihat bangunan, kita tidak

melihat batu bata, semen, kusen, kaca, secara satu persatu. Demikian pula kalau kita

mempelajari perilaku individu, kita tidak bisa melihat individu itu sendiri, lepas dari

konteks di mana individu tersebut berada.

b. Teori Atribusi dan Konsistensi Sikap ( Attitude Consistency and Attribution

Theory)

Fritz Heider (1946, 1958), seorang psikolog bangsa Jerman mengatakan bahwa kita

cenderung mengorganisasikan sikap kita, sehingga tidak menimbulkan konflik.

Contohnya, jika kita setuju pada hak seseorang untuk melakukan aborsi, seperti juga

orang-orang lain, maka sikap kita tersebut konsisten atau seimbang (balance). Namun

jika kita setuju aborsi tetapi ternyata teman-teman dekat kita dan juga orang-orang di

sekeliling kita tidak setuju pada aborsi maka kita dalam kondisi tidak seimbang

(imbalance). Akibatnya kita merasa tertekan (stress), kurang nyaman, dan kemudian kita

akan mencoba mengubah sikap kita, menyesuaikan dengan orang-orang di sekitar kita,

misalnya dengan bersikap bahwa kita sekarang tidak sepenuhnya setuju pada aborsi.

11

Melalui pengubahan sikap tersebut, kita menjadi lebih nyaman. Intinya sikap kita

senantiasa kita sesuaikan dengan sikap orang lain agar terjadi keseimbangan karena

dalam situasi itu, kita menjadi lebih nyaman.

Heider juga menyatakan bahwa kita mengorganisir pikiran-pikiran kita dalam

kerangka “sebab dan akibat”. Agar supaya bisa meneruskan kegiatan kita dan

mencocokannya dengan orang-orang di sekitar kita, kita mentafsirkan informasi untuk

memutuskan penyebab perilaku kita dan orang lain. Heider memperkenalkan konsep

“causal attribution” - proses penjelasan tentang penyebab suatu perilaku. Mengapa Tono

pindah ke kota lain ?, Mengapa Ari keluar dari sekolah ?. Kita bisa menjelaskan perilaku

sosial dari Tono dan Ari jika kita mengetahui penyebabnya. Dalam kehidupan seharihari,

kita bedakan dua jenis penyebab, yaitu internal dan eksternal. Penyebab internal

(internal causality) merupakan atribut yang melekat pada sifat dan kualitas pribadi atau

personal, dan penyebab external (external causality) terdapat dalam lingkungan atau

situasi.

c. Teori Kognitif Kontemporer

Dalam tahun 1980-an, konsep kognisi, sebagian besarnya mewarnai konsep sikap.

Istilah “kognisi” digunakan untuk menunjukan adanya proses mental dalam diri

seseorang sebelum melakukan tindakan. Teori kognisi kontemporer memandang manusia

sebagai agen yang secara aktif menerima, menggunakan, memanipulasi, dan mengalihkan

informasi. Kita secara aktif berpikir, membuat rencana, memecahkan masalah, dan

mengambil keputusan. Manusia memproses informasi dengan cara tertentu melalui

struktur kognitif yang diberi istilah “schema” (Markus dan Zajonc, 1985 ; Morgan dan

Schwalbe, 1990; Fiske and Taylor, 1991). Struktur tersebut berperan sebagai kerangka

yang dapat menginterpretasikan pengalaman-pengalaman sosial yang kita miliki. Jadi

struktur kognisi bisa membantu kita mencapai keterpaduan dengan lingkungan, dan

membantu kita untuk menyusun realitas sosial. Sistem ingatan yang kita miliki

diasumsikan terdiri atas struktur pengetahuan yang tak terhitung jumlahnya.

Intinya, teori-teori kognitif memusatkan pada bagaiamana kita memproses informasi

yang datangnya dari lingkungan ke dalam struktur mental kita Teori-teori kognitif

percaya bahwa kita tidak bisa memahami perilaku sosial tanpa memperoleh informasi

12

tentang proses mental yang bisa dipercaya, karena informasi tentang hal yang obyektif,

lingkungan eksternal belum mencukupi.

3. Perspektif Struktural

Telah kita catat bahwa telah terjadi perdebatan di antara para ilmuwan sosial dalam

hal menjelaskan perilaku sosial seseorang. Untuk menjelaskan perilaku sosial seseorang

dapat dikaji sebagai sesuatu proses yang (1) instinktif, (2) karena kebiasaan, dan (3)

juga yang bersumber dari proses mental. Mereka semua tertarik, dan dengan cara sebaik

mungkin lalu menguraikan hubungan antara masyarakat dengan individu. William James

dan John Dewey menekankan pada penjelasan kebiasaan individual, tetapi mereka juga

mencatat bahwa kebiasaan individu mencerminkan kebiasaan kelompok – yaitu adatistiadat

masyarakat – atau strutur sosial . Para sosiolog yakin bahwa struktur sosial terdiri

atas jalinan interaksi antar manusia dengan cara yang relatif stabil. Kita mewarisi struktur

sosial dalam satu pola perilaku yang diturunkan oleh satu generasi ke generasi

berikutnya, melalui proses sosialisasi. Disebabkan oleh struktur sosial, kita mengalami

kehidupan sosial yang telah terpolakan. James menguraikan pentingnya dampak struktur

sosial atas “diri” (self) – perasaan kita terhadap diri kita sendiri. Masyarakat

mempengaruhi diri – self.

Sosiolog lain Robert Park dari Universitas Chicago memandang bahwa masyarakat

mengorganisasikan, mengintegrasikan, dan mengarahkan kekuatan-kekuatan individuindividu

ke dalam berbagai macam peran (roles). Melalui peran inilah kita menjadi tahu

siapa diri kita. Kita adalah seorang anak, orang tua, guru, mahasiswa, laki-laki,

perempuan, Islam, Kristen. Konsep kita tentang diri kita tergantung pada peran yang kita

lakukan dalam masyarakat. Beberapa teori yang melandasi persektif strukturan adalah

Teori Peran (Role Theory), Teori Pernyataan – Harapan (Expectation-States Theory), dan

Posmodernisme (Postmodernism)

a. Teori Peran (Role Theory)

Walau Park menjelaskan dampak masyarakat atas perilaku kita dalam hubungannya

dengan peran, namun jauh sebelumnya Robert Linton (1936), seorang antropolog, telah

mengembangkan Teori Peran. Teori Peran menggambarkan interaksi sosial dalam

13

terminologi aktor-aktor yang bermain sesuai dengan apa-apa yang ditetapkan oleh

budaya. Sesuai dengan teori ini, harapan-harapan peran merupakan pemahaman bersama

yang menuntun kita untuk berperilaku dalam kehidupan sehari-hari. Menurut teori ini,

seseorang yang mempunyai peran tertentu misalnya sebagai dokter, mahasiswa, orang

tua, wanita, dan lain sebagainya, diharapkan agar seseorang tadi berperilaku sesuai

dengan peran tersebut. Mengapa seseorang mengobati orang lain, karena dia adalah

seorang dokter. Jadi karena statusnya adalah dokter maka dia harus mengobati pasien

yang datang kepadanya. Perilaku ditentukan oleh peran sosial

Kemudian, sosiolog yang bernama Glen Elder (1975) membantu memperluas

penggunaan teori peran. Pendekatannya yang dinamakan “life-course” memaknakan

bahwa setiap masyarakat mempunyai harapan kepada setiap anggotanya untuk

mempunyai perilaku tertentu sesuai dengan kategori-kategori usia yang berlaku dalam

masyarakat tersebut. Contohnya, sebagian besar warga Amerika Serikat akan menjadi

murid sekolah ketika berusia empat atau lima tahun, menjadi peserta pemilu pada usia

delapan belas tahun, bekerja pada usia tujuh belah tahun, mempunyai istri/suami pada

usia dua puluh tujuh, pensiun pada usia enam puluh tahun. Di Indonesia berbeda. Usia

sekolah dimulai sejak tujuh tahun, punya pasangan hidup sudah bisa usia tujuh belas

tahun, pensiun usia lima puluh lima tahun. Urutan tadi dinamakan “tahapan usia” (age

grading). Dalam masyarakat kontemporer kehidupan kita dibagi ke dalam masa kanakkanak,

masa remaja, masa dewasa, dan masa tua, di mana setiap masa mempunyai

bermacam-macam pembagian lagi.

b. Teori Pernyataan Harapan (Expectation-States Theory)

Teori ini diperkenalkan oleh Joseph Berger dan rekan-rekannya di Universitas

Stanford pada tahun 1972. Jika pada teori peran lebih mengkaji pada skala makro, yaitu

peran yang ditetapkan oleh masyarakat, maka pada teori ini berfokus pada kelompok

kerja yang lebih kecil lagi. Menurut teori ini, anggota-anggota kelompok membentuk

harapan-harapan atas dirinya sendiri dan diri anggota lain, sesuai dengan tugas-tugas

yang relevan dengan kemampuan mereka, dan harapan-harapan tersebut mempengaruhi

gaya interaksi di antara anggota-anggota kelompok tadi. Sudah tentu atribut yang paling

berpengaruh terhadap munculnya kinerja yang diharapkan adalah yang berkaitan dengan

14

ketrampilan kerjanya. Anggota-anggota kelompok dituntut memiliki motivasi dan

ketrampilan yang diperlukan untuk menyelesaikan tugas-tugas kelompok yang

diharapkan bisa ditampilkan sebaik mungkin.

Bagaimanapun juga, kita sering kekurangan informasi tentang kemampuan yang

berkaitan dengan tugas yang relevan, dan bahkan ketika kita memiliki informasi, yang

muncul adalah bahwa kita juga harus mendasarkan harapan kita pada atribut pribadi dan

kelompok seperti : jenis kelamin, ras, dan usia. Dalam beberapa masyarakat tertentu,

beberapa atribut pribadi dinilai lebih penting daripada atribut lainnya. Untuk menjadi

pemimpin, jenis kelamin kadang lebih diprioritaskan ketimbang kemampuan. Di

Indonesia, untuk menjadi presiden, ras merupakan syarat pertama yang harus dipenuhi.

Berger menyebut gejala tersebut sebagai “difusi karakteristik status”; karakteristik status

mempengaruhi harapan kelompok kerja. Status laki-laki lebih tinggi dibanding

perempuan dalam soal menjadi pemimpin, warganegara pribumi asli lebih diberi tempat

menduduki jabatan presiden. Difusi karakteristik status tersebut ( jenis kelamin, ras, usia,

dan lainnya) dengan demikian, mempunyai pengaruh yang kuat terhadap interaksi sosial.

c. Posmodernisme (Postmodernism)

Baik teori peran maupun teori pernyataan-harapan, keduanya menjelaskan perilaku

sosial dalam kaitannya dengan harapan peran dalam masyarakat kontemporer. Beberapa

psikolog lainnya justru melangkah lebih jauh lagi. Pada dasarnya teori posmodernisme

atau dikenal dengan singkatan “POSMO” merupakan reaksi keras terhadap dunia

modern. Teori Posmodernisme, contohnya, menyatakan bahwa dalam masyarakat

modern, secara gradual seseorang akan kehilangan individualitas-nya – kemandiriannya,

konsep diri, atau jati diri. (Denzin, 1986; Murphy, 1989; Dowd, 1991; Gergen, 1991) .

Dalam pandangan teori ini upaya kita untuk memenuhi peran yang dirancangkan untuk

kita oleh masyarakat, menyebabkan individualitas kita digantikan oleh kumpulan citra

diri yang kita pakai sementara dan kemudian kita campakkan..

Berdasarkan pandangan posmodernisme, erosi gradual individualitas muncul

bersamaan dengan terbitnya kapitalisme dan rasionalitas. Faktor-faktor ini mereduksi

pentingnya hubungan pribadi dan menekankan aspek nonpersonal. Kapitalisme atau

modernisme, menurut teori ini, menyebabkan manusia dipandang sebagai barang yang

15

bisa diperdagangkan – nilainya (harganya) ditentukan oleh seberapa besar yang bisa

dihasilkannya.

Setelah Perang Dunia II, manusia makin dipandang sebagai konsumen dan juga

sebagai produsen. Industri periklanan dan masmedia menciptakan citra komersial yang

mampu mengurangi keanekaragaman individualitas. Kepribadian menjadi gaya hidup.

Manusia lalu dinilai bukan oleh kepribadiannya tetapi oleh seberapa besar

kemampuannya mencontoh gaya hidup. Apa yang kita pertimbangkan sebagai “ pilihan

kita sendiri” dalam hal musik, makanan, dan lain-lainnya, sesungguhnya merupakan

seperangkat kegemaran yang diperoleh dari kebudayaan yang cocok dengan tempat kita

dalam struktur ekonomi masyarakat kita. Misalnya, kesukaan remaja Indonesia terhadap

musik “rap” tidak lain adalah disebabkan karena setiap saat telinga mereka dijejali oleh

musik tersebut melalui radio, televisi, film, CD, dan lain sebagainya. Gemar musik “rap”

menjadi gaya hidup remaja. Lalu kalau mereka tidak menyukai musik “rap”, dia bukan

remaja. Perilaku seseorang ditentukan oleh gaya hidup orang-orang lain yang ada di

sekelilingnya , bukan oleh dirinya sendiri. Kepribadiannya hilang individualitasnya

lenyap. Itulah manusia modern, demikian menurut pandangan penganut “posmo”.

Intinya, teori peran, pernyataan-harapan, dan posmodernisme memberikan ilustrasi

perspektif struktural dalam hal bagaimana harapan-harapan masyarakat mempengaruhi

perilaku sosial individu. Sesuai dengan perspektif ini, struktur sosial – pola interaksi yang

sedang terjadi dalam masyarakat – sebagian besarnya pembentuk dan sekaligus juga

penghambat perilaku individual. Dalam pandangan ini, individu mempunyai peran yang

pasif dalam menentukan perilakunya. Individu bertindak karena ada kekuatan struktur

sosial yang menekannya.

4. Perspektif Interaksionis (Interactionist Perspective)

Seorang sosiolog yang bernama George Herbert Mead (1934) yang mengajar

psiokologi sosial pada departemen filsafat Universitas Chicago, mengembangkan teori

ini. Mead percaya bahwa keanggotaan kita dalam suatu kelompok sosial menghasilkan

perilaku bersama yang kita kenal dengan nama budaya. Dalam waktu yang bersamaan,

dia juga mengakui bahwa individu-individu yang memegang posisi berbeda dalam suatu

kelompok, mempunyai peran yang berbeda pula, sehingga memunculkan perilaku yang

16

juga berbeda. Misalnya, perilaku pemimpin berbeda dengan pengikutnya. Dalam kasus

ini, Mead tampak juga seorang strukturis. Namun dia juga menentang pandangan bahwa

perilaku kita melulu dipengaruhi oleh lingkungan sosial atau struktur sosial. Sebaliknya

Mead percaya bahwa kita sebagai bagian dari lingkungan sosial tersebut juga telah

membantu menciptakan lingkungan tersebut. Lebih jauh lagi, dia memberi catatan bahwa

walau kita sadar akan adanya sikap bersama dalam suatu kelompok/masyarakat, namun

hal tersebut tidaklah berarti bahwa kita senantiasa berkompromi dengannya.

Mead juga tidak setuju pada pandangan yang mengatakan bahwa untuk bisa

memahami perilaku sosial, maka yang harus dikaji adalah hanya aspek eksternal

(perilaku yang teramati) saja. Dia menyarankan agar aspek internal (mental) sama

pentingnya dengan aspek eksternal untuk dipelajari. Karena dia tertarik pada aspek

internal dan eksternal atas dua atau lebih individu yang berinteraksi, maka dia menyebut

aliran perilakunya dengan nama “social behaviorism”. Dalam perspektif interaksionis ada

beberapa teori yang layak untuk dibahas yaitu Teori Interaksi Simbolis (Symbolic

Interaction Theory), dan Teori Identitas (Identity Theory).

a. Teori Interaksi Simbolis (Symbolic Interaction Theory)

Walau Mead menyarankan agar aspek internal juga dikaji untuk bisa memahami

perilaku sosial, namun hal tersebut bukanlah merupakan minat khususnya. Justru dia

lebih tertarik pada interaksi, di mana hubungan di antara gerak-isyarat (gesture) tertentu

dan maknanya, mempengaruhi pikiran pihak-pihak yang sedang berinteraksi. Dalam

terminologi Mead, gerak-isyarat yang maknanya diberi bersama oleh semua pihak yang

terlibat dalam interaksi adalah merupakan “satu bentuk simbol yang mempunyai arti

penting” ( a significant symbol”). Kata-kata dan suara-lainnya, gerakan-gerakan fisik,

bahasa tubuh (body langguage), baju, status, kesemuanya merupakan simbol yang

bermakna.

Mead tertarik mengkaji interaksi sosial, di mana dua atau lebih individu berpotensi

mengeluarkan simbol yang bermakna. Perilaku seseorang dipengaruhi oleh simbol yang

dikeluarkan orang lain, demikian pula perilaku orang lain tersebut. Melalui pemberian

isyarat berupa simbol, kita mengutarakan perasaan, pikiran, maksud, dan sebaliknya

17

dengan cara membaca simbol yang ditampilkan orang lain, kita menangkap pikiran,

perasaan orang lain tersebut. Teori ini mirip dengan teori pertukaran sosial.

Interaksi di antara beberapa pihak tersebut akan tetap berjalan lancar tanpa gangguan

apa pun manakala simbol yang dikeluarkan oleh masing-masing pihak dimaknakan

bersama sehingga semua pihak mampu mengartikannya dengan baik. Hal ini mungkin

terjadi karena individu-individu yang terlibat dalam interaksi tersebut berasal dari budaya

yang sama, atau sebelumnya telah berhasil memecahkan perbedaan makna di antara

mereka. Namun tidak selamanya interaksi berjalan mulus. Ada pihak-pihak tertentu yang

menggunakan simbol yang tidak signifikan – simbol yang tidak bermakna bagi pihak

lain. Akibatnya orang-orang tersebut harus secara terus menerus mencocokan makna dan

merencanakan cara tindakan mereka.

Banyak kualitas perilaku manusia yang belum pasti dan senantiasa berkembang :

orang-orang membuat peta, menguji, merencanakan, menunda, dan memperbaiki

tindakan-tindakan mereka, dalam upaya menanggapi tindakan-tindakan pihak lain. Sesuai

dengan pandangan ini, individu-individu menegosiasikan perilakunya agar cocok dengan

perilaku orang lain.

b. Teori Identitas (Identity Theory)

Teori Indentitas dikemukakan oleh Sheldon Stryker (1980). Teori ini memusatkan

perhatiannya pada hubungan saling mempengaruhi di antara individu dengan struktur

sosial yang lebih besar lagi (masyarakat). Individu dan masyarakat dipandang sebagai

dua sisi dari satu mata uang. Seseorang dibentuk oleh interaksi, namun struktur sosial

membentuk interaksi. Dalam hal ini Stryker tampaknya setuju dengan perspektif

struktural, khususnya teori peran. Namun dia juga memberi sedikit kritik terhadap teori

peran yang menurutnya terlampau tidak peka terhadap kreativitas individu.

Teori Stryker mengkombinasikan konsep peran (dari teori peran) dan konsep diri/self

(dari teori interaksi simbolis). Bagi setiap peran yang kita tampilkan dalam berinteraksi

dengan orang lain, kita mempunyai definisi tentang diri kita sendiri yang berbeda

dengan diri orang lain, yang oleh Stryker dinamakan “identitas”. Jika kita memiliki

banyak peran, maka kita memiliki banyak identitas. Perilaku kita dalam suatu bentuk

18

interaksi, dipengaruhi oleh harapan peran dan identitas diri kita, begitu juga perilaku

pihak yang berinteraksi dengan kita.

Intinya, teori interaksi simbolis dan identitas mendudukan individu sebagai pihak

yang aktif dalam menetapkan perilakunya dan membangun harapan-harapan sosial.

Perspektif iteraksionis tidak menyangkal adanya pengaruh struktur sosial, namun jika

hanya struktur sosial saja yang dilihat untuk menjelaskan perilaku sosial, maka hal

tersebut kurang memadai.

RANGKUMAN

Telah kita bahas empat perspektif dalam psikologi sosial. Yang dimaksud dengan

perspektif adalah asumsi-asumsi dasar yang paling banyak sumbangannya kepada

pendekatan psikologi sosial. Perspektif perilaku menyatakan bahwa perilaku sosial kita

paling baik dijelaskan melalui perilaku yang secara langsung dapat diamati dan

lingkungan yang menyebabkan perilaku kita berubah. Perspektif kognitif menjelaskan

perilaku sosial kita dengan cara memusatkan pada bagaimana kita menyusun mental

(pikiran, perasaan) dan memproses informasi yang datangnya dari lingkungan . Kedua

perspektif tersebut banyak dikemukakan oleh para psikolog sosial yang berlatar belakang

psikologi.

Di samping kedua perspektif di atas, ada dua perspektif lain yang sebagian besarnya

diutarakan oleh para psikolog sosial yang berlatas belakang sosiologi. Perspektif

struktural memusatkan perhatian pada proses sosialisasi, yaitu proses di mana perilaku

kita dibentuk oleh peran yang beraneka ragam dan selalu berubah, yang dirancang oleh

masyarakat kita. Perspektif interaksionis memusatkan perhatiannya pada proses

interaksi yang mempengaruhi perilaku sosial kita. Perbedaan utama di antara kedua

perspektif terakhir tadi adalah pada pihak mana yang berpengaruh paling besar terhadap

pembentukan perilaku. Kaum strukturalis cenderung meletakan struktur sosial (makro)

sebagai determinan perilaku sosial individu, sedangkan kaum interaksionis lebih

memandang individu (mikro) merupakan agen yang aktif dalam membentuk perilakunya

sendiri.

Karena banyaknya teori yang dikemukakan untuk menjelaskan perilaku sosial maka

seringkali muncul pertanyaan : “Teori mana yang paling benar ?” atau “teori mana yang

19

terbaik?” . Hampir seluruh psikolog sosial akan menjawab bahwa tidak ada teori yang

salah atau yang paling baik, atau paling jelek. Setiap teori mempunyai keterbatasan dalam

aplikasinya. Misalnya dalam mempelajari agresi (salah satu bentuk perilaku sosial), para

behavioris bisa memusatkan pada pengalaman belajar yang mendorong terjadinya

perilaku agresif – pada bagaimana orang tua, guru, dan pihak-pihak lain yang memberi

perlakuan positif pada perilaku agresif. Bagi yang tertarik pada perspektif kognitif maka

obyek kajiannya adalah pada bagaimana seseorang mempersepsi, interpretasi, dan

berpikir tentang perilaku agresif. Seorang psikolog sosial yang ingin menggunakan teori

medan akan mengkaji perilaku agresif dengan cara melihat hubungan antara karakteristik

individu dengan situasi di mana perilaku agresif tersebut ditampilkan. Para teoritisi

pertukaran sosial bisa memusatkan pada adanya imbalan sosial terhadap individu yang

menampilkan perilaku agresif. Jika memakai kacamata teori peran, perilaku agresif atau

tidak agresif ditampilkan oleh seseorang karena harapan-harapan sosial yang melekat

pada posisi sosialnya harus dipenuhi.

Demikianlah, setiap teori bisa digunakan untuk menjadi pendekatan yang efektif tidak

untuk semua aspek perilaku. Teori peran lebih efektif untuk menjelaskan perilaku X

dibanding dengan teori yang berperspektif kognitif, misalnya.

Buku Acuan :

Theories of Social Psychology – Marvin E. Shaw / Philip R. Costanzo, Second Edition,

1985, McGraw-Hill, Inc.

Thinking Sociologically, Sheldon Goldenberg, 1987, Wadsworth, Inc.

Social Psychology, James A. Wiggins, Beverly B. Wiggins, James Vander Zanden, Fifth

Edition, 1994, McGraw-Hill, Inc.

Sociology, Concepts and Uses , Jonathan H. Tuner, 1994. McGraw-Hill Inc.

20

Social Psychology, Kay Deaux, Lawrence S. Wrightsman, Fifth Edition, 1988,

Wadsworth, Inc.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar