BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Dalam agama Islam dikenal adanya dana sosial yang bertujuan untuk membantu kaum dhuafa. Sumber utama yang bertujuan untuk tersebut meliputi zakat, infak, dan shodaqoh, serta dapat ditambahkan wakaf dan dana investasi kebajikan. Dalam konsep Agama Islam, zakat wajib dibayarkan oleh umatnya yang telah mampu dengan batas umur tertentu, sedangkan, infak dan shodaqoh lebih bersifat sukarela. Dana zakat merupakan sumber dana yang potensial untuk dikembangkan. Sedangkan wakaf dimaksudkan sebagai dana abdi dan produktif untuk jangka panjang. Umat mayoritas di Indonesia adalah beragama Islam dan jika separuh dari jumlah tersebut membayar zakat, maka dapat dibayangkan jumlah dana yang terkumpul.
Jika lebih khusus membahas mengenai potensi dana zakat, manarik sekali untuk dicermati seberapa jauh sebenarnya masyarakat telah menyadari bahwa dirinya termasuk wajib zakat atau belum. Akan tetapi informasi yang akurat yang dapat memberikan penjelasan tersebut belum ada. Hal ini salah satu penyebab potensi zakat belum dapat dioptimalkan, begitu pula halnya dengan besarnya zakat yang diberikan oleh masing-masing muzakki tentunya sangat menarik sekali.
Disisi lain dikenal dengan adanya pajak sebagai salah satu pos pendapatan utama di Indonesia. Dengan demikian, disiilah letak dilema, banyak para wajib pajak yang juga merupakan wajib zakat harus membayar pajak dengan jumlah yang sama. Namun, sejak dikeluarkan Undang-Undang tentang zakat Nomor 38 Tahun 1999 serta aturan-aturan yang melengkapinya, maka bukti setoran zakat yang dikeluarkan oleh Badan Amil Zakat dan Lembaga Amil Zakat resmi dapat diperhitungkan sebagai pengurang jumlah setoran pajak penghasilan.
B. Rumusan Masalah
1. Kapan Awalmula Badan Amil Zakat Itu Diberdirikan?
2. Apa Peranan Badan Amil Zakat dan Lembaga Amil Zakat dalam Usaha Pemberdayaan Ekonomi Umat?
3. Apa saja Pembagian tugas (Job Description) Pengelola zakat?
4. Apa Saja Syarat Agar Lembaga Amil Zakat dapat dikukuhkan?
5. Apa Kewajiban Lembaga Amil Zakat?
C. Tujuan
1. Untuk Mengetahui awal berdirinya Badan Amil Zakat.
2. Untuk Mengetahui Peran BAZ dan LAZ dalam Usaha Pemberdayaan Ekonomi Umat.
3. Untuk Mengetahui Pembagian Tugas Pengelola Zakat.
4. Untuk Mengetahui Syarat-syarat Lembaga Amil Zakat dapat dikkuhkan.
5. Untuk Mengetahui Kewajiban Lembaga Amil Zakat.
BAB II
PEMBAHASAN
A. Awal terbentuknya Badan Amil Zakat dan Lembaga Amil Zakat
Sesuai dengan konsep Al-Qur’an, Amil adalah orang-orang yangv bertugas mengurus zakat, seperti penarik zakat, penulis dan penjaganya. Dan awal terbentuknya Badan Amil Zakat dan Lembaga Amil Zakat diprakarsai oleh undang-undang Nomor 38 Tahun 1999 tentang Pengelolaan Zakat, Lahirnya Undang-Undang Nomor 38 Tahun 1999 dilatarbelakangi oleh kenyataan sosiologis, bahwa masyarakat Indonesia mayoritas beragama Islam. Dimana Islam telah menentukan kewajiban-kewajiban yang harus dipatuhi oleh para penganutnya. Salah satu kewajiban tersebut yang mempunyai implikasi sangat luas terhadap kehidupan masyarakat adalah kewajiban untuk menunaikan zakat
..Lembaga yang secara formal diakui oleh Undang-Undang Nomor 38 Tahun 1999 sebagai lembaga yang berhak mengelola zakat adalah Badan Amil Zakat dan Lembaga Amil Zakat. Oleh karena itu kedua lembaga ini memiliki peran dan fungsi yang strategis, baik dilihat dari perspektif pemberdayaan sosial-ekonomi umat maupun dari hubungan zakat dengan perpajakan.
Pembentukan Badan Amil Zakat merupakan hak otoritatif pemerintah, sehingga hanya pemerintah yang berhak membentuk Badan Amil Zakat, baik untuk tingkat nasional sampai tingkat kecamatan. Semua tingkatan tersebut memiliki hubungan kerja yang bersifat koordinatif, konsultatif, dan informatif.
B. Alokasi zakat dan wakaf di BAZ dan LAZ
Zakat yang sudah dikumpulkan oleh Lembaga Amil Zakat atau Badan Amil Zakat haruslah dimanfaatkan sebaik-baiknya bagi kepentingan mustahiq, sebagaimana digambarkan daam Al-quran surat At-taubah ayat 60, karena itu Lembaga Amil Zakat harus dikelola dengan amanah dan jujur, transparan dan professional.
Harta yang terkumpul dari pengumpulan zakat disalurkan langsung untuk kepentingan mustahiq, baik yan bersifat konsumtif maupun yang bersifat produktif. Dalam kaitan penyaluran zakat secara produktif, maka Lembaga Amil Zakat dan Badan Amil Zakat yang amanah, terpercaya dan professional diperbolehkan membangun perusahaan, pabrik dan lainnya dari uang zakat untuk kemudian kepemilikan dan keuntungannya diberikan kepada para mustahiq dalam jumlah yang relatif besar, sehingga terpenuhi kebutuhan mereka dengan lebih leluasa.
C. Peranan Badan Amil Zakat dan Lembaga Amil Zakat dalam Usaha Pemberdayaan Ekonomi Umat
Zakat merupakan ibadah maaliyah ijtimaiyah yang memiliki posisi penting dan strategis serta menentukan baik dari sisi ajaran maupun dari sisi pembangunan kesejahteraan ummat. Kewajiban menunaikan zakat secara tegas dan mutlak, karena didalamnya terkandung hikmah dan manfaat yang mulia dan besar bagi semua stakeholders zakat, seperti muzakki, mustahiq maupun masyarakat secara keseluruhan. Diantara hikmah dan manfaat antara lain
1. Sebagai perwujudan iman kepada Allah SWT, menumbuhkan akhlak mulia yang memiliki rasa kepedulian yang dapat menghilangkan rasa kikir dan rakus
2. Zakat merupakan hak bagi mustahiq yang berfungsi menolong, membantu dan membina mereka
3. Sebagai pilar jama’i antara kelompok aghniya yang hidup berkecukupan hidupnya dengan para mujahid yang waktunya sepenuhnya untuk berjuang dijalan Allah.
4. Sebagai salah satu sumber dana bagi pembangunan sarana ataupun prasarana yang harus dimiliki umat islam
5. Menjadi pilar etika bisnis yang benar, karena zakat tidak akan diterima dari harta yang didapatkan dengan cara yang bathil.
6. Bagi pembangunan kesejahteraan ummat, zakat merupakan salah satu instrumen pemerataan pendapatan. Dengan pengelolaan zakat yang baik dimungkinkan membangun pertumbuhan ekonomi sekaligus pemerataan pendapatan ecomomic growth with equity.
D.Tingkatan Badan Amil Zakat
Badan Amil Zakat (BAZ) memiliki tingkatan sebagai berikut:
1. Nasional, dibentuk oleh Presiden atas usul menteri Agama.
2. Daerah Provinsi, dibentuk oleh Gubernur atas usul Kepala Kantor Wilayah Departemen Agama Provinsi.
3. Daerah Kabupaten atau Kota, dibentuk oleh Bupati atau Walikota atas usul Kepala Kantor Departemen Agama Kabupaten atau Kota.
4. Kecamatan, dibentuk oleh Camat atas usul Kepala Kantor Urusan Agama Kecamatan.
Struktur organisasi Badan Amil Zakat terdiri dari tiga bagian, yaitu Dewan Pertimbangan, Komisi Pengawas, dan Badan Pelaksana. Kepengurusan Badan Amil Zakat tersebut ditetapakan setelah melalui tahapan sebagai berikut:
1. Membentuk tim penyeleksi yang terdiri atas unsur ulama, cendekia, tenaga profesional, praktisi pengelola zakat, Lembaga Swadaya Masyarakat terkait, dan pemerintah.
2. Menyusun kriteria calon pengurus.
3. Mempublikasikan rencana pembentukan Badan Amil Zakat.
4. Melakukan penyeleksian terhadap calaon pengurus, sesuai dengan keahliannya.
5. Calon pengurus terpilih kemudian diusulkan untuk ditetapkan secara resmi.
Pembagian tugas (job Description) Pengelola zakat yaitu :
Status Kepengurusan Tugas, Wewenang, dan Tanggung Jawab
Majelis Pertimbangan Badan Amil Zakat 1. Memberikan pertimangan tetang pengembangan hukum dan pemahaman-pemaaman zakat.
2. Membantu pelaksanaan operasional penyadaran wajib zakat, infak, dan shodaqoh.
3. Memberi pertimbangan akan kebijakan-kebijakan pengumpulan, pendayagunaan, dan pengembangan zakat, Infak, dan Shodaqoh.
4. Mengetahui dan mengesahkan pertanggungjawaban neraca dana BAZ atas dasar auditing akuntan.
5. Menampung dan menyalurkan pendapat umat tentang pengelolaan zakat, infak dan shodaqoh.
Majelis Pengawasan BAZ 1. Mengawasi pengumpulan dan pendayagunaan zakat, infak, dan shodaqoh.
2. Mengawasi pelaksanaan program pendayagunaan zakat, infak, dan shodaqoh.
3. Menunjuk akuntan untuk mengaudit pendapatan pendayagunaan dana zakat, infak, dan shodaqoh.produktif.
4. Mempertanggungjawabkan pelaksanaan kerjanya kepada ketua umum.
Pengurus harian BAZ 1. Melaksanakan garis-garis kebijakan BAZ dalam program pengumpulan dan pengelolaan zakat, infak, dan sodaqoh produktif.
2. Memimpin pelaksanaan program BAZ
3. Merencanakan pengembangan pengumpulan dana pendayagunaan dana BAZ
4. Bertanggung jawab kepada ketua tingkat gubernur
Tata Usaha 1. Melaksanakan tata administrasi umum BAZ
2. Menyediakan bahan untuk
3. Pelaksanaan kegiatan BAZ
4. Menyediakan fasilitas untuk kelancaran pelaksanaan program dan kegiatan sehari-hari
5. Mempertanggungjawabkan segala kegiatannya kepada pengurus harian
Bendahara 1. Melaksanakan sistem administrasi pengawasan, pengumpulan, dan pendayagunaan dana BAZ
2. Membukukan pendapatan dan pendayagunaan dana.
3. Menyusun neraca kwartal tahunan.
4. Menyediakan dana operasional dan mengatur efisiensi penggunaan anggaran operasional.
5. Menyediakan pertanggungjawaban dana BAZ, infak, dan shodaqoh.
6. Mempertanggung jawabkan segala kegiatan kepada ketua pengurus.
Bidang Perencanaan Penelitian dan Pengembangan BAZ 1. Menyusun rencana pengumpulan dan pendayagunaan zakat .
2. Melaksanakan segala program kegiatan penelitian dan pengembangan sumber dana BAZ, objek pendagunaan, pengembangan organisasi, dan pemetaan tahunan muzakki dan mustahik
3. Melakukan penelitian dan pembangunan masalah-masalah sosial keagaman
4. Menerima dan memberi prtimbangan usulan dan sasaran dalam pengembangan pendayagunanaan dana zakat infak, dan Shodaqoh produktif
5. Mempertanggungjawabkan segala kegiatan kepada ketua pengurus harian
Bidang Pengumpulan Zakat, Infak, Dan Shodaqoh 1. Menyalurkan dana produktif kepada mustahik melalui bendahara.
2. Memotong zakat dilaksanakan oleh petugas khusus.
3. Melaksanakan pendistribusian zakat Infak dan Shodaqoh sesuai dengan keputusan yang telah ditetapkan .
4. Mencatat penditribusian dana ZIS
5. Mencatat dana produktif yang diterima dan yang telah didayagunakan
6. Menyiapkan bahan laporan penyaluran dana ZIS untuk usaha produktif setiap bulan.
Bidang Pendayagunaan BAZ 1. Menerima, meneliti, dan menyeleksi permohonan calon mustahik
2. Mencatat mustahik yang memenuhi syarat menurut kelompoknya masing-masing
3. Menyiapkan rencana keputusan tentang mustahik yang menerima ZIS untuk mendapatkan persetujuan dewan pertimbangan
4. Merekomendasi penyaluran ZIS sesuai dengan keputusan yang telah ditetapkan kepada ketua umum.
5. Menyiapkan bahan laporan pendayagunaan ZIS setiap bulan.
Bidang Pengembangan 1. Menyusun rencana pengembangan bidan pengumpulan, pendistribusian, pendayagunaan dan pengembangan zakat
2. Melaksanakan bimbingan dan penyuluhan serta penelitian masalah-masalah UPZ dalam rangka pengembangan ZIS.
3. Menerima dan memberi pertimbangan dan saran mengenai penyaluran. Pendistribusian, pendayagunaan dan pengembangan ZIS.
4. Melaporkan hasil penyaluran zakat setiap bulan.
Tujuan dan Sasaran dalam Pengelola zakat
1. Ikut berpartisipasi mengurangi pengangguran dan kemiskinan
2. Perkoperasian
3. Pendidikan dan bea siswa
4. Program kesehatan
5. Panti Asuhan
6. Sarana Peribadatan
7. Madrasah dan Pondok pesatren
8. Menafkahkan para da’i dan guru ngaji
Pilar utama Manajemen Pengelola dan Pemberdayaan Zakat Akuntabilitas manajemen BAZ dapat terjadi jika memiliki 3 pilar utama, yaiu :
a. Amanah
Sifat amanah merupakan kunci jaminan mutu dari kepercayaan masyarakat. Pengelolaan dana umat sangat membutuhkan sikap amanah. Tidak eksisnya BAZ disebabkan hilangnya rasa kepercayaan terhadap lebaga.
b. Profesional
Efisiensi dan efektifitas manajemen memerlukan sikap profesional dari semua pegurus BAZ.
c. Transparan
Sistem kontrol yang baik akan terjadi jika jiwa transparansi dalam pengelolaan dana umat dapat dilaksanakan. Sebab kemudahan akses para muzaki untuk mengetahui bagaimana dananya diolahkan akan menambah rasa percaya terhadap lembaga.
Beberapa kriteria yang harus dipunyai oleh pengurus Badan Amil Zakat antara lain memiliki sifat amanah, mempunyai visi dan misi, berdedikasi, profesional, berintegrasi tinggi, mempunyasai program kerja dan tentu saja paham fiqih zakat.
Walaupun Badan Amil Zakat dibentuk oleh pemerintah, tetapi sejak awal proses pembentukannya sampai kepengurusunnya harus melibatkan unsur masyarakat. Menurut peraturan hanya posisi sekretariat saja yang berasal dari pejabat Departemen Agama. Dengan demikian, masyarakat luas dapat menjadi pengelola Badan Amil Zakat sepanjang kualifikasinya memenuhi syarat dan lulus seleksi.
Fungsi dari masing-masing struktur di Badan Amil Zakat dapat diuraikan sebagai berikut:
1. Dewan Pertimbangan berfungsi memberikan pertimbangan, fatwa, saran, dan rekomendasi tentang pengembangan hukum dan pemahaman mengenai pengelolaan zakat.
2. Komisi Pengawas memiliki fungsi melaksanakan pengawas internal atas operasional kegiatan yang dilaksanakan Badan Pelaksana.
3. Badan Pelaksana mempunyai fungsi melaksanakan kebijakan Badan Amil Zakat dalam program pengumpulan, penyaluran, dan pendayagunaan zakat.
Setelah terbentuk secaa resmi, Badan Amil Zakat mempunyai kewajiban yang harus dilaksanakan, yaitu:
1. Segera melakukan kegiatan sesuai program kerja yang telah dibuat.
2. Menyusun laporan tahunan termasuk laporan keuangan.
3. Mempublikasikan laporan keungan tahunan yang telah diaudit oleh akuntan publik atau lembaga pengawas pemerintah yang berwenag melalui media massa sesuai dengan tingkatannya, selambat-lambatnya enam bulan setelah tahu buku berakhir.
4. Menyerahkan laporan tahunan tersebut kepada pemerintah dan Dewan Perwakilan Rakyat sesuai dengan tingkatannya.
5. Merencanakan kegiatan tahunan.
6. Mengutamakan pendistribusian dan pendayagunaan dana zakat yang diperoleh di daerah masing-masing sesuai dengan tinkatannya.
Jika para pengelola Badan Amil Zakat tidak melaksanakan kewajiban sebagaiamana teresebut di atas, maka keberadaaannya dapat ditinjau ulang. Mekanisme peninjauan ulang ini dilakukan dengan beberapa tahapan:
1. Diberikan peringatan tertulis oleh pemerintah yang membentuknya sebanyak maksimal tiga kali.
2. Jika peringatan telah diberikan sebanyak tiga kali dan tidak ada perbaiikan, pembentukan Badan Amil Zakat tersebut ditinjau ulang serta pemerintah dapat membentuk kembali Badan Amil Zakat dengan susunan pengurus baru, sesuai dengan susunan pengurus baru, sesuai mekanisme yang berlaku.
E.Lembaga Amil Zakat
Sebagaimana Badan Amil Zakat, Lembaga Amil Zakat memiliki berbagai tingkatan, yaitu:
1. Nasional, dikukuhkan oleh Menteri Agama.
2. Daerah provinsi, dilakukan oleh Gubernur atas usul Kepala Kantor Wilayah Departemen Agama Provinsi.
3. Daerah Kabupaten atau Kota, dilakukan oleh Bupati atau Walikota atas usul Kepala Kantor Wilayah Departemen Agama Provinsi.
4. Kecamatan dikukuhkan oleh Camat atau Walikota atas Kepala Kantor Departemen Agama Kabupaten Kota.
Untuk dapat dikukuhkan oleh pemerintah, sebuah Lembaga Amil Zakat harus memenuhi dan melemparkan melampirkan persyaratan sebagai berikut:
1. Akte pendirian (berbadan hukum).
2. Data muzakki dan mustahuk.
3. Daftar susunan pengurus.
4. Rencana program kerja jangka pendek, jangka menengah, jangka menengah, dan jangka panjang.
5. Neerca atau laporan posisi keuangan.
6. Surat pernyataan bersedia untuk diaudit.
Hanya Lembaga Amil Zakat yang telah dikukuhkan oleh pemerintah saja yang diakui bukti setoran zakatnya sebagai pengurang penghasilan kena pajak dari muzakki yang membayar dananya. Bentuk badan hukum untuk Lembaga Amil Zakat, yaitu yayasan, karena Lembaga Amil Zakat termasuk organisasi nirlaba, dan badan hukum yayasan dalam melakukan kegiatannya tidak berorientasi untuk memupuk laba.
Persyaratan data muzakki dan mustahik serta program kerja sebaiknya berdasrkan hasil survei agar mencerminkan kondisi lapangan. Sedangkan neraca atau laporan posisi keuangan diperlukan sebagai bukti bahwa Lembaga Amil Zakat telah mempunyai sistem pembukuan yang baik. Surat pernyataan bersedia untuk diaudit diperlukan agar prinsip transparasi dan akuntabilitas tetap terjaga.
Setelah dapat pengukuhan, Lembaga Amil Zakat memilki kewajiban sebagai berikut:
1. Segra melakukan kegiatan sesuai dengan progaram kerja yang telah dibuat
2. Menyusun laporan, termasuk laporan keuangan.
3. Mempublikasikan laporan keuangan yang telah diaudit melalui media massa.
4. Menyerahkan laporan kepada pemerintah.
Jika sebuah Lembaga Amil Zakat tidak lagi memenuhi persyaratan pengukuhan dan tidak melaksanakan kewajiban sebagaimana di atas, pengukuhannya dapat ditinjau ulang bahkan sampai dicabut. Mekanisme peninjauan ulang terhadap Lembaga Amil Zakat dilakukan dengan memberikan pperingatan tertulis sampai tiga kali. Bila tiga kali diperingatkan secara tertulis tidak ada perbaikan, akan dilakukan pencabutan pengukuhan.
Pencabutan pengukuhan tersebut akan mengakibatkan:
1. Hilangnya hak pembinaan, perlindungan, dan pelayanan dari pemerintah.
2. Tidak diakuinya bukti setoran zakat yang dikeluarkannya sebagai pengurang penghasilan kena pajak.
3. Tidak dapat melakkukan pengumpulan dana zakat.
Aturan-aturan seperti diuraikan di atas diberlakukan agar pengolahan dana-dana zakat, infaq, shadaqah, dan lainnya, baik oleh lembaga yang dibentuk oleh pemerintah maupun yang sepenuhnya diprakarsai oleh masyarakat, dapat lebih profesional, amanah, dan transparan sehingga dapat berdampak positif terhadap pemberdayaan dan kesejahteraan umat.
Tuntutan profesionalisme mengharuskan organisasi pengelola zakat dikelola secara fokus dan full time. Mereka yang sehari-hari mengurus organisasi pengelola zakat ini dinamakan Amil Zakat. Sehingga dapat dikatakan bahwa amil zakat adalah profesi, sebagaimana profesi-profesi lain. Mereka inilah yang berhak atas bagian zakat (asnaf amilin).
Karakteristik Organisasi Pengelola Zakat
Sebagai organisasi nirlaba, organisasi pengelola zakat juga memiliki karateristik seperti organisasi nirlaba lainnya, yaitu :
a. Sumberdaya berasal dari para donatur yang mempercayakannya kepada lembaga. Para donatur tersebut tidak mengharapkan keuntungan kembali secara materi dari organisasi pengelola zakat.
b. Menghasilkan berbagai jasa dalam bentuk pelayanan kepada masyarakat. Jasa-jasa tersebut tidak dimaksudkan untuk mendapatkan laba tetapi tidak semua bersifat Cuma-Cuma atau gratis melainkan dikenakan biaya.
c. Kepemilikan organisasi pengelola zakat tidak seperti lazimnya pada organisasi bismis. Biasanya terdap pendiri, yaitu orang-orang yang sepakat untuk mendirikan organisasi pengelola zakat tersebut pada awalnya. Pada hakekatnya, organisasi pengelola zakat bukanlah milik pendiri, tetapi milik umat. Hal ini dikarenakan sumber daya organisasi terutama berasal dari masyarakat atau umat. Termasuk jika organisasi pengelola zakat tersebut dilikuidasi, kekayaan yang ada pada lembaga itu tidak boleh dibagikan pada pendiri.
BAB III
PENUTUP
Dari makalah yang telah kami susun dapat disimpulkan bahwa walaupun Badan Amil Zakat dibentuk oleh pemerintah, tetapi sejak awal proses pembentukannya sampai kepengurusunnya harus melibatkan unsur masyarakat. Menurut peraturan hanya posisi sekretariat saja yang berasal dari pejabat Departemen Agama. Dengan demikian, masyarakat luas dapat menjadi pengelola Badan Amil Zakat sepanjang kualifikasinya memenuhi syarat dan lulus seleksi. Dan Struktur organisasi Badan Amil Zakat terdiri dari tiga bagian, yaitu Dewan Pertimbangan, Komisi Pengawas, dan Badan Pelaksana.
Sedangkan Lembaga Amil Zakat yang telah dikukuhkan oleh pemerintah saja yang diakui bukti setoran zakatnya sebagai pengurang penghasilan kena pajak dari muzakki yang membayar dananya. Bentuk badan hukum untuk Lembaga Amil Zakat, yaitu yayasan, karena Lembaga Amil Zakat termasuk organisasi nirlaba, dan badan hukum yayasan dalam melakukan kegiatannya tidak berorientasi untuk memupuk laba.
DAFTRAR PUSTAKA
Al-Faridy, Hasan Rifa’i. 1996. Panduan Zakat Praktis. Jakarta: Dompet Duafa.
Djuanda Gustianb et.al. 2006. Pelaporan Zakat Pengurang Pajak Penghasilan. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada.
Innoed, H. Amiruddin. 2005. Anatomi Fiqh Zakat. Yogyakarta: Pustaka Belajar.
Senin, 18 Oktober 2010
Jumat, 21 Mei 2010
ulumul hadits
Sejarah singkat para perawi hadits yang menerima langsung dari rasul
1. Abu Hurairah
lahir 598 - wafat 678 yang lebih dikenal dengan panggilan Abu Hurairah (bahasa Arab: أبو هريرة), adalah seorang Sahabat Nabi yang terkenal dan merupakan periwayat hadits yang paling banyak disebutkan dalam isnad-nya oleh kaum Islam Sunni.
Ibnu Hisyam berkata bahwa nama asli Abu Hurairah adalah Abdullah bin Amin dan ada pula yang mengatakan nama aslinya ialah Abdur Rahman bin Shakhr.
Abu Hurairah berasal dari kabilah Bani Daus dari Yaman. Ia diperkirakan lahir 21 tahun sebelum hijrah, dan sejak kecil sudah menjadi yatim. Nama aslinya pada masa jahiliyah adalah Abdus-Syams (hamba matahari) dan ia dipanggil sebagai Abu Hurairah (ayah/pemilik kucing) karena suka merawat dan memelihara kucing. Ketika mudanya ia bekerja pada Basrah binti Ghazawan, yang kemudian setelah masuk Islam dinikahinya.
Thufail bin Amr, seorang pemimpin Bani Daus, kembali ke kampungnya setelah bertemu dengan Nabi Muhammad dan menjadi muslim. Ia menyerukan untuk masuk Islam, dan Abu Hurairah segera menyatakan ketertarikannya meskipun sebagian besar kaumnya saat itu menolak. Ketika Abu Hurairah pergi bersama Thufail bin Amr ke Makkah, Nabi Muhammad mengubah nama Abu Hurairah menjadi Abdurrahman (hamba Maha Pengasih). Ia tinggal bersama kaumnya beberapa tahun setelah menjadi muslim, sebelum bergabung dengan kaum muhajirin di Madinah tahun 629. Abu Hurairah pernah meminta Nabi untuk mendoakan agar ibunya masuk Islam, yang akhirnya terjadi. Ia selalu menyertai Nabi Muhammad sampai dengan wafatnya Nabi tahun 632 di Madinah.
Abu Hurairah termasuk salah satu di antara kaum fakir muhajirin yang tidak memiliki keluarga dan harta kekayaan, yang disebut Ahlush Shuffah, yaitu tempat tinggal mereka di depan Masjid Nabawi. Abu Hurairah mempunyai seorang anak perempuan yang menikah dengan Said bin Musayyib, yaitu salah seorang tokoh tabi'in terkemuka.
Pada tahun 678 atau tahun 59 H, Abu Hurairah jatuh sakit, meninggal di Madinah, dan dimakamkan di Baqi'.
2. Abdullah bin Umar
Abdullah bin Umar bin Khattab (atau sering disebut Abdullah bin Umar atau Ibnu Umar saja (lahir 612 - wafat 693/696 atau 72/73 H) adalah seorang sahabat Nabi dan merupakan periwayat hadits yang terkenal. Ia adalah anak dari Umar bin Khattab, salah seorang sahabat utama Nabi Muhammad dan Khulafaur Rasyidin yang kedua.
Ibnu Umar masuk Islam bersama ayahnya saat ia masih kecil, dan ikut hijrah ke Madinah bersama ayahnya. Pada usia 13 tahun ia ingin menyertai ayahnya dalam Perang Badar, namun Rasulullah menolaknya. Perang pertama yang diikutinya adalah Perang Khandaq. Ia ikut berperang bersama Ja'far bin Abu Thalib dalam Perang Mu'tah, dan turut pula dalam pembebasan kota Makkah (Fathu Makkah). Setelah Nabi Muhammad meninggal, ia ikut dalam Perang Yarmuk dan dalam penaklukan Mesir serta daerah lainnya di Afrika.
Khalifah Utsman bin Affan pernah menawari Ibnu Umar untuk menjabat sebagai hakim, tapi ia tidak mau menerimanya. Setelah Utsman terbunuh, sebagian kaum muslimin pernah berupaya membai'atnya menjadi khalifah, tapi ia juga menolaknya. Ia tidak ikut campur dalam pertentangan antara Ali bin Abi Thalib dan Muawiyah bin Abu Sufyan. Ia cenderung menjauhi dunia politik, meskipun ia sempat terlibat konflik dengan Abdullah bin Zubair yang pada saat itu telah menjadi penguasa Makkah.
Ibnu Umar adalah seorang yang meriwayatkan hadist terbanyak kedua setelah Abu Hurairah, yaitu sebanyak 2.630 hadits, karena ia selalu mengikuti kemana Rasulullah pergi. Bahkan Aisyah istri Rasulullah pernah memujinya dan berkata :"Tak seorang pun mengikuti jejak langkah Rasulullah di tempat-tempat pemberhentiannya, seperti yang telah dilakukan Ibnu Umar". Ia bersikap sangat berhati-hati dalam meriwayatkan hadist Nabi. Demikian pula dalam mengeluarkan fatwa, ia senantiasa mengikuti tradisi dan sunnah Rasulullah, karenanya ia tidak mau melakukan ijtihad. Biasanya ia memberi fatwa pada musim haji, atau pada kesempatan lainnya. Diantara para Tabi'in, yang paling banyak meriwayatkan darinya ialah Salim dan hamba sahayanya, Nafi'.
Kesalehan Ibnu Umar sering mendapatkan pujian dari kalangan sahabat Nabi dan kaum muslimin lainnya. Jabir bin Abdullah berkata: " Tidak ada di antara kami disenangi oleh dunia dan dunia senang kepadanya, kecuali Umar dan putranya Abdullah." Abu Salamah bin Abdurrahman mengatakan: "Ibnu Umar meninggal dan keutamaannya sama seperti Umar. Umar hidup pada masa banyak orang yang sebanding dengan dia, sementara Ibnu Umar hidup di masa yang tidak ada seorang pun yang sebanding dengan dia".
Ibnu Umar adalah seorang pedagang sukses dan kaya raya, tetapi juga banyak berderma. Ia hidup sampai 60 tahun setelah wafatnya Rasulullah. Ia kehilangan pengelihatannya di masa tuanya. Ia wafat dalam usia lebih dari 80 tahun, dan merupakan salah satu sahabat yang paling akhir yang meninggal di kota Makkah.
3. Anas bin Malik
Anas bin Malik Ra berada pada urutan ketiga terbanyak meriwayatkan hadis. Ia telah meriwayatkan sebanyak 2.286 hadis, setingkat di bawah Abdullah bin Umar Ra. Ayahnya bernama Malik bin Nadhir Ra yang nasabnya bersambung dengan Adi bin Najjar Ra.
Saat Anas Ra berusia 10 tahun, ibunya menyerahkan Anas kepada Rasulullah Saw untuk menjadi pelayan beliau.
Rasulullah Saw memanggil Anas dengan sebutan Dzal Udunaini, yang artinya ''yang punya dua telinga.''
Anas Ra tak mengikuti perang Badar, karena usianya saat itu masih sangat muda. Namun di perang-perang lain, Anas Ra selalu tampil berani. Tatkala Abu Bakar Ra bermusyawarah untuk mempergunakan tenaga Anas Ra,Umar Ra sangat memuji usul tersebut dan berkata, ''Anas (Ra) adalah seorang pemuda yang pandai menulis dan terkenal pula ketakwaannya, karena ia lama bersahabat dengan Rasulullah (Saw).''
Ibnu Sirin berkata, ''Anas (Ra) adalah orang yang paling baik dalam melaksanakan shalat, di rumah atau di perjalanan.'' Sedang Abu Hurairah Ra berkata, ''Saya belum pernah berjumpa dengan orang yang seperti Ibnu Sulaim (Anas Ra) dalam melaksanakan shalat.''
4. Aisyah
Lahir sekitar 604-678 Masehi, adalah istri dari Nabi Islam Muhammad. Dalam penulisan Islam, sering ditambahkan pula gelar "Ibu orang-orang Mukmin" (Arab: أمّ المؤمنين ummul-mu'minīn), sebagai gambaran bagi para istri Muhammad sebagai "Ibu dari orang-orang Mukmin" dalam Qur'an (33.6). Ia dikutip sebagai sumber dari banyak hadits, dimana kehidupan pribadi Muhammad menjadi topik yang sering dibicarakan.
Tabrani mengatakan Aisyah lahir sebelum tahun 610 Masehi, sehingga Aisyah kawin dengan nabi Muhammad pada 623 masehi bersamaan 1 Hijrah bermakna umurnya adalah 14 tahun, dimana Aisyah menjadi istri ketiga Muhammad setelah Khadijah dan Saudah binti Zam'ah. Tetapi terdapat berbagai silang pendapat mengenai pada umur berapa sebenarnya Muhammad menikahi Aisyah? Sebagian besar referensi (termasuk sahih Bukhari dan sahih Muslim) menyatakan bahwa upacara perkawinan tersebut terjadi di usia enam tahun, dan Aisyah diantarkan memasuki rumah tangga Muhammad sejak umur sembilan tahun. Sementara pada hadits lainnya dikatakan Aisyah pada umur belasan tahun saat itu.
Aisyah merupakan juga seorang figur kontroversial sebagaimana yang digambarkan oleh cerita versi Syi'ah terkait dengan peperangannya dengan Ali bin Abi Thalib dalam Perang Jamal.
Semasa hidupnya, Siti Aisyah telah meriwayatkan sejumlah 2.210 hadis. Keunggulan Siti Aisyah dalam meriwayatkan hadis, kadang-kadang ia bisa meng-istimbatkan (mengkonklusikan) beberapa masalah. Ia kerap berijtihad sendiri lalu diikuti oleh para sahabat yang lain.
6 perwi hadits termasyhur dan karyanya
1. Imam Muslim
Al-Imam Abul Husain Muslim bin al-Hajjaj al-Qusyairi an-Naisaburi(bahasa Arab: atau sering dikenal sebagai Imam Muslim (821-875) dilahirkan pada tahun 204 Hijriah dan meninggal dunia pada sore hari Ahad bulan Rajab tahun 261 Hijriah dan dikuburkan di Naisaburi.
Beliau juga sudah belajar hadits sejak kecil seperti Imam Bukhari dan pernah mendengar dari guru-guru Al Bukhari dan ulama lain selain mereka. Orang yang menerima Hadits dari beliau ini, termasuk tokoh-tokoh ulama pada masanya. Ia juga telah menyusun beberapa karangan yang bermutu dan bermanfaat. Yang paling bermanfaat adalah kitab Shahihnya yang dikenal dengan Shahih Muslim. Kitab ini disusun lebih sistematis dari Shahih Bukhari. Kedua kitab hadits shahih ini; Shahih Bukhari dan Shahih Muslim biasa disebut dengan Ash Shahihain. Kadua tokoh hadits ini biasa disebut Asy Syaikhani atau Asy Syaikhaini, yang berarti dua orang tua yang maksudnya dua tokoh ulama ahli Hadits. Imam Al-Ghazali dalam kitab Ihya Ulumuddin terdapat istilah akhraja hu yang berarti mereka berdua meriwayatkannya.
Ia belajar hadits sejak masih dalam usia dini, yaitu mulai tahun 218 H. Ia pergi ke Hijaz, Irak, Syam, Mesir dan negara-negara lainnya.
Di Khurasan, ia berguru kepada Yahya bin Yahya dan Ishak bin Rahawaih; di Ray ia berguru kepada Muhammad bin Mahran dan Abu `Ansan. Di Irak ia belajar hadits kepada Imam Ahmad dan Abdullah bin Maslamah; di Hijaz belajar kepada Sa`id bin Mansur dan Abu Mas`Abuzar; di Mesir berguru kepada `Amr bin Sawad dan Harmalah bin Yahya, dan kepada ulama ahli hadits yang lain.
Beliau berkali-kali mengunjungi Baghdad untuk belajar kepada ulama-ulama ahli hadits, dan kunjungannya yang terakhir pada 259 H, di waktu Imam Bukhari datang ke Naisabur, beliau sering datang kepadanya untuk berguru, sebab ia mengetahui jasa dan ilmunya. Dan ketika terjadi fitnah atau kesenjangan antara Bukhari dan Az-Zihli, ia bergabung kepada Bukhari, sehingga hal ini menjadi sebab terputusnya hubungan dengan Az-Zihli. Muslim dalam Sahihnya maupun dalam kitab lainnya, tidak memasukkan hadits-hadits yang diterima dari Az-Zihli padahal ia adalah gurunya. Hal serupa ia lakukan terhadap Bukhari. Ia tidak meriwayatkan hadits dalam Sahihnya, yang diterimanya dari Bukhari, padahal iapun sebagai gurunya. Nampaknya pada hemat Muslim, yang lebih baik adalah tidak memasukkan ke dalam Sahihnya hadits-hadits yang diterima dari kedua gurunya itu, dengan tetap mengakui mereka sebagai guru.
Imam Muslim wafat pada Minggu sore, dan dikebumikan di kampung Nasr Abad, salah satu daerah di luar Naisabur, pada hari Senin, 25 Rajab 261 H / 5 Mei 875. dalam usia 55 tahun.
Imam Muslim meninggalkan karya tulis yang tidak sedikit jumlahnya, di antaranya :
1. Al-Jami` ash-Shahih atau lebih dikenal sebagai Sahih Muslim
2. Al-Musnad al-Kabir (kitab yang menerangkan nama-nama para perawi hadits)
3. Kitab al-Asma wal-Kuna
4. Kitab al-Ilal
5. Kitab al-Aqran
6. Kitab Su`alatihi Ahmad bin Hambal
7. Kitab al-Intifa` bi Uhubis-Siba`
8. Kitab al-Muhadramin
9. Kitab Man Laisa Lahu illa Rawin Wahid
10. Kitab Auladish-Shahabah
11. Kitab Auhamil-Muhadditsin
2. Imam Bukhari
Abu Abdullah Muhammad bin Ismail bin Ibrahim bin al-Mughirah bin Bardizbah al-Ju'fi al-Bukhari atau lebih dikenal Imam Bukhari adalah ahli hadits yang termasyhur diantara para ahli hadits sejak dulu hingga kini bersama dengan Imam Muslim, Abu Dawud, Tirmidzi, An-Nasai dan Ibnu Majah bahkan dalam kitab-kitab Fiqih dan Hadits, hadits-hadits beliau memiliki derajat yang tinggi. Sebagian menyebutnya dengan julukan Amirul Mukminin fil Hadits (Pemimpin kaum mukmin dalam hal Ilmu Hadits). Dalam bidang ini, hampir semua ulama di dunia merujuk kepadanya.
Beliau diberi nama Muhammad oleh ayah beliau, Ismail bin Ibrahim. Yang sering menggunakan nama asli beliau ini adalah Imam Turmudzi dalam komentarnya setelah meriwayatkan hadits dalam Sunan Turmudzi. Sedangkan kuniah beliau adalah Abu Abdullah. Karena lahir di Bukhara, Uzbekistan, Asia Tengah; beliau dikenal sebagai al-Bukhari. Dengan demikian nama lengkap beliau adalah Abu Abdullah Muhammad bin Ismail bin Ibrahim bin al-Mughirah bin Bardizbah al-Ju'fi al-Bukhari. Ia lahir pada tanggal 13 Syawal 194 H (21 Juli 810 M). Tak lama setelah lahir, beliau kehilangan penglihatannya.
Bukhari dididik dalam keluarga ulama yang taat beragama. Dalam kitab ats-Tsiqat, Ibnu Hibban menulis bahwa ayahnya dikenal sebagai orang yang wara' dalam arti berhati hati terhadap hal hal yang bersifat syubhat (ragu-ragu) hukumnya terlebih lebih terhadap hal yang haram. Ayahnya adalah seorang ulama bermadzhab Maliki dan merupakan murid dari Imam Malik, seorang ulama besar dan ahli fikih. Ayahnya wafat ketika Bukhari masih kecil.
Bukhari berguru kepada Syekh Ad-Dakhili, ulama ahli hadits yang masyhur di Bukhara. pada usia 16 tahun bersama keluarganya, ia mengunjungi kota suci terutama Mekkah dan Madinah, dimana dikedua kota suci itu dia mengikuti kuliah para guru besar hadits. Pada usia 18 tahun dia menerbitkan kitab pertama Kazaya Shahabah wa Tabi'in, hafal kitab-kitab hadits karya Mubarak dan Waki bin Jarrah bin Malik. Bersama gurunya Syekh Ishaq, menghimpun hadits-hadits shahih dalam satu kitab, dimana dari satu juta hadits yang diriwayatkan 80.000 perawi disaring menjadi 7275 hadits.
Bukhari memiliki daya hafal tinggi sebagaimana yang diakui kakaknya, Rasyid bin Ismail. Sosok beliau kurus, tidak tinggi, tidak pendek, kulit agak kecoklatan, ramah dermawan dan banyak menyumbangkan hartanya untuk pendidikan.
Untuk mengumpulkan dan menyeleksi hadits shahih, Bukhari menghabiskan waktu selama 16 tahun untuk mengunjungi berbagai kota guna menemui para perawi hadits, mengumpulkan dan menyeleksi haditsnya. Diantara kota-kota yang disinggahinya antara lain Bashrah, Mesir, Hijaz (Mekkah, Madinah), Kufah, Baghdad sampai ke Asia Barat. Di Baghdad, Bukhari sering bertemu dan berdiskusi dengan ulama besar Imam Ahmad bin Hanbali. Dari sejumlah kota-kota itu, ia bertemu dengan 80.000 perawi. Dari merekalah beliau mengumpulkan dan menghafal satu juta hadits.
Namun tidak semua hadits yang ia hafal kemudian diriwayatkan, melainkan terlebih dahulu diseleksi dengan seleksi yang sangat ketat diantaranya apakah sanad (riwayat) dari hadits tersebut bersambung dan apakah perawi (periwayat/pembawa) hadits itu terpercaya dan tsiqqah (kuat). Menurut Ibnu Hajar Al Asqalani, akhirnya Bukhari menuliskan sebanyak 9082 hadis dalam karya monumentalnya Al Jami'al-Shahil yang dikenal sebagai Shahih Bukhari.
Banyak para ahli hadits yang berguru kepadanya seperti Syekh Abu Zahrah, Abu Hatim Tirmidzi, Muhammad Ibn Nasr dan Imam Muslim.
Karya Imam Bukhari antara lain:
• Al-Jami' ash-Shahih yang dikenal sebagai Shahih Bukhari
• Al-Adab al-Mufrad
• Adh-Dhu'afa ash-Shaghir
• At-Tarikh ash-Shaghir
• At-Tarikh al-Ausath
• At-Tarikh al-Kabir
• At-Tafsir al-Kabir
• Al-Musnad al-Kabir
• Kazaya Shahabah wa Tabi'in
• Kitab al-Ilal
• Raf'ul Yadain fi ash-Shalah
• Birr al-Walidain
• Kitab ad-Du'afa
• Asami ash-Shahabah
• Al-Hibah
• Khalq Af'al al-Ibad[6]
• Al-Kuna
• Al-Qira'ah Khalf al-Imam
Diantara guru-guru beliau dalam memperoleh hadits dan ilmu hadits antara lain Ali ibn Al Madini, Ahmad bin Hanbal, Yahya bin Ma'in, Muhammad ibn Yusuf Al Faryabi, Maki ibn Ibrahim Al Bakhi, Muhammad ibn Yusuf al Baykandi dan ibn Rahwahih. Selain itu ada 289 ahli hadits yang haditsnya dikutip dalam kitab Shahih-nya
Dalam meneliti dan menyeleksi hadits dan diskusi dengan para perawi. Imam Bukhari sangat sopan. Kritik-kritik yang ia lontarkan kepada para perawi juga cukup halus namun tajam. Kepada Perawi yang sudah jelas kebohongannya ia berkata, "perlu dipertimbangkan, para ulama meninggalkannya atau para ulama berdiam diri dari hal itu" sementara kepada para perawi yang haditsnya tidak jelas ia menyatakan "Haditsnya diingkari". Bahkan banyak meninggalkan perawi yang diragukan kejujurannya. Dia berkata "Saya meninggalkan 10.000 hadits yang diriwayatkan oleh perawi yang perlu dipertimbangkan dan meninggalkan hadits-hadits dengan jumlah yang sama atau lebih, yang diriwayatan oleh perawi yang dalam pandanganku perlu dipertimbangkan".
Banyak para ulama atau perawi yang ditemui sehingga Bukhari banyak mencatat jati diri dan sikap mereka secara teliti dan akurat. Untuk mendapatkan keterangan yang lengkap mengenai sebuah hadits, mencek keakuratan sebuah hadits ia berkali-kali mendatangi ulama atau perawi meskipun berada di kota-kota atau negeri yang jauh seperti Baghdad, Kufah, Mesir, Syam, Hijaz seperti yang dikatakan beliau "Saya telah mengunjungi Syam, Mesir, dan Jazirah masing-masing dua kali; ke Basrah empat kali, menetap di Hijaz selama enam tahun, dan tidak dapat dihitung berapa kali saya mengunjungi Kufah dan Baghdad untuk menemui ulama-ulama ahli hadits."
Di sela-sela kesibukannya sebagai ulama, pakar hadits, ia juga dikenal sebagai ulama dan ahli fiqih, bahkan tidak lupa dengan kegiatan kegiatan olahraga dan rekreatif seperti belajar memanah sampai mahir. Bahkan menurut suatu riwayat, Imam Bukhari tidak pernah luput memanah kecuali dua kali.
3. Abu Daud
Langsung ke: navigasi, cari
Imam Abu Dawud (817 / 202 H – meninggal di Basrah; 888 / 16 Syawal 275 H; umur 70–71 tahun) adalah salah seorang perawi hadits, yang mengumpulkan sekitar 50.000 hadits lalu memilih dan menuliskan 4.800 di antaranya dalam kitab Sunan Abu Dawud. Nama lengkapnya adalah Abu Dawud Sulaiman bin Al-Asy'ats As-Sijistani. Untuk mengumpulkan hadits, beliau bepergian ke Arab Saudi, Irak, Khurasan, Mesir, Suriah, Nishapur, Marv, dan tempat-tempat lain, menjadikannya salah seorang ulama yang paling luas perjalanannya.
Bapak beliau yaitu Al Asy'ats bin Ishaq adalah seorang perawi hadits yang meriwayatkan hadits dari Hamad bin Zaid, dan demikian juga saudaranya Muhammad bin Al Asy`ats termasuk seorang yang menekuni dan menuntut hadits dan ilmu-ilmunya juga merupakan teman perjalanan beliau dalam menuntut hadits dari para ulama ahli hadits.
Abu Dawud sudah berkecimpung dalam bidang hadits sejak berusia belasan tahun. Hal ini diketahui mengingat pada tahun 221 H, dia sudah berada di Baghdad, dan di sana beliau menemui kematian Imam Muslim, sebagaimana yang beliau katakan: "Aku menyaksikan jenazahnya dan mensholatkannya".Walaupun sebelumnya beliau telah pergi ke negeri-negeri tetangga Sajistaan, seperti khurasan, Baghlan, Harron, Roi dan Naisabur.
Setelah beliau masuk kota Baghdad, beliau diminta oleh Amir Abu Ahmad Al Muwaffaq untuk tinggal dan menetap di Bashroh,dan beliau menerimanya,akan tetapi hal itu tidak membuat beliau berhenti dalam mencari hadits.
Imam Abu Daud menyusun kitabnya di Baghdad. Minat utamanya adalah syariat, jadi kumpulan hadits-nya berfokus murni pada hadits tentang syariat. Setiap hadits dalam kumpulannya diperiksa kesesuaiannya dengan Al-Qur'an, begitu pula sanadnya. Dia pernah memperlihatkan kitab tersebut kepada Imam Ahmad untuk meminta saran perbaikan.
Kitab Sunan Abu Dawud diakui oleh mayoritas dunia Muslim sebagai salah satu kitab hadits yang paling autentik. Namun, diketahui bahwa kitab ini mengandung beberapa hadits lemah (yang sebagian ditandai beliau, sebagian tidak).
Banyak ulama yang meriwayatkan hadits dari beliau, di antaranya Imam Turmudzi dan Imam Nasa'i. Al Khatoby mengomentari bahwa kitab tersebut adalah sebaik-baik tulisan dan isinya lebih banyak memuat fiqh daripada kitab Shahih Bukhari dan Shahih Muslim. Ibnul A'raby berkata, barangsiapa yang sudah menguasai Al-Qur'an dan kitab "Sunan Abu Dawud", maka dia tidak membutuhkan kitab-kitab lain lagi. Imam Al-Ghazali juga mengatakan bahwa kitab "Sunan Abu Dawud" sudah cukup bagi seorang mujtahid untuk menjadi landasan hukum.
Ia adalah imam dari imam-imam Ahlussunnah wal Jamaah yang hidup di Bashroh kota berkembangnya kelompok Qadariyah,demikian juga berkembang disana pemikiran Khowarij, Mu'tazilah, Murji'ah dan Syi'ah Rafidhoh serta Jahmiyah dan lain-lainnya, tetapi walaupun demikian beliau tetap dalam keistiqomahan diatas Sunnah dan beliaupun membantah Qadariyah dengan kitabnya Al Qadar, demikian pula bantahan beliau atas Khowarij dalam kitabnya Akhbar Al Khawarij, dan juga membantah terhadap pemahaman yang menyimpang dari kemurnian ajaran Islam yang telah disampaikan olah Rasulullah. Maka tentang hal itu bisa dilihat pada kitabnya As Sunan yang terdapat padanya bantahan-bantahan beliau terhadap Jahmiyah, Murji'ah dan Mu'tazilah.
Ia wafat di kota Bashroh tanggal 16 Syawal 275 H dan disholatkan janazahnya oleh Abbas bin Abdul Wahid Al Haasyimy.
4. Imam Tirmizi
Abu Isa Muhammad bin Isa bin Surah At Turmudzi (lebih dikenal sebagai Imam Turmudzi/ At Turmudzi/ At Tirmidzi) adalah seorang ahli hadits. Ia pernah belajar hadits dari Imam Bukhari. Ia menyusun kitab Sunan At Turmudzi dan Al Ilal. Ia mengatakan bahwa dia sudah pernah menunjukkan kitab Sunannya kepada ulama ulama Hijaz, Irak dan Khurasan dan mereka semuanya setuju dengan isi kitab itu. Karyanya yang mashyur yaitu Kitab Al-Jami’ (Jami’ At-Tirmizi). Ia juga tergolonga salah satu "Kutubus Sittah" (Enam Kitab Pokok Bidang Hadits) dan ensiklopedia hadits terkenal.
Al Hakim mengatakan "Saya pernah mendengar Umar bin Alak mengomentari pribadi At Turmudzi sebagai berikut; kematian Imam Bukhari tidak meninggalkan muridnya yang lebih pandai di Khurasan selain daripada Abu 'Isa At Turmudzi dalam hal luas ilmunya dan hafalannya."
Setelah menjalani perjalanan panjang untuk belajar, mencatat, berdiskusi dan tukar pikiran serta mengarang, ia pada akhir kehidupannya mendapat musibah kebutaan, dan beberapa tahun lamanya ia hidup sebagai tuna netra; dalam keadaan seperti inilah akhirnya at-Tirmizi meninggal dunia. Ia wafat di Tirmiz pada malam Senin 13 Rajab tahun 279 H (8 Oktober 892) dalam usia 70 tahun.
Imam Tirmizi banyak menulis kitab-kitab. Di antaranya:
1. Kitab Al-Jami’, terkenal dengan sebutan Sunan at-Tirmidzi
2. Kitab Al-‘Ilal
3. Kitab At-Tarikh
4. Kitab Asy-Syama’il an-Nabawiyyah
5. Kitab Az-Zuhd
6. Kitab Al-Asma’ wal-Kuna
Sekilas tentang Al-Jami’
Kitab ini adalah salah satu kitab karya Imam Tirmizi terbesar dan paling banyak manfaatnya. Ia tergolonga salah satu "Kutubus Sittah" (Enam Kitab Pokok Bidang Hadits) dan ensiklopedia hadits terkenal. Al-Jami’ ini terkenal dengan nama Jami’ Tirmizi, dinisbatkan kepada penulisnya, yang juga terkenal dengan nama Sunan Tirmizi. Namun nama pertamalah yang popular.
Sebagian ulama tidak berkeberatan menyandangkan gelar as-Sahih kepadanya, sehingga mereka menamakannya dengan Sahih Tirmizi. Sebenarnya pemberian nama ini tidak tepat dan terlalu gegabah.
Setelah selesai menyususn kitab ini, Tirmizi memperlihatkan kitabnya kepada para ulama dan mereka senang dan menerimanya dengan baik. Ia menerangkan: "Setelah selesai menyusun kitab ini, aku perlihatkan kitab tersebut kepada ulama-ulama Hijaz, Irak dan Khurasan, dan mereka semuanya meridhainya, seolah-olah di rumah tersebut ada Nabi yang selalu berbicara."
Imam Tirmizi di dalam Al-Jami’-nya tidak hanya meriwayatkan hadits sahih semata, tetapi juga meriwayatkan hadits-hadits hasan, da’if, garib dan mu’allal dengan menerangkan kelemahannya.
Dalam pada itu, ia tidak meriwayatkan dalam kitabnya itu, kecuali hadits-hadits yang diamalkan atau dijadikan pegangan oleh ahli fiqh. Metode demikian ini merupakan cara atau syarat yang longgar. Oleh karenanya, ia meriwayatkan semua hadits yang memiliki nilai demikian, baik jalan periwayatannya itu sahih ataupun tidak sahih. Hanya saja ia selalu memberikan penjelasan yang sesuai dengan keadaan setiap hadits.
Diriwayatkan, bahwa ia pernah berkata: "Semua hadits yang terdapat dalam kitab ini adalah dapat diamalkan." Oleh karena itu, sebagian besar ahli ilmu menggunakannya (sebagai pegangan), kecuali dua buah hadits, yaitu:
1. "Sesungguhnya Rasulullah SAW menjamak shalat Zuhur dengan Asar, dan Maghrib dengan Isya, tanpa adanya sebab "takut" dan "dalam perjalanan."
2. "Jika ia peminum khamar, minum lagi pada yang keempat kalinya, maka bunuhlah dia."
Hadits ini adalah mansukh dan ijma ulama menunjukan demikian. Sedangkan mengenai shalat jamak dalam hadits di atas, para ulama berbeda pendapat atau tidak sepakat untuk meninggalkannya. Sebagian besar ulama berpendapat boleh (jawaz) hukumnya melakukan salat jamak di rumah selama tidak dijadikan kebiasaan. Pendapat ini adalah pendapat Ibnu Sirin dan Asyab serta sebagian besar ahli fiqh dan ahli hadits juga Ibnu Munzir.
Hadits-hadits dha’if dan munkar yang terdapat dalam kitab ini, pada umumnya hanya menyangkut fada’il al-a’mal (anjuran melakukan perbuatan-perbuatan kebajikan). Hal itu dapat dimengerti karena persyaratan-persyaratan bagi (meriwayatkan dan mengamalkan) hadits semacam ini lebih longgar dibandingkan dengan persyaratan bagi hadits-hadits tentang halal dan haram.
5. Ibnu Majah
Ibnu Majah dengan nama lengkapnya Abu Abdullah Muhammad bin Yazid bin Abdullah bin Majah Al Quzwaini . Ia dilahirkan pada tahun 207 Hijriah dan meninggal pada hari selasa, delapan hari sebelum berakhirnya bulan Ramadhan tahun 275. Ia menuntut ilmu hadits dari berbagai negara hingga beliau mendengar hadits dari madzhab Maliki dan Al Laits. Sebaliknya banyak ulama yang menerima hadits dari beliau. Ibnu Majah menyusun kitab Sunan Ibnu Majah dan kitab ini sebelumnya tidak mempunyai tingkatan atau tidak termasuk dalam kelompok kutubus sittah (lihat di bagian hadits) karena dalam kitabnya ini terdapat hadits yang dlaif bahkan hadits munkar. Oleh karena itu para ulama memasukkan kitab Al Muwaththa karya Imam Malik dalam kelompok perawi yang lima (Al Khamsah). Menurut penyusun (Ibnu Hajar) ulama yang pertama kali mengelompokkan atau memasukkan Ibnu Majah kedalam kelompok Al Khamsah itu adalah Abul Fadl bin Thahir dalam kitabnya Al Athraf, kemudian Abdul Ghani dal kitabnya Asmaur Rijal.
6. imam nasa’i
Imam Nasa`i dengan nama lengkapnya Ahmad bin Syu'aib Al Khurasany, terkenal dengan nama An Nasa`i karena dinisbahkan dengan kota Nasa'i salah satu kota di Khurasan. Ia dilahirkan pada tahun 215 Hijriah demikian menurut Adz Dzahabi dan meninggal dunia pada hari Senin tanggal 13 Shafar 303 Hijriah di Palestina lalu dikuburkan di Baitul Maqdis.
Beliau menerima Hadits dari Sa'id, Ishaq bin Rawahih dan ulama-ulama lainnya selain itu dari kalangan tokoh ulama ahli hadits yang berada di Khurasanb, Hijaz, Irak, Mesir, Syam, dan Jazirah Arab. Ia termasuk diantara ulama yang ahli di bidang ini dan karena ketinggian sanad hadtsnya. Ia lebih kuat hafalannya menurut para ulama ahli hadits dari Imam Muslim dan kitab Sunan An Nasa`i lebih sedikit hadits dhaifnya (lemah) setelah Hadits Sahih Bukhari dan Sahih Muslim. Ia pernah menetap di Mesir
Para guru beliau yang nama harumnya tercatat oleh pena sejarah antara lain; Qutaibah bin Sa`id, Ishaq bin Ibrahim, Ishaq bin Rahawaih, al-Harits bin Miskin, Ali bin Kasyram, Imam Abu Dawud (penyusun Sunan Abi Dawud), serta Imam Abu Isa al-Tirmidzi (penyusun al-Jami`/Sunan al-Tirmidzi).
Sementara murid-murid yang setia mendengarkan fatwa-fatwa dan ceramah-ceramah beliau, antara lain; Abu al-Qasim al-Thabarani (pengarang tiga buku kitab Mu`jam), Abu Ja`far al-Thahawi, al-Hasan bin al-Khadir al-Suyuti, Muhammad bin Muawiyah bin al-Ahmar al-Andalusi, Abu Nashr al-Dalaby, dan Abu Bakr bin Ahmad al-Sunni. Nama yang disebut terakhir, disamping sebagai murid juga tercatat sebagai “penyambung lidah” Imam al-Nasa`i dalam meriwayatkan kitab Sunan al-Nasa`i.
Sudah mafhum dikalangan peminat kajian hadis dan ilmu hadis, para imam hadis merupakan sosok yang memiliki ketekunan dan keuletan yang patut diteladani. Dalam masa ketekunannya inilah, para imam hadis kerap kali menghasilkan karya tulis yang tak terhingga nilainya.
Tidak ketinggalan pula Imam al-Nasa`i. Karangan-karangan beliau yang sampai kepada kita dan telah diabadikan oleh pena sejarah antara lain; al-Sunan al-Kubra, al-Sunan al-Sughra (kitab ini merupakan bentuk perampingan dari kitab al-Sunan al-Kubra), al-Khashais, Fadhail al-Shahabah, dan al-Manasik. Menurut sebuah keterangan yang diberikan oleh Imam Ibn al-Atsir al-Jazairi dalam kitabnya Jami al-Ushul, kitab ini disusun berdasarkan pandangan-pandangan fiqh mazhab Syafi`i.
Untuk pertama kali, sebelum disebut dengan Sunan al-Nasa`i, kitab ini dikenal dengan al-Sunan al-Kubra. Setelah tuntas menulis kitab ini, beliau kemudian menghadiahkan kitab ini kepada Amir Ramlah (Walikota Ramlah) sebagai tanda penghormatan. Amir kemudian bertanya kepada al-Nasa`i, “Apakah kitab ini seluruhnya berisi hadis shahih?” Beliau menjawab dengan kejujuran, “Ada yang shahih, hasan, dan adapula yang hampir serupa dengannya”.
Kemudian Amir berkata kembali, “Kalau demikian halnya, maka pisahkanlah hadis yang shahih-shahih saja”. Atas permintaan Amir ini, beliau kemudian menyeleksi dengan ketat semua hadis yang telah tertuang dalam kitab al-Sunan al-Kubra. Dan akhirnya beliau berhasil melakukan perampingan terhadap al-Sunan al-Kubra, sehingga menjadi al-Sunan al-Sughra. Dari segi penamaan saja, sudah bisa dinilai bahwa kitab yang kedua merupakan bentuk perampingan dari kitab yang pertama.
Imam al-Nasa`i sangat teliti dalam menyeleksi hadis-hadis yang termuat dalam kitab pertama. Oleh karenanya, banyak ulama berkomentar “Kedudukan kitab al-Sunan al-Sughra dibawah derajat Shahih al-Bukhari dan Shahih Muslim. Di dua kitab terakhir, sedikit sekali hadis dhaif yang terdapat di dalamnya”. Nah, karena hadis-hadis yang termuat di dalam kitab kedua (al-Sunan al-Sughra) merupakan hadis-hadis pilihan yang telah diseleksi dengan super ketat, maka kitab ini juga dinamakan al-Mujtaba. Pengertian al-Mujtaba bersinonim dengan al-Maukhtar (yang terpilih), karena memang kitab ini berisi hadis-hadis pilihan, hadis-hadis hasil seleksi dari kitab al-Sunan al-Kubra.
Disamping al-Mujtaba, dalam salah satu riwayat, kitab ini juga dinamakan dengan al-Mujtana. Pada masanya, kitab ini terkenal dengan sebutan al-Mujtaba, sehingga nama al-Sunan al-Sughra seperti tenggelam ditelan keharuman nama al-Mujtaba. Dari al-Mujtaba inilah kemudian kitab ini kondang dengan sebutan Sunan al-Nasa`i, sebagaimana kita kenal sekarang. Dan nampaknya untuk selanjutnya, kitab ini tidak akan mengalami perubahan nama seperti yang terjadi sebelumnya.
Setahun menjelang kemangkatannya, beliau pindah dari Mesir ke Damsyik. Dan tampaknya tidak ada konsensus ulama tentang tempat meninggal beliau. Al-Daruqutni mengatakan, beliau di Makkah dan dikebumikan diantara Shafa dan Marwah. Pendapat yang senada dikemukakan oleh Abdullah bin Mandah dari Hamzah al-`Uqbi al-Mishri.
Sementara ulama yang lain, seperti Imam al-Dzahabi, menolak pendapat tersebut. Ia mengatakan, Imam al-Nasa`i meninggal di Ramlah, suatu daerah di Palestina. Pendapat ini didukung oleh Ibn Yunus, Abu Ja`far al-Thahawi (murid al-Nasa`i) dan Abu Bakar al-Naqatah. Menurut pandangan terakhir ini, Imam al-Nasa`i meninggal pada tahun 303 H/915M dan dikebumikan di Bait al-Maqdis, Palestina. Inna lillah wa Inna Ilai Rajiun. Semoga jerih payahnya dalam mengemban wasiat Rasullullah guna menyebarluaskan hadis mendapatkan balasan yang setimpal di sisi Allah.
1. Abu Hurairah
lahir 598 - wafat 678 yang lebih dikenal dengan panggilan Abu Hurairah (bahasa Arab: أبو هريرة), adalah seorang Sahabat Nabi yang terkenal dan merupakan periwayat hadits yang paling banyak disebutkan dalam isnad-nya oleh kaum Islam Sunni.
Ibnu Hisyam berkata bahwa nama asli Abu Hurairah adalah Abdullah bin Amin dan ada pula yang mengatakan nama aslinya ialah Abdur Rahman bin Shakhr.
Abu Hurairah berasal dari kabilah Bani Daus dari Yaman. Ia diperkirakan lahir 21 tahun sebelum hijrah, dan sejak kecil sudah menjadi yatim. Nama aslinya pada masa jahiliyah adalah Abdus-Syams (hamba matahari) dan ia dipanggil sebagai Abu Hurairah (ayah/pemilik kucing) karena suka merawat dan memelihara kucing. Ketika mudanya ia bekerja pada Basrah binti Ghazawan, yang kemudian setelah masuk Islam dinikahinya.
Thufail bin Amr, seorang pemimpin Bani Daus, kembali ke kampungnya setelah bertemu dengan Nabi Muhammad dan menjadi muslim. Ia menyerukan untuk masuk Islam, dan Abu Hurairah segera menyatakan ketertarikannya meskipun sebagian besar kaumnya saat itu menolak. Ketika Abu Hurairah pergi bersama Thufail bin Amr ke Makkah, Nabi Muhammad mengubah nama Abu Hurairah menjadi Abdurrahman (hamba Maha Pengasih). Ia tinggal bersama kaumnya beberapa tahun setelah menjadi muslim, sebelum bergabung dengan kaum muhajirin di Madinah tahun 629. Abu Hurairah pernah meminta Nabi untuk mendoakan agar ibunya masuk Islam, yang akhirnya terjadi. Ia selalu menyertai Nabi Muhammad sampai dengan wafatnya Nabi tahun 632 di Madinah.
Abu Hurairah termasuk salah satu di antara kaum fakir muhajirin yang tidak memiliki keluarga dan harta kekayaan, yang disebut Ahlush Shuffah, yaitu tempat tinggal mereka di depan Masjid Nabawi. Abu Hurairah mempunyai seorang anak perempuan yang menikah dengan Said bin Musayyib, yaitu salah seorang tokoh tabi'in terkemuka.
Pada tahun 678 atau tahun 59 H, Abu Hurairah jatuh sakit, meninggal di Madinah, dan dimakamkan di Baqi'.
2. Abdullah bin Umar
Abdullah bin Umar bin Khattab (atau sering disebut Abdullah bin Umar atau Ibnu Umar saja (lahir 612 - wafat 693/696 atau 72/73 H) adalah seorang sahabat Nabi dan merupakan periwayat hadits yang terkenal. Ia adalah anak dari Umar bin Khattab, salah seorang sahabat utama Nabi Muhammad dan Khulafaur Rasyidin yang kedua.
Ibnu Umar masuk Islam bersama ayahnya saat ia masih kecil, dan ikut hijrah ke Madinah bersama ayahnya. Pada usia 13 tahun ia ingin menyertai ayahnya dalam Perang Badar, namun Rasulullah menolaknya. Perang pertama yang diikutinya adalah Perang Khandaq. Ia ikut berperang bersama Ja'far bin Abu Thalib dalam Perang Mu'tah, dan turut pula dalam pembebasan kota Makkah (Fathu Makkah). Setelah Nabi Muhammad meninggal, ia ikut dalam Perang Yarmuk dan dalam penaklukan Mesir serta daerah lainnya di Afrika.
Khalifah Utsman bin Affan pernah menawari Ibnu Umar untuk menjabat sebagai hakim, tapi ia tidak mau menerimanya. Setelah Utsman terbunuh, sebagian kaum muslimin pernah berupaya membai'atnya menjadi khalifah, tapi ia juga menolaknya. Ia tidak ikut campur dalam pertentangan antara Ali bin Abi Thalib dan Muawiyah bin Abu Sufyan. Ia cenderung menjauhi dunia politik, meskipun ia sempat terlibat konflik dengan Abdullah bin Zubair yang pada saat itu telah menjadi penguasa Makkah.
Ibnu Umar adalah seorang yang meriwayatkan hadist terbanyak kedua setelah Abu Hurairah, yaitu sebanyak 2.630 hadits, karena ia selalu mengikuti kemana Rasulullah pergi. Bahkan Aisyah istri Rasulullah pernah memujinya dan berkata :"Tak seorang pun mengikuti jejak langkah Rasulullah di tempat-tempat pemberhentiannya, seperti yang telah dilakukan Ibnu Umar". Ia bersikap sangat berhati-hati dalam meriwayatkan hadist Nabi. Demikian pula dalam mengeluarkan fatwa, ia senantiasa mengikuti tradisi dan sunnah Rasulullah, karenanya ia tidak mau melakukan ijtihad. Biasanya ia memberi fatwa pada musim haji, atau pada kesempatan lainnya. Diantara para Tabi'in, yang paling banyak meriwayatkan darinya ialah Salim dan hamba sahayanya, Nafi'.
Kesalehan Ibnu Umar sering mendapatkan pujian dari kalangan sahabat Nabi dan kaum muslimin lainnya. Jabir bin Abdullah berkata: " Tidak ada di antara kami disenangi oleh dunia dan dunia senang kepadanya, kecuali Umar dan putranya Abdullah." Abu Salamah bin Abdurrahman mengatakan: "Ibnu Umar meninggal dan keutamaannya sama seperti Umar. Umar hidup pada masa banyak orang yang sebanding dengan dia, sementara Ibnu Umar hidup di masa yang tidak ada seorang pun yang sebanding dengan dia".
Ibnu Umar adalah seorang pedagang sukses dan kaya raya, tetapi juga banyak berderma. Ia hidup sampai 60 tahun setelah wafatnya Rasulullah. Ia kehilangan pengelihatannya di masa tuanya. Ia wafat dalam usia lebih dari 80 tahun, dan merupakan salah satu sahabat yang paling akhir yang meninggal di kota Makkah.
3. Anas bin Malik
Anas bin Malik Ra berada pada urutan ketiga terbanyak meriwayatkan hadis. Ia telah meriwayatkan sebanyak 2.286 hadis, setingkat di bawah Abdullah bin Umar Ra. Ayahnya bernama Malik bin Nadhir Ra yang nasabnya bersambung dengan Adi bin Najjar Ra.
Saat Anas Ra berusia 10 tahun, ibunya menyerahkan Anas kepada Rasulullah Saw untuk menjadi pelayan beliau.
Rasulullah Saw memanggil Anas dengan sebutan Dzal Udunaini, yang artinya ''yang punya dua telinga.''
Anas Ra tak mengikuti perang Badar, karena usianya saat itu masih sangat muda. Namun di perang-perang lain, Anas Ra selalu tampil berani. Tatkala Abu Bakar Ra bermusyawarah untuk mempergunakan tenaga Anas Ra,Umar Ra sangat memuji usul tersebut dan berkata, ''Anas (Ra) adalah seorang pemuda yang pandai menulis dan terkenal pula ketakwaannya, karena ia lama bersahabat dengan Rasulullah (Saw).''
Ibnu Sirin berkata, ''Anas (Ra) adalah orang yang paling baik dalam melaksanakan shalat, di rumah atau di perjalanan.'' Sedang Abu Hurairah Ra berkata, ''Saya belum pernah berjumpa dengan orang yang seperti Ibnu Sulaim (Anas Ra) dalam melaksanakan shalat.''
4. Aisyah
Lahir sekitar 604-678 Masehi, adalah istri dari Nabi Islam Muhammad. Dalam penulisan Islam, sering ditambahkan pula gelar "Ibu orang-orang Mukmin" (Arab: أمّ المؤمنين ummul-mu'minīn), sebagai gambaran bagi para istri Muhammad sebagai "Ibu dari orang-orang Mukmin" dalam Qur'an (33.6). Ia dikutip sebagai sumber dari banyak hadits, dimana kehidupan pribadi Muhammad menjadi topik yang sering dibicarakan.
Tabrani mengatakan Aisyah lahir sebelum tahun 610 Masehi, sehingga Aisyah kawin dengan nabi Muhammad pada 623 masehi bersamaan 1 Hijrah bermakna umurnya adalah 14 tahun, dimana Aisyah menjadi istri ketiga Muhammad setelah Khadijah dan Saudah binti Zam'ah. Tetapi terdapat berbagai silang pendapat mengenai pada umur berapa sebenarnya Muhammad menikahi Aisyah? Sebagian besar referensi (termasuk sahih Bukhari dan sahih Muslim) menyatakan bahwa upacara perkawinan tersebut terjadi di usia enam tahun, dan Aisyah diantarkan memasuki rumah tangga Muhammad sejak umur sembilan tahun. Sementara pada hadits lainnya dikatakan Aisyah pada umur belasan tahun saat itu.
Aisyah merupakan juga seorang figur kontroversial sebagaimana yang digambarkan oleh cerita versi Syi'ah terkait dengan peperangannya dengan Ali bin Abi Thalib dalam Perang Jamal.
Semasa hidupnya, Siti Aisyah telah meriwayatkan sejumlah 2.210 hadis. Keunggulan Siti Aisyah dalam meriwayatkan hadis, kadang-kadang ia bisa meng-istimbatkan (mengkonklusikan) beberapa masalah. Ia kerap berijtihad sendiri lalu diikuti oleh para sahabat yang lain.
6 perwi hadits termasyhur dan karyanya
1. Imam Muslim
Al-Imam Abul Husain Muslim bin al-Hajjaj al-Qusyairi an-Naisaburi(bahasa Arab: atau sering dikenal sebagai Imam Muslim (821-875) dilahirkan pada tahun 204 Hijriah dan meninggal dunia pada sore hari Ahad bulan Rajab tahun 261 Hijriah dan dikuburkan di Naisaburi.
Beliau juga sudah belajar hadits sejak kecil seperti Imam Bukhari dan pernah mendengar dari guru-guru Al Bukhari dan ulama lain selain mereka. Orang yang menerima Hadits dari beliau ini, termasuk tokoh-tokoh ulama pada masanya. Ia juga telah menyusun beberapa karangan yang bermutu dan bermanfaat. Yang paling bermanfaat adalah kitab Shahihnya yang dikenal dengan Shahih Muslim. Kitab ini disusun lebih sistematis dari Shahih Bukhari. Kedua kitab hadits shahih ini; Shahih Bukhari dan Shahih Muslim biasa disebut dengan Ash Shahihain. Kadua tokoh hadits ini biasa disebut Asy Syaikhani atau Asy Syaikhaini, yang berarti dua orang tua yang maksudnya dua tokoh ulama ahli Hadits. Imam Al-Ghazali dalam kitab Ihya Ulumuddin terdapat istilah akhraja hu yang berarti mereka berdua meriwayatkannya.
Ia belajar hadits sejak masih dalam usia dini, yaitu mulai tahun 218 H. Ia pergi ke Hijaz, Irak, Syam, Mesir dan negara-negara lainnya.
Di Khurasan, ia berguru kepada Yahya bin Yahya dan Ishak bin Rahawaih; di Ray ia berguru kepada Muhammad bin Mahran dan Abu `Ansan. Di Irak ia belajar hadits kepada Imam Ahmad dan Abdullah bin Maslamah; di Hijaz belajar kepada Sa`id bin Mansur dan Abu Mas`Abuzar; di Mesir berguru kepada `Amr bin Sawad dan Harmalah bin Yahya, dan kepada ulama ahli hadits yang lain.
Beliau berkali-kali mengunjungi Baghdad untuk belajar kepada ulama-ulama ahli hadits, dan kunjungannya yang terakhir pada 259 H, di waktu Imam Bukhari datang ke Naisabur, beliau sering datang kepadanya untuk berguru, sebab ia mengetahui jasa dan ilmunya. Dan ketika terjadi fitnah atau kesenjangan antara Bukhari dan Az-Zihli, ia bergabung kepada Bukhari, sehingga hal ini menjadi sebab terputusnya hubungan dengan Az-Zihli. Muslim dalam Sahihnya maupun dalam kitab lainnya, tidak memasukkan hadits-hadits yang diterima dari Az-Zihli padahal ia adalah gurunya. Hal serupa ia lakukan terhadap Bukhari. Ia tidak meriwayatkan hadits dalam Sahihnya, yang diterimanya dari Bukhari, padahal iapun sebagai gurunya. Nampaknya pada hemat Muslim, yang lebih baik adalah tidak memasukkan ke dalam Sahihnya hadits-hadits yang diterima dari kedua gurunya itu, dengan tetap mengakui mereka sebagai guru.
Imam Muslim wafat pada Minggu sore, dan dikebumikan di kampung Nasr Abad, salah satu daerah di luar Naisabur, pada hari Senin, 25 Rajab 261 H / 5 Mei 875. dalam usia 55 tahun.
Imam Muslim meninggalkan karya tulis yang tidak sedikit jumlahnya, di antaranya :
1. Al-Jami` ash-Shahih atau lebih dikenal sebagai Sahih Muslim
2. Al-Musnad al-Kabir (kitab yang menerangkan nama-nama para perawi hadits)
3. Kitab al-Asma wal-Kuna
4. Kitab al-Ilal
5. Kitab al-Aqran
6. Kitab Su`alatihi Ahmad bin Hambal
7. Kitab al-Intifa` bi Uhubis-Siba`
8. Kitab al-Muhadramin
9. Kitab Man Laisa Lahu illa Rawin Wahid
10. Kitab Auladish-Shahabah
11. Kitab Auhamil-Muhadditsin
2. Imam Bukhari
Abu Abdullah Muhammad bin Ismail bin Ibrahim bin al-Mughirah bin Bardizbah al-Ju'fi al-Bukhari atau lebih dikenal Imam Bukhari adalah ahli hadits yang termasyhur diantara para ahli hadits sejak dulu hingga kini bersama dengan Imam Muslim, Abu Dawud, Tirmidzi, An-Nasai dan Ibnu Majah bahkan dalam kitab-kitab Fiqih dan Hadits, hadits-hadits beliau memiliki derajat yang tinggi. Sebagian menyebutnya dengan julukan Amirul Mukminin fil Hadits (Pemimpin kaum mukmin dalam hal Ilmu Hadits). Dalam bidang ini, hampir semua ulama di dunia merujuk kepadanya.
Beliau diberi nama Muhammad oleh ayah beliau, Ismail bin Ibrahim. Yang sering menggunakan nama asli beliau ini adalah Imam Turmudzi dalam komentarnya setelah meriwayatkan hadits dalam Sunan Turmudzi. Sedangkan kuniah beliau adalah Abu Abdullah. Karena lahir di Bukhara, Uzbekistan, Asia Tengah; beliau dikenal sebagai al-Bukhari. Dengan demikian nama lengkap beliau adalah Abu Abdullah Muhammad bin Ismail bin Ibrahim bin al-Mughirah bin Bardizbah al-Ju'fi al-Bukhari. Ia lahir pada tanggal 13 Syawal 194 H (21 Juli 810 M). Tak lama setelah lahir, beliau kehilangan penglihatannya.
Bukhari dididik dalam keluarga ulama yang taat beragama. Dalam kitab ats-Tsiqat, Ibnu Hibban menulis bahwa ayahnya dikenal sebagai orang yang wara' dalam arti berhati hati terhadap hal hal yang bersifat syubhat (ragu-ragu) hukumnya terlebih lebih terhadap hal yang haram. Ayahnya adalah seorang ulama bermadzhab Maliki dan merupakan murid dari Imam Malik, seorang ulama besar dan ahli fikih. Ayahnya wafat ketika Bukhari masih kecil.
Bukhari berguru kepada Syekh Ad-Dakhili, ulama ahli hadits yang masyhur di Bukhara. pada usia 16 tahun bersama keluarganya, ia mengunjungi kota suci terutama Mekkah dan Madinah, dimana dikedua kota suci itu dia mengikuti kuliah para guru besar hadits. Pada usia 18 tahun dia menerbitkan kitab pertama Kazaya Shahabah wa Tabi'in, hafal kitab-kitab hadits karya Mubarak dan Waki bin Jarrah bin Malik. Bersama gurunya Syekh Ishaq, menghimpun hadits-hadits shahih dalam satu kitab, dimana dari satu juta hadits yang diriwayatkan 80.000 perawi disaring menjadi 7275 hadits.
Bukhari memiliki daya hafal tinggi sebagaimana yang diakui kakaknya, Rasyid bin Ismail. Sosok beliau kurus, tidak tinggi, tidak pendek, kulit agak kecoklatan, ramah dermawan dan banyak menyumbangkan hartanya untuk pendidikan.
Untuk mengumpulkan dan menyeleksi hadits shahih, Bukhari menghabiskan waktu selama 16 tahun untuk mengunjungi berbagai kota guna menemui para perawi hadits, mengumpulkan dan menyeleksi haditsnya. Diantara kota-kota yang disinggahinya antara lain Bashrah, Mesir, Hijaz (Mekkah, Madinah), Kufah, Baghdad sampai ke Asia Barat. Di Baghdad, Bukhari sering bertemu dan berdiskusi dengan ulama besar Imam Ahmad bin Hanbali. Dari sejumlah kota-kota itu, ia bertemu dengan 80.000 perawi. Dari merekalah beliau mengumpulkan dan menghafal satu juta hadits.
Namun tidak semua hadits yang ia hafal kemudian diriwayatkan, melainkan terlebih dahulu diseleksi dengan seleksi yang sangat ketat diantaranya apakah sanad (riwayat) dari hadits tersebut bersambung dan apakah perawi (periwayat/pembawa) hadits itu terpercaya dan tsiqqah (kuat). Menurut Ibnu Hajar Al Asqalani, akhirnya Bukhari menuliskan sebanyak 9082 hadis dalam karya monumentalnya Al Jami'al-Shahil yang dikenal sebagai Shahih Bukhari.
Banyak para ahli hadits yang berguru kepadanya seperti Syekh Abu Zahrah, Abu Hatim Tirmidzi, Muhammad Ibn Nasr dan Imam Muslim.
Karya Imam Bukhari antara lain:
• Al-Jami' ash-Shahih yang dikenal sebagai Shahih Bukhari
• Al-Adab al-Mufrad
• Adh-Dhu'afa ash-Shaghir
• At-Tarikh ash-Shaghir
• At-Tarikh al-Ausath
• At-Tarikh al-Kabir
• At-Tafsir al-Kabir
• Al-Musnad al-Kabir
• Kazaya Shahabah wa Tabi'in
• Kitab al-Ilal
• Raf'ul Yadain fi ash-Shalah
• Birr al-Walidain
• Kitab ad-Du'afa
• Asami ash-Shahabah
• Al-Hibah
• Khalq Af'al al-Ibad[6]
• Al-Kuna
• Al-Qira'ah Khalf al-Imam
Diantara guru-guru beliau dalam memperoleh hadits dan ilmu hadits antara lain Ali ibn Al Madini, Ahmad bin Hanbal, Yahya bin Ma'in, Muhammad ibn Yusuf Al Faryabi, Maki ibn Ibrahim Al Bakhi, Muhammad ibn Yusuf al Baykandi dan ibn Rahwahih. Selain itu ada 289 ahli hadits yang haditsnya dikutip dalam kitab Shahih-nya
Dalam meneliti dan menyeleksi hadits dan diskusi dengan para perawi. Imam Bukhari sangat sopan. Kritik-kritik yang ia lontarkan kepada para perawi juga cukup halus namun tajam. Kepada Perawi yang sudah jelas kebohongannya ia berkata, "perlu dipertimbangkan, para ulama meninggalkannya atau para ulama berdiam diri dari hal itu" sementara kepada para perawi yang haditsnya tidak jelas ia menyatakan "Haditsnya diingkari". Bahkan banyak meninggalkan perawi yang diragukan kejujurannya. Dia berkata "Saya meninggalkan 10.000 hadits yang diriwayatkan oleh perawi yang perlu dipertimbangkan dan meninggalkan hadits-hadits dengan jumlah yang sama atau lebih, yang diriwayatan oleh perawi yang dalam pandanganku perlu dipertimbangkan".
Banyak para ulama atau perawi yang ditemui sehingga Bukhari banyak mencatat jati diri dan sikap mereka secara teliti dan akurat. Untuk mendapatkan keterangan yang lengkap mengenai sebuah hadits, mencek keakuratan sebuah hadits ia berkali-kali mendatangi ulama atau perawi meskipun berada di kota-kota atau negeri yang jauh seperti Baghdad, Kufah, Mesir, Syam, Hijaz seperti yang dikatakan beliau "Saya telah mengunjungi Syam, Mesir, dan Jazirah masing-masing dua kali; ke Basrah empat kali, menetap di Hijaz selama enam tahun, dan tidak dapat dihitung berapa kali saya mengunjungi Kufah dan Baghdad untuk menemui ulama-ulama ahli hadits."
Di sela-sela kesibukannya sebagai ulama, pakar hadits, ia juga dikenal sebagai ulama dan ahli fiqih, bahkan tidak lupa dengan kegiatan kegiatan olahraga dan rekreatif seperti belajar memanah sampai mahir. Bahkan menurut suatu riwayat, Imam Bukhari tidak pernah luput memanah kecuali dua kali.
3. Abu Daud
Langsung ke: navigasi, cari
Imam Abu Dawud (817 / 202 H – meninggal di Basrah; 888 / 16 Syawal 275 H; umur 70–71 tahun) adalah salah seorang perawi hadits, yang mengumpulkan sekitar 50.000 hadits lalu memilih dan menuliskan 4.800 di antaranya dalam kitab Sunan Abu Dawud. Nama lengkapnya adalah Abu Dawud Sulaiman bin Al-Asy'ats As-Sijistani. Untuk mengumpulkan hadits, beliau bepergian ke Arab Saudi, Irak, Khurasan, Mesir, Suriah, Nishapur, Marv, dan tempat-tempat lain, menjadikannya salah seorang ulama yang paling luas perjalanannya.
Bapak beliau yaitu Al Asy'ats bin Ishaq adalah seorang perawi hadits yang meriwayatkan hadits dari Hamad bin Zaid, dan demikian juga saudaranya Muhammad bin Al Asy`ats termasuk seorang yang menekuni dan menuntut hadits dan ilmu-ilmunya juga merupakan teman perjalanan beliau dalam menuntut hadits dari para ulama ahli hadits.
Abu Dawud sudah berkecimpung dalam bidang hadits sejak berusia belasan tahun. Hal ini diketahui mengingat pada tahun 221 H, dia sudah berada di Baghdad, dan di sana beliau menemui kematian Imam Muslim, sebagaimana yang beliau katakan: "Aku menyaksikan jenazahnya dan mensholatkannya".Walaupun sebelumnya beliau telah pergi ke negeri-negeri tetangga Sajistaan, seperti khurasan, Baghlan, Harron, Roi dan Naisabur.
Setelah beliau masuk kota Baghdad, beliau diminta oleh Amir Abu Ahmad Al Muwaffaq untuk tinggal dan menetap di Bashroh,dan beliau menerimanya,akan tetapi hal itu tidak membuat beliau berhenti dalam mencari hadits.
Imam Abu Daud menyusun kitabnya di Baghdad. Minat utamanya adalah syariat, jadi kumpulan hadits-nya berfokus murni pada hadits tentang syariat. Setiap hadits dalam kumpulannya diperiksa kesesuaiannya dengan Al-Qur'an, begitu pula sanadnya. Dia pernah memperlihatkan kitab tersebut kepada Imam Ahmad untuk meminta saran perbaikan.
Kitab Sunan Abu Dawud diakui oleh mayoritas dunia Muslim sebagai salah satu kitab hadits yang paling autentik. Namun, diketahui bahwa kitab ini mengandung beberapa hadits lemah (yang sebagian ditandai beliau, sebagian tidak).
Banyak ulama yang meriwayatkan hadits dari beliau, di antaranya Imam Turmudzi dan Imam Nasa'i. Al Khatoby mengomentari bahwa kitab tersebut adalah sebaik-baik tulisan dan isinya lebih banyak memuat fiqh daripada kitab Shahih Bukhari dan Shahih Muslim. Ibnul A'raby berkata, barangsiapa yang sudah menguasai Al-Qur'an dan kitab "Sunan Abu Dawud", maka dia tidak membutuhkan kitab-kitab lain lagi. Imam Al-Ghazali juga mengatakan bahwa kitab "Sunan Abu Dawud" sudah cukup bagi seorang mujtahid untuk menjadi landasan hukum.
Ia adalah imam dari imam-imam Ahlussunnah wal Jamaah yang hidup di Bashroh kota berkembangnya kelompok Qadariyah,demikian juga berkembang disana pemikiran Khowarij, Mu'tazilah, Murji'ah dan Syi'ah Rafidhoh serta Jahmiyah dan lain-lainnya, tetapi walaupun demikian beliau tetap dalam keistiqomahan diatas Sunnah dan beliaupun membantah Qadariyah dengan kitabnya Al Qadar, demikian pula bantahan beliau atas Khowarij dalam kitabnya Akhbar Al Khawarij, dan juga membantah terhadap pemahaman yang menyimpang dari kemurnian ajaran Islam yang telah disampaikan olah Rasulullah. Maka tentang hal itu bisa dilihat pada kitabnya As Sunan yang terdapat padanya bantahan-bantahan beliau terhadap Jahmiyah, Murji'ah dan Mu'tazilah.
Ia wafat di kota Bashroh tanggal 16 Syawal 275 H dan disholatkan janazahnya oleh Abbas bin Abdul Wahid Al Haasyimy.
4. Imam Tirmizi
Abu Isa Muhammad bin Isa bin Surah At Turmudzi (lebih dikenal sebagai Imam Turmudzi/ At Turmudzi/ At Tirmidzi) adalah seorang ahli hadits. Ia pernah belajar hadits dari Imam Bukhari. Ia menyusun kitab Sunan At Turmudzi dan Al Ilal. Ia mengatakan bahwa dia sudah pernah menunjukkan kitab Sunannya kepada ulama ulama Hijaz, Irak dan Khurasan dan mereka semuanya setuju dengan isi kitab itu. Karyanya yang mashyur yaitu Kitab Al-Jami’ (Jami’ At-Tirmizi). Ia juga tergolonga salah satu "Kutubus Sittah" (Enam Kitab Pokok Bidang Hadits) dan ensiklopedia hadits terkenal.
Al Hakim mengatakan "Saya pernah mendengar Umar bin Alak mengomentari pribadi At Turmudzi sebagai berikut; kematian Imam Bukhari tidak meninggalkan muridnya yang lebih pandai di Khurasan selain daripada Abu 'Isa At Turmudzi dalam hal luas ilmunya dan hafalannya."
Setelah menjalani perjalanan panjang untuk belajar, mencatat, berdiskusi dan tukar pikiran serta mengarang, ia pada akhir kehidupannya mendapat musibah kebutaan, dan beberapa tahun lamanya ia hidup sebagai tuna netra; dalam keadaan seperti inilah akhirnya at-Tirmizi meninggal dunia. Ia wafat di Tirmiz pada malam Senin 13 Rajab tahun 279 H (8 Oktober 892) dalam usia 70 tahun.
Imam Tirmizi banyak menulis kitab-kitab. Di antaranya:
1. Kitab Al-Jami’, terkenal dengan sebutan Sunan at-Tirmidzi
2. Kitab Al-‘Ilal
3. Kitab At-Tarikh
4. Kitab Asy-Syama’il an-Nabawiyyah
5. Kitab Az-Zuhd
6. Kitab Al-Asma’ wal-Kuna
Sekilas tentang Al-Jami’
Kitab ini adalah salah satu kitab karya Imam Tirmizi terbesar dan paling banyak manfaatnya. Ia tergolonga salah satu "Kutubus Sittah" (Enam Kitab Pokok Bidang Hadits) dan ensiklopedia hadits terkenal. Al-Jami’ ini terkenal dengan nama Jami’ Tirmizi, dinisbatkan kepada penulisnya, yang juga terkenal dengan nama Sunan Tirmizi. Namun nama pertamalah yang popular.
Sebagian ulama tidak berkeberatan menyandangkan gelar as-Sahih kepadanya, sehingga mereka menamakannya dengan Sahih Tirmizi. Sebenarnya pemberian nama ini tidak tepat dan terlalu gegabah.
Setelah selesai menyususn kitab ini, Tirmizi memperlihatkan kitabnya kepada para ulama dan mereka senang dan menerimanya dengan baik. Ia menerangkan: "Setelah selesai menyusun kitab ini, aku perlihatkan kitab tersebut kepada ulama-ulama Hijaz, Irak dan Khurasan, dan mereka semuanya meridhainya, seolah-olah di rumah tersebut ada Nabi yang selalu berbicara."
Imam Tirmizi di dalam Al-Jami’-nya tidak hanya meriwayatkan hadits sahih semata, tetapi juga meriwayatkan hadits-hadits hasan, da’if, garib dan mu’allal dengan menerangkan kelemahannya.
Dalam pada itu, ia tidak meriwayatkan dalam kitabnya itu, kecuali hadits-hadits yang diamalkan atau dijadikan pegangan oleh ahli fiqh. Metode demikian ini merupakan cara atau syarat yang longgar. Oleh karenanya, ia meriwayatkan semua hadits yang memiliki nilai demikian, baik jalan periwayatannya itu sahih ataupun tidak sahih. Hanya saja ia selalu memberikan penjelasan yang sesuai dengan keadaan setiap hadits.
Diriwayatkan, bahwa ia pernah berkata: "Semua hadits yang terdapat dalam kitab ini adalah dapat diamalkan." Oleh karena itu, sebagian besar ahli ilmu menggunakannya (sebagai pegangan), kecuali dua buah hadits, yaitu:
1. "Sesungguhnya Rasulullah SAW menjamak shalat Zuhur dengan Asar, dan Maghrib dengan Isya, tanpa adanya sebab "takut" dan "dalam perjalanan."
2. "Jika ia peminum khamar, minum lagi pada yang keempat kalinya, maka bunuhlah dia."
Hadits ini adalah mansukh dan ijma ulama menunjukan demikian. Sedangkan mengenai shalat jamak dalam hadits di atas, para ulama berbeda pendapat atau tidak sepakat untuk meninggalkannya. Sebagian besar ulama berpendapat boleh (jawaz) hukumnya melakukan salat jamak di rumah selama tidak dijadikan kebiasaan. Pendapat ini adalah pendapat Ibnu Sirin dan Asyab serta sebagian besar ahli fiqh dan ahli hadits juga Ibnu Munzir.
Hadits-hadits dha’if dan munkar yang terdapat dalam kitab ini, pada umumnya hanya menyangkut fada’il al-a’mal (anjuran melakukan perbuatan-perbuatan kebajikan). Hal itu dapat dimengerti karena persyaratan-persyaratan bagi (meriwayatkan dan mengamalkan) hadits semacam ini lebih longgar dibandingkan dengan persyaratan bagi hadits-hadits tentang halal dan haram.
5. Ibnu Majah
Ibnu Majah dengan nama lengkapnya Abu Abdullah Muhammad bin Yazid bin Abdullah bin Majah Al Quzwaini . Ia dilahirkan pada tahun 207 Hijriah dan meninggal pada hari selasa, delapan hari sebelum berakhirnya bulan Ramadhan tahun 275. Ia menuntut ilmu hadits dari berbagai negara hingga beliau mendengar hadits dari madzhab Maliki dan Al Laits. Sebaliknya banyak ulama yang menerima hadits dari beliau. Ibnu Majah menyusun kitab Sunan Ibnu Majah dan kitab ini sebelumnya tidak mempunyai tingkatan atau tidak termasuk dalam kelompok kutubus sittah (lihat di bagian hadits) karena dalam kitabnya ini terdapat hadits yang dlaif bahkan hadits munkar. Oleh karena itu para ulama memasukkan kitab Al Muwaththa karya Imam Malik dalam kelompok perawi yang lima (Al Khamsah). Menurut penyusun (Ibnu Hajar) ulama yang pertama kali mengelompokkan atau memasukkan Ibnu Majah kedalam kelompok Al Khamsah itu adalah Abul Fadl bin Thahir dalam kitabnya Al Athraf, kemudian Abdul Ghani dal kitabnya Asmaur Rijal.
6. imam nasa’i
Imam Nasa`i dengan nama lengkapnya Ahmad bin Syu'aib Al Khurasany, terkenal dengan nama An Nasa`i karena dinisbahkan dengan kota Nasa'i salah satu kota di Khurasan. Ia dilahirkan pada tahun 215 Hijriah demikian menurut Adz Dzahabi dan meninggal dunia pada hari Senin tanggal 13 Shafar 303 Hijriah di Palestina lalu dikuburkan di Baitul Maqdis.
Beliau menerima Hadits dari Sa'id, Ishaq bin Rawahih dan ulama-ulama lainnya selain itu dari kalangan tokoh ulama ahli hadits yang berada di Khurasanb, Hijaz, Irak, Mesir, Syam, dan Jazirah Arab. Ia termasuk diantara ulama yang ahli di bidang ini dan karena ketinggian sanad hadtsnya. Ia lebih kuat hafalannya menurut para ulama ahli hadits dari Imam Muslim dan kitab Sunan An Nasa`i lebih sedikit hadits dhaifnya (lemah) setelah Hadits Sahih Bukhari dan Sahih Muslim. Ia pernah menetap di Mesir
Para guru beliau yang nama harumnya tercatat oleh pena sejarah antara lain; Qutaibah bin Sa`id, Ishaq bin Ibrahim, Ishaq bin Rahawaih, al-Harits bin Miskin, Ali bin Kasyram, Imam Abu Dawud (penyusun Sunan Abi Dawud), serta Imam Abu Isa al-Tirmidzi (penyusun al-Jami`/Sunan al-Tirmidzi).
Sementara murid-murid yang setia mendengarkan fatwa-fatwa dan ceramah-ceramah beliau, antara lain; Abu al-Qasim al-Thabarani (pengarang tiga buku kitab Mu`jam), Abu Ja`far al-Thahawi, al-Hasan bin al-Khadir al-Suyuti, Muhammad bin Muawiyah bin al-Ahmar al-Andalusi, Abu Nashr al-Dalaby, dan Abu Bakr bin Ahmad al-Sunni. Nama yang disebut terakhir, disamping sebagai murid juga tercatat sebagai “penyambung lidah” Imam al-Nasa`i dalam meriwayatkan kitab Sunan al-Nasa`i.
Sudah mafhum dikalangan peminat kajian hadis dan ilmu hadis, para imam hadis merupakan sosok yang memiliki ketekunan dan keuletan yang patut diteladani. Dalam masa ketekunannya inilah, para imam hadis kerap kali menghasilkan karya tulis yang tak terhingga nilainya.
Tidak ketinggalan pula Imam al-Nasa`i. Karangan-karangan beliau yang sampai kepada kita dan telah diabadikan oleh pena sejarah antara lain; al-Sunan al-Kubra, al-Sunan al-Sughra (kitab ini merupakan bentuk perampingan dari kitab al-Sunan al-Kubra), al-Khashais, Fadhail al-Shahabah, dan al-Manasik. Menurut sebuah keterangan yang diberikan oleh Imam Ibn al-Atsir al-Jazairi dalam kitabnya Jami al-Ushul, kitab ini disusun berdasarkan pandangan-pandangan fiqh mazhab Syafi`i.
Untuk pertama kali, sebelum disebut dengan Sunan al-Nasa`i, kitab ini dikenal dengan al-Sunan al-Kubra. Setelah tuntas menulis kitab ini, beliau kemudian menghadiahkan kitab ini kepada Amir Ramlah (Walikota Ramlah) sebagai tanda penghormatan. Amir kemudian bertanya kepada al-Nasa`i, “Apakah kitab ini seluruhnya berisi hadis shahih?” Beliau menjawab dengan kejujuran, “Ada yang shahih, hasan, dan adapula yang hampir serupa dengannya”.
Kemudian Amir berkata kembali, “Kalau demikian halnya, maka pisahkanlah hadis yang shahih-shahih saja”. Atas permintaan Amir ini, beliau kemudian menyeleksi dengan ketat semua hadis yang telah tertuang dalam kitab al-Sunan al-Kubra. Dan akhirnya beliau berhasil melakukan perampingan terhadap al-Sunan al-Kubra, sehingga menjadi al-Sunan al-Sughra. Dari segi penamaan saja, sudah bisa dinilai bahwa kitab yang kedua merupakan bentuk perampingan dari kitab yang pertama.
Imam al-Nasa`i sangat teliti dalam menyeleksi hadis-hadis yang termuat dalam kitab pertama. Oleh karenanya, banyak ulama berkomentar “Kedudukan kitab al-Sunan al-Sughra dibawah derajat Shahih al-Bukhari dan Shahih Muslim. Di dua kitab terakhir, sedikit sekali hadis dhaif yang terdapat di dalamnya”. Nah, karena hadis-hadis yang termuat di dalam kitab kedua (al-Sunan al-Sughra) merupakan hadis-hadis pilihan yang telah diseleksi dengan super ketat, maka kitab ini juga dinamakan al-Mujtaba. Pengertian al-Mujtaba bersinonim dengan al-Maukhtar (yang terpilih), karena memang kitab ini berisi hadis-hadis pilihan, hadis-hadis hasil seleksi dari kitab al-Sunan al-Kubra.
Disamping al-Mujtaba, dalam salah satu riwayat, kitab ini juga dinamakan dengan al-Mujtana. Pada masanya, kitab ini terkenal dengan sebutan al-Mujtaba, sehingga nama al-Sunan al-Sughra seperti tenggelam ditelan keharuman nama al-Mujtaba. Dari al-Mujtaba inilah kemudian kitab ini kondang dengan sebutan Sunan al-Nasa`i, sebagaimana kita kenal sekarang. Dan nampaknya untuk selanjutnya, kitab ini tidak akan mengalami perubahan nama seperti yang terjadi sebelumnya.
Setahun menjelang kemangkatannya, beliau pindah dari Mesir ke Damsyik. Dan tampaknya tidak ada konsensus ulama tentang tempat meninggal beliau. Al-Daruqutni mengatakan, beliau di Makkah dan dikebumikan diantara Shafa dan Marwah. Pendapat yang senada dikemukakan oleh Abdullah bin Mandah dari Hamzah al-`Uqbi al-Mishri.
Sementara ulama yang lain, seperti Imam al-Dzahabi, menolak pendapat tersebut. Ia mengatakan, Imam al-Nasa`i meninggal di Ramlah, suatu daerah di Palestina. Pendapat ini didukung oleh Ibn Yunus, Abu Ja`far al-Thahawi (murid al-Nasa`i) dan Abu Bakar al-Naqatah. Menurut pandangan terakhir ini, Imam al-Nasa`i meninggal pada tahun 303 H/915M dan dikebumikan di Bait al-Maqdis, Palestina. Inna lillah wa Inna Ilai Rajiun. Semoga jerih payahnya dalam mengemban wasiat Rasullullah guna menyebarluaskan hadis mendapatkan balasan yang setimpal di sisi Allah.
Rabu, 17 Maret 2010
PERSPEKTIF DALAM PSIKOLOGI SOSIAL
April 1, 2009 — Wahidin
PERSPEKTIF DALAM PSIKOLOGI SOSIAL
Hasan Mustafa
Pengantar :
Tulisan ini disusun sebagai upaya membantu mahasiswa memahami isi mata kuliah Psikologi Sosial pada program studi Administrasi Negara Fisip Unpar. Acuan uraian ini adalah buku yang ditulis oleh James A. Wiggins, Beverly B. Wiggins, dan James Vander Zanden ( 1994), dilengkapi oleh sumber bacaan lain. Topik lain yang juga merupakan pokok bahasan dalam mata kuliah tersebut akan segera disusun. Semoga bermanfaat.
Akar awal Psikologi Sosial
Walau psikologi sosial merupakan disiplin yang telah lama ada ( sejak Plato dan Aristotle), namun secara resmi, disiplin ini menjadi satu ilmu yang mandiri baru sejak tahun 1908. Pada tahun itu ada dua buku teks yang terkenal yaitu “Introduction to Social Psychology” ditulis oleh William McDougall – seorang psikolog – dan “Social Psychology : An Outline and Source Book , ditulis oleh E.A. Ross – seorang sosiolog.
Berdasarkan latar belakang penulisnya maka dapat dipahami bahwa psikologi sosial bisa di”claim” sebagai bagian dari psikologi, dan bisa juga sebagai bagian dari sosiologi.
Psikologi sosial juga merupakan pokok bahasan dalam sosiologi karena dalam sosiologi dikenal ada dua perspektif utama, yaitu perspektif struktural makro yang menekankan kajian struktur sosial, dan perspektif mikro yang menekankan pada kajian individualistik dan psikologi sosial dalam menjelaskan variasi perilaku manusia.. Di Amerika disiplin ini banyak dibina oleh jurusan sosiologi – di American Sociological Association terdapat satu bagian yang dinamakan “social psychological section“, sedangkan di Indonesia, secara formal disiplin psikologi sosial di bawah binaan fakultas psikologi, namun dalam prakteknya tidak sedikit para pakar sosiologi yang juga menguasai disiplin ini sehingga dalam berbagai tulisannya, cara pandang psikologi sosial ikut mewarnainya.
Apakah perbedaan di antara Sosiologi dan Psikologi ??
Kita sering berpikir bahwa yang namanya dunia psikologi adalah dunia yang
berkaitan dengan persoalan perasaan, motivasi, kepribadian, dan yang sejenisnya.
Dan kalau berpikir tentang sosiologi, secara umum cenderung memikirkan persoalan
kemasyarakatan. Kajian utama psikologi adalah pada persoalan kepribadian, mental,
perilaku, dan dimensi-dimensi lain yang ada dalam diri manusia sebagai individu.
Sosiologi lebih mengabdikan kajiannya pada budaya dan struktur sosial yang
keduanya mempengaruhi interaksi, perilaku, dan kepribadian. Kedua bidang ilmu
tersebut bertemu di daerah yang dinamakan psikologi sosial . Dengan demikian para
psikolog berwenang merambah bidang ini, demikian pula para sosiolog. Namun
karena perbedaan latar belakang maka para psikolog akan menekankan pengaruh
situasi sosial terhadap proses dasar psikologikal – persepsi kognisi emosi dan
2
Pertanyaan yang paling mendasar yang senantiasa menjadi kajian dalam psikologi
sosial adalah : ” Bagaimana kita dapat menjelaskan pengaruh orang lain terhadap perilaku
kita?’”. Misalnya di Prancis, para analis sosial sering mengajukan pertanyaan mengapa
pada saat revolusi Prancis, perilaku orang menjadi cenderung emosional ketimbang
rasional? Demikian juga di Jerman dan Amerika Serikat dilakukan studi tentang
kehadiran orang lain dalam memacu prestasi seseorang . Misalnya ketika seorang anak
belajar seorang diri dan belajar dalam kelompok, bisa menunjukan prestasi lebih baik
dibandingkan ketika mereka belajar sendiri. Gordon Allport (1968) menjelaskan bahwa
seorang boleh disebut sebagai psikolog sosial jika dia “berupaya memahami,
menjelaskan, dan memprediksi bagaimana pikiran, perasaan, dan tindakan individuindividu
dipengaruhi oleh pikiran, perasaan, dan tindakan-tindakan orang lain yang
dilihatnya, atau bahkan hanya dibayangkannya”
Teori-teori awal yang dianggap mampu menjelaskan perilaku seseorang, difokuskan
pada dua kemungkinan (1) perilaku diperoleh dari keturunan dalam bentuk instinkinstink
biologis – lalu dikenal dengan penjelasan “nature” - dan (2) perilaku bukan
diturunkan melainkan diperoleh dari hasil pengalaman selama kehidupan mereka -
3
dikenal dengan penjelasan “nurture”. Penjelasan “nature” dirumuskan oleh ilmuwan
Inggris Charles Darwin pada abad kesembilan belas di mana dalam teorinya
dikemukakan bahwa semua perilaku manusia merupakan serangkaian instink yang
diperlukan agar bisa bertahan hidup. Mc Dougal sebagai seorang psikolog cenderung
percaya bahwa seluruh perilaku sosial manusia didasarkan pada pandangan ini
(instinktif).
Namun banyak analis sosial yang tidak percaya bahwa instink merupakan sumber
perilaku sosial. Misalnya William James, seorang psikolog percaya bahwa walau instink
merupakan hal yang mempengaruhi perilaku sosial, namun penjelasan utama cenderung
ke arah kebiasaan - yaitu pola perilaku yang diperoleh melalui pengulangan sepanjang
kehidupan seseorang. Hal ini memunculkan “nurture explanation”. Tokoh lain yang juga
seorang psikolog sosial, John Dewey mengatakan bahwa perilaku kita tidak sekedar
muncul berdasarkan pengalaman masa lampau, tetapi juga secara terus menerus berubah
atau diubah oleh lingkungan – “situasi kita” – termasuk tentunya orang lain.
Berbagai alternatif yang berkembang dari kedua pendekatan tersebut kemudian
memunculkan berbagai perspektif dalam psikologi sosial – seperangkat asumsi dasar
tentang hal paling penting yang bisa dipertimbangkan sebagai sesuatu yang bisa
digunakan untuk memahami perilaku sosial. Ada empat perspektif, yaitu : perilaku
(behavioral perspectives) , kognitif (cognitive perspectives), stuktural (structural
perspectives), dan interaksionis (interactionist perspectives).
Perspektif perilaku dan kognitif lebih banyak digunakan oleh para psikolog sosial
yang berakar pada psikologi. Mereka sering menawarkan jawaban yang berbeda atas
sebuah pertanyaan : “Seberapa besar perhatian yang seharusnya diberikan oleh para
psikolog sosial pada kegiatan mental dalam upayanya memahami perilaku sosial?”.
Perspektif perilaku menekankan, bahwa untuk dapat lebih memahami perilaku seseorang,
seyogianya kita mengabaikan informasi tentang apa yang dipikirkan oleh seseorang.
Lebih baik kita memfokuskan pada perilaku seseorang yang dapat diuji oleh pengamatan
kita sendiri. Dengan mempertimbangkan proses mental seseorang, kita tidak terbantu
memahami perilaku orang tersebut, karena seringkali proses mental tidak reliabel untuk
memprediksi perilaku. Misalnya tidak semua orang yang berpikiran negatif tentang
sesuatu, akan juga berperilaku negatif. Orang yang bersikap negatif terhadap bangsa A
4
misalnya, belum tentu dia tidak mau melakukan hubungan dengan bangsa A tersebut.
Intinya pikiran, perasaan, sikap (proses mental) bukan sesuatu yang bisa menjelaskan
perilaku seseorang.
Sebaliknya, perspektif kognitif menekankan pada pandangan bahwa kita tidak bisa
memahami perilaku seseorang tanpa mempelajari proses mental mereka. Manusia tidak
menanggapi lingkungannya secara otomatis. Perilaku mereka tergantung pada bagaimana
mereka berpikir dan mempersepsi lingkungannya. Jadi untuk memperoleh informasi yang
bisa dipercaya maka proses mental seseorang merupakan hal utama yang bisa
menjelaskan perilaku sosial seseorang.
Perspektif struktural dan interaksionis lebih sering digunakan oleh para psikolog sosial
yang berasal dari disiplin sosiologi. Pertanyaan yang umumnya diajukan adalah : “
Sejauhmana kegiatan-kegiatan individual membentuk interaksi sosial ?”. Perspektif
struktural menekankan bahwa perilaku seseorang dapat dimengerti dengan sangat baik
jika diketahui peran sosialnya. Hal ini terjadi karena perilaku seseorang merupakan reaksi
terhadap harapan orang-orang lain. Seorang mahasiswa rajin belajar, karena masyarakat
mengharapkan agar yang namanya mahasiswa senantiasa rajin belajar. Seorang ayah rajin
bekerja mencari nafkah guna menghidupi keluarganya. Mengapa ? Karena masyarakat
mengharapkan dia berperilaku seperti itu, jika tidak maka dia tidak pantas disebut sebagai
“seorang ayah”. Perspektif interaksionis lebih menekankan bahwa manusia merupakan
agen yang aktif dalam menetapkan perilakunya sendiri, dan mereka yang membangun
harapan-harapan sosial. Manusia bernegosiasi satu sama lainnya untuk membentuk
interaksi dan harapannya. Untuk lebih jelas, di bawah ini diuraikan satu persatu keempat
prespektif dalam psikologi sosial.
1. Perspektif Perilaku (Behavioral Perspective)
Pendekatan ini awalnya diperkenalkan oleh John B. Watson (1941, 1919).
Pendekatan ini cukup banyak mendapat perhatian dalam psikologi di antara tahun 1920-
an s/d 1960-an. Ketika Watson memulai penelitiannya, dia menyarankan agar
pendekatannya ini tidak sekedar satu alternatif bagi pendekatan instinktif dalam
memahami perilaku sosial, tetapi juga merupakan alternatif lain yang memfokuskan pada
pikiran, kesadaran, atau pun imajinasi. Watson menolak informasi instinktif semacam itu,
5
yang menurutnya bersifat “mistik”, “mentalistik”, dan “subyektif”. Dalam psikologi
obyektif maka fokusnya harus pada sesuatu yang “dapat diamati” (observable), yaitu
pada “apa yang dikatakan (sayings) dan apa yang dilakukan (doings)”. Dalam hal ini
pandangan Watson berbeda dengan James dan Dewey, karena keduanya percaya bahwa
proses mental dan juga perilaku yang teramati berperan dalam menyelaskan perilaku
sosial.
Para “behaviorist” memasukan perilaku ke dalam satu unit yang dinamakan
“tanggapan” (responses), dan lingkungan ke dalam unit “rangsangan” (stimuli). Menurut
penganut paham perilaku, satu rangsangan dan tanggapan tertentu bisa berasosiasi satu
sama lainnya, dan menghasilkan satu bentuk hubungan fungsional. Contohnya, sebuah
rangsangan ” seorang teman datang “, lalu memunculkan tanggapan misalnya, “tersenyum”.
Jadi seseorang tersenyum, karena ada teman yang datang kepadanya. Para
behavioris tadi percaya bahwa rangsangan dan tanggapan dapat dihubungkan tanpa
mengacu pada pertimbangan mental yang ada dalam diri seseorang. Jadi tidak terlalu
mengejutkan jika para behaviorisme tersebut dikategorikan sebagai pihak yang
menggunakan pendekatan “kotak hitam (black-box)” . Rangsangan masuk ke sebuah
kotak (box) dan menghasilkan tanggapan. Mekanisme di dalam kotak hitam tadi -
srtuktur internal atau proses mental yang mengolah rangsangan dan tanggapan – karena
tidak dapat dilihat secara langsung (not directly observable), bukanlah bidang kajian para
behavioris tradisional.
Kemudian, B.F. Skinner (1953,1957,1974) membantu mengubah fokus behaviorisme
melalui percobaan yang dinamakan “operant behavior” dan “reinforcement“. Yang
dimaksud dengan “operant condition” adalah setiap perilaku yang beroperasi dalam suatu
lingkungan dengan cara tertentu, lalu memunculkan akibat atau perubahan dalam
lingkungan tersebut. Misalnya, jika kita tersenyum kepada orang lain yang kita hadapi,
lalu secara umum, akan menghasilkan senyuman yang datangnya dari orang lain tersebut.
Dalam kasus ini, tersenyum kepada orang lain tersebut merupakan “operant behavior“.
Yang dimaksud dengan “reinforcement” adalah proses di mana akibat atau perubahan
yang terjadi dalam lingkungan memperkuat perilaku tertentu di masa datang . Misalnya,
jika kapan saja kita selalu tersenyum kepada orang asing (yang belum kita kenal
sebelumnya), dan mereka tersenyum kembali kepada kita, maka muncul kemungkinan
6
bahwa jika di kemudian hari kita bertemu orang asing maka kita akan tersenyum. Perlu
diketahui, reinforcement atau penguat, bisa bersifat positif dan negatif. Contoh di atas
merupakan penguat positif. Contoh penguat negatif, misalnya beberapa kali pada saat kita
bertemu dengan orang asing lalu kita tersenyum dan orang asing tersebut diam saja atau
bahkan menunjukan rasa tidak suka, maka dikemudian hari jika kita bertemu orang asing
kembali, kita cenderung tidak tersenyum (diam saja).
Dalam pendekatan perilaku terdapat teori-teori yang mencoba menjelaskan secara
lebih mendalam mengapa fenomena sosial yang diutarakan dalam pendekatan perilaku
bisa terjadi. Beberapa teori antara lain adalah Teori Pembelajaran Sosial (Social Learning
Theory) dan Teori Pertukaran Sosial (Social Exchange Theory).
a. Teori Pembelajaran Sosial.
Di tahun 1941, dua orang psikolog – Neil Miller dan John Dollard – dalam laporan
hasil percobaannya mengatakan bahwa peniruan (imitation) di antara manusia tidak
disebabkan oleh unsur instink atau program biologis. Penelitian kedua orang tersebut
mengindikasikan bahwa kita belajar (learn) meniru perilaku orang lain. Artinya peniruan
tersebut merupakan hasil dari satu proses belajar, bukan bisa begitu saja karena instink.
Proses belajar tersebut oleh Miller dan Dollard dinamakan “social learning ” -
“pembelajaran sosial”. Perilaku peniruan (imitative behavior) kita terjadi karena kita
merasa telah memperoleh imbalan ketika kita meniru perilaku orang lain, dan
memperoleh hukuman ketika kita tidak menirunya. Agar seseorang bisa belajar
mengikuti aturan baku yang telah ditetapkan oleh masyarakat maka “para individu harus
dilatih, dalam berbagai situasi, sehingga mereka merasa nyaman ketika melakukan apa
yang orang lain lakukan, dan merasa tidak nyaman ketika tidak melakukannya.”,
demikian saran yang dikemukakan oleh Miller dan Dollard.
Dalam penelitiannya, Miller dan Dollard menunjukan bahwa anak-anak dapat belajar
meniru atau tidak meniru seseorang dalam upaya memperoleh imbalan berupa permen.
Dalam percobaannya tersebut, juga dapat diketahui bahwa anak-anak dapat membedakan
orang-orang yang akan ditirunya. Misalnya jika orang tersebut laki-laki maka akan
ditirunya, jika perempuan tidak. Lebih jauh lagi, sekali perilaku peniruan terpelajari
(learned), hasil belajar ini kadang berlaku umum untuk rangsangan yang sama. Misalnya,
7
anak-anak cenderung lebih suka meniru orang-orang yang mirip dengan orang yang
sebelumnya memberikan imbalan. Jadi, kita mempelajari banyak perilaku “baru” melalui
pengulangan perilaku orang lain yang kita lihat. Kita contoh perilaku orang-orang lain
tertentu, karena kita mendapatkan imbalan atas peniruan tersebut dari orang-orang lain
tertentu tadi dan juga dari mereka yang mirip dengan orang-orang lain tertentu tadi, di
masa lampau.
Dua puluh tahun berikutnya, Albert Bandura dan Richard Walters (1959, 1963),
mengusulkan satu perbaikan atas gagasan Miller dan Dollard tentang belajar melalui
peniruan. Bandura dan Walters menyarankan bahwa kita belajar banyak perilaku melalui
peniruan, bahkan tanpa adanya penguat (reinforcement) sekalipun yang kita terima. Kita
bisa meniru beberapa perilaku hanya melalui pengamatan terhadap perilaku model, dan
akibat yang ditimbulkannya atas model tersebut. Proses belajar semacam ini disebut
“observational learning” – pembelajaran melalui pengamatan. Contohnya, percobaan
Bandura dan Walters mengindikasikan bahwa ternyata anak-anak bisa mempunyai
perilaku agresif hanya dengan mengamati perilaku agresif sesosok model, misalnya
melalui film atau bahkan film karton.
Bandura (1971), kemudian menyarankan agar teori pembelajaran sosial seyogianya
diperbaiki lebih jauh lagi. Dia mengatakan bahwa teori pembelajaran sosial yang benarbenar
melulu menggunakan pendekatan perilaku dan lalu mengabaikan pertimbangan
proses mental, perlu dipikirkan ulang. Menurut versi Bandura, maka teori pembelajaran
sosial membahas tentang (1) bagaimana perilaku kita dipengaruhi oleh lingkungan
melalui penguat (reinforcement) dan observational learning, (2) cara pandang dan cara
pikir yang kita miliki terhadap informasi, (3) begitu pula sebaliknya, bagaimana perilaku
kita mempengaruhi lingkungan kita dan menciptakan penguat (reinforcement) dan
observational opportunity - kemungkinan bisa diamati oleh orang lain.
b. Teori Pertukaran Sosial (Social Exchange Theory)
Tokoh-tokoh yang mengembangkan teori pertukaran sosial antara lain adalah
psikolog John Thibaut dan Harlod Kelley (1959), sosiolog George Homans (1961),
Richard Emerson (1962), dan Peter Blau (1964). Berdasarkan teori ini, kita masuk ke
dalam hubungan pertukaran dengan orang lain karena dari padanya kita memperoleh
8
imbalan. Dengan kata lain hubungan pertukaran dengan orang lain akan menghasilkan
suatu imbalan bagi kita. Seperti halnya teori pembelajaran sosial, teori pertukaran sosial
pun melihat antara perilaku dengan lingkungan terdapat hubungan yang saling
mempengaruhi (reciprocal). Karena lingkungan kita umumnya terdiri atas orang-orang
lain, maka kita dan orang-orang lain tersebut dipandang mempunyai perilaku yang saling
mempengaruhi Dalam hubungan tersebut terdapat unsur imbalan (reward), pengorbanan
(cost) dan keuntungan (profit). Imbalan merupakan segala hal yang diperloleh melalui
adanya pengorbanan, pengorbanan merupakan semua hal yang dihindarkan, dan
keuntungan adalah imbalan dikurangi oleh pengorbanan. Jadi perilaku sosial terdiri atas
pertukaran paling sedikit antar dua orang berdasarkan perhitungan untung-rugi. Misalnya,
pola-pola perilaku di tempat kerja, percintaan, perkawinan, persahabatan – hanya akan
langgeng manakala kalau semua pihak yang terlibat merasa teruntungkan. Jadi perilaku
seseorang dimunculkan karena berdasarkan perhitungannya, akan menguntungkan bagi
dirinya, demikian pula sebaliknya jika merugikan maka perilaku tersebut tidak
ditampilkan.
Berdasarkan keyakinan tersebut Homans dalam bukunya “Elementary Forms of Social
Behavior, 1974 mengeluarkan beberapa proposisi dan salah satunya berbunyi :”Semua
tindakan yang dilakukan oleh seseorang, makin sering satu bentuk tindakan tertentu
memperoleh imbalan, makin cenderung orang tersebut menampilkan tindakan tertentu
tadi “. Proposisi ini secara eksplisit menjelaskan bahwa satu tindakan tertentu akan
berulang dilakukan jika ada imbalannya. Proposisi lain yang juga memperkuat proposisi
tersebut berbunyi : “Makin tinggi nilai hasil suatu perbuatan bagi seseorang, makin
besar pula kemungkinan perbuatan tersebut diulanginya kembali”. Bagi Homans, prinsip
dasar pertukaran sosial adalah “distributive justice” – aturan yang mengatakan bahwa
sebuah imbalan harus sebanding dengan investasi. Proposisi yang terkenal sehubungan
dengan prinsip tersebut berbunyi ” seseorang dalam hubungan pertukaran dengan orang
lain akan mengharapkan imbalan yang diterima oleh setiap pihak sebanding dengan
pengorbanan yang telah dikeluarkannya – makin tingghi pengorbanan, makin tinggi
imbalannya – dan keuntungan yang diterima oleh setiap pihak harus sebanding dengan
investasinya - makin tinggi investasi, makin tinggi keuntungan”.
9
Inti dari teori pembelajaran sosial dan pertukaran sosial adalah perilaku sosial
seseorang hanya bisa dijelaskan oleh sesuatu yang bisa diamati, bukan oleh proses
mentalistik (black-box). Semua teori yang dipengaruhi oleh perspektif ini menekankan
hubungan langsung antara perilaku yang teramati dengan lingkungan.
2. Perspektif Kognitif (The Cognitive Perspective)
Kita telah memberikan indikasi bahwa kebiasaan (habit) merupakan penjelasan
alternatif yang bisa digunakan untuk memahami perilaku sosial seseorang di samping
instink (instinct). Namun beberapa analis sosial percaya bahwa kalau hanya kedua hal
tersebut (kebiasaan dan instink) yang dijadikan dasar, maka dipandang terlampau ekstrem
- karena mengabaikan kegiatan mental manusia.
Seorang psikolog James Baldwin (1897) menyatakan bahwa paling sedikit ada dua
bentuk peniruan, satu didasarkan pada kebiasaan kita dan yang lainnya didasarkan pada
wawasan kita atas diri kita sendiri dan atas orang lain yang perilakunya kita tiru. Walau
dengan konsep yang berbeda seorang sosiolog Charles Cooley (1902) sepaham dengan
pandangan Baldwin. Keduanya memfokuskan perhatian mereka kepada perilaku sosial
yang melibatkan proses mental atau kognitif .
Kemudian banyak para psikolog sosial menggunakan konsep sikap (attitude) untuk
memahami proses mental atau kognitif tadi. Dua orang sosiolog W.I. Thomas dan Florian
Znaniecki mendefinisikan psikologi sosial sebagai studi tentang sikap, yang diartikannya
sebagai proses mental individu yang menentukan tanggapan aktual dan potensial individu
dalam dunia sosial”. Sikap merupakan predisposisi perilaku. Beberapa teori yang
melandasi perpektif ini antara lain adalah Teori Medan (Field Theory), Teori Atribusi
dan Konsistensi Sikap (Concistency Attitude and Attribution Theory), dan Teori Kognisi
Kontemporer.
a. Teori Medan (Field Theory)
Seorang psikolog, Kurt Lewin (1935,1936) mengkaji perilaku sosial melalui
pendekatan konsep “medan”/”field” atau “ruang kehidupan” – life space. Untuk
memahami konsep ini perlu dipahami bahwa secara tradisional para psikolog
memfokuskan pada keyakinan bahwa karakter individual (instink dan kebiasaan), bebas -
10
lepas dari pengaruh situasi di mana individu melakukan aktivitas. Namun Lewin kurang
sepaham dengan keyakinan tersebut. Menurutnya penjelasan tentang perilaku yang tidak
memperhitungkan faktor situasi, tidaklah lengkap. Dia merasa bahwa semua peristiwa
psikologis apakah itu berupa tindakan, pikiran, impian, harapan, atau apapun,
kesemuanya itu merupakan fungsi dari “ruang kehidupan”- individu dan lingkungan
dipandang sebagai sebuah konstelasi yang saling tergantung satu sama lainnya. Artinya
“ruang kehidupan” merupakan juga merupakan determinan bagi tindakan, impian,
harapan, pikiran seseorang. Lewin memaknakan “ruang kehidupan” sebagai seluruh
peristiwa (masa lampau, sekarang, masa datang) yang berpengaruh pada perilaku dalam
satu situasi tertentu.
Bagi Lewin, pemahaman atas perilaku seseorang senantiasa harus dikaitkan dengan
konteks – lingkungan di mana perilaku tertentu ditampilkan. Intinya, teori medan
berupaya menguraikan bagaimana situasi yang ada (field) di sekeliling individu
bepengaruh pada perilakunya. Sesungguhnya teori medan mirip dengan konsep “gestalt”
dalam psikologi yang memandang bahwa eksistensi bagian-bagian atau unsur-unsur tidak
bisa terlepas satu sama lainnya. Misalnya, kalau kita melihat bangunan, kita tidak
melihat batu bata, semen, kusen, kaca, secara satu persatu. Demikian pula kalau kita
mempelajari perilaku individu, kita tidak bisa melihat individu itu sendiri, lepas dari
konteks di mana individu tersebut berada.
b. Teori Atribusi dan Konsistensi Sikap ( Attitude Consistency and Attribution
Theory)
Fritz Heider (1946, 1958), seorang psikolog bangsa Jerman mengatakan bahwa kita
cenderung mengorganisasikan sikap kita, sehingga tidak menimbulkan konflik.
Contohnya, jika kita setuju pada hak seseorang untuk melakukan aborsi, seperti juga
orang-orang lain, maka sikap kita tersebut konsisten atau seimbang (balance). Namun
jika kita setuju aborsi tetapi ternyata teman-teman dekat kita dan juga orang-orang di
sekeliling kita tidak setuju pada aborsi maka kita dalam kondisi tidak seimbang
(imbalance). Akibatnya kita merasa tertekan (stress), kurang nyaman, dan kemudian kita
akan mencoba mengubah sikap kita, menyesuaikan dengan orang-orang di sekitar kita,
misalnya dengan bersikap bahwa kita sekarang tidak sepenuhnya setuju pada aborsi.
11
Melalui pengubahan sikap tersebut, kita menjadi lebih nyaman. Intinya sikap kita
senantiasa kita sesuaikan dengan sikap orang lain agar terjadi keseimbangan karena
dalam situasi itu, kita menjadi lebih nyaman.
Heider juga menyatakan bahwa kita mengorganisir pikiran-pikiran kita dalam
kerangka “sebab dan akibat”. Agar supaya bisa meneruskan kegiatan kita dan
mencocokannya dengan orang-orang di sekitar kita, kita mentafsirkan informasi untuk
memutuskan penyebab perilaku kita dan orang lain. Heider memperkenalkan konsep
“causal attribution” - proses penjelasan tentang penyebab suatu perilaku. Mengapa Tono
pindah ke kota lain ?, Mengapa Ari keluar dari sekolah ?. Kita bisa menjelaskan perilaku
sosial dari Tono dan Ari jika kita mengetahui penyebabnya. Dalam kehidupan seharihari,
kita bedakan dua jenis penyebab, yaitu internal dan eksternal. Penyebab internal
(internal causality) merupakan atribut yang melekat pada sifat dan kualitas pribadi atau
personal, dan penyebab external (external causality) terdapat dalam lingkungan atau
situasi.
c. Teori Kognitif Kontemporer
Dalam tahun 1980-an, konsep kognisi, sebagian besarnya mewarnai konsep sikap.
Istilah “kognisi” digunakan untuk menunjukan adanya proses mental dalam diri
seseorang sebelum melakukan tindakan. Teori kognisi kontemporer memandang manusia
sebagai agen yang secara aktif menerima, menggunakan, memanipulasi, dan mengalihkan
informasi. Kita secara aktif berpikir, membuat rencana, memecahkan masalah, dan
mengambil keputusan. Manusia memproses informasi dengan cara tertentu melalui
struktur kognitif yang diberi istilah “schema” (Markus dan Zajonc, 1985 ; Morgan dan
Schwalbe, 1990; Fiske and Taylor, 1991). Struktur tersebut berperan sebagai kerangka
yang dapat menginterpretasikan pengalaman-pengalaman sosial yang kita miliki. Jadi
struktur kognisi bisa membantu kita mencapai keterpaduan dengan lingkungan, dan
membantu kita untuk menyusun realitas sosial. Sistem ingatan yang kita miliki
diasumsikan terdiri atas struktur pengetahuan yang tak terhitung jumlahnya.
Intinya, teori-teori kognitif memusatkan pada bagaiamana kita memproses informasi
yang datangnya dari lingkungan ke dalam struktur mental kita Teori-teori kognitif
percaya bahwa kita tidak bisa memahami perilaku sosial tanpa memperoleh informasi
12
tentang proses mental yang bisa dipercaya, karena informasi tentang hal yang obyektif,
lingkungan eksternal belum mencukupi.
3. Perspektif Struktural
Telah kita catat bahwa telah terjadi perdebatan di antara para ilmuwan sosial dalam
hal menjelaskan perilaku sosial seseorang. Untuk menjelaskan perilaku sosial seseorang
dapat dikaji sebagai sesuatu proses yang (1) instinktif, (2) karena kebiasaan, dan (3)
juga yang bersumber dari proses mental. Mereka semua tertarik, dan dengan cara sebaik
mungkin lalu menguraikan hubungan antara masyarakat dengan individu. William James
dan John Dewey menekankan pada penjelasan kebiasaan individual, tetapi mereka juga
mencatat bahwa kebiasaan individu mencerminkan kebiasaan kelompok – yaitu adatistiadat
masyarakat – atau strutur sosial . Para sosiolog yakin bahwa struktur sosial terdiri
atas jalinan interaksi antar manusia dengan cara yang relatif stabil. Kita mewarisi struktur
sosial dalam satu pola perilaku yang diturunkan oleh satu generasi ke generasi
berikutnya, melalui proses sosialisasi. Disebabkan oleh struktur sosial, kita mengalami
kehidupan sosial yang telah terpolakan. James menguraikan pentingnya dampak struktur
sosial atas “diri” (self) – perasaan kita terhadap diri kita sendiri. Masyarakat
mempengaruhi diri – self.
Sosiolog lain Robert Park dari Universitas Chicago memandang bahwa masyarakat
mengorganisasikan, mengintegrasikan, dan mengarahkan kekuatan-kekuatan individuindividu
ke dalam berbagai macam peran (roles). Melalui peran inilah kita menjadi tahu
siapa diri kita. Kita adalah seorang anak, orang tua, guru, mahasiswa, laki-laki,
perempuan, Islam, Kristen. Konsep kita tentang diri kita tergantung pada peran yang kita
lakukan dalam masyarakat. Beberapa teori yang melandasi persektif strukturan adalah
Teori Peran (Role Theory), Teori Pernyataan – Harapan (Expectation-States Theory), dan
Posmodernisme (Postmodernism)
a. Teori Peran (Role Theory)
Walau Park menjelaskan dampak masyarakat atas perilaku kita dalam hubungannya
dengan peran, namun jauh sebelumnya Robert Linton (1936), seorang antropolog, telah
mengembangkan Teori Peran. Teori Peran menggambarkan interaksi sosial dalam
13
terminologi aktor-aktor yang bermain sesuai dengan apa-apa yang ditetapkan oleh
budaya. Sesuai dengan teori ini, harapan-harapan peran merupakan pemahaman bersama
yang menuntun kita untuk berperilaku dalam kehidupan sehari-hari. Menurut teori ini,
seseorang yang mempunyai peran tertentu misalnya sebagai dokter, mahasiswa, orang
tua, wanita, dan lain sebagainya, diharapkan agar seseorang tadi berperilaku sesuai
dengan peran tersebut. Mengapa seseorang mengobati orang lain, karena dia adalah
seorang dokter. Jadi karena statusnya adalah dokter maka dia harus mengobati pasien
yang datang kepadanya. Perilaku ditentukan oleh peran sosial
Kemudian, sosiolog yang bernama Glen Elder (1975) membantu memperluas
penggunaan teori peran. Pendekatannya yang dinamakan “life-course” memaknakan
bahwa setiap masyarakat mempunyai harapan kepada setiap anggotanya untuk
mempunyai perilaku tertentu sesuai dengan kategori-kategori usia yang berlaku dalam
masyarakat tersebut. Contohnya, sebagian besar warga Amerika Serikat akan menjadi
murid sekolah ketika berusia empat atau lima tahun, menjadi peserta pemilu pada usia
delapan belas tahun, bekerja pada usia tujuh belah tahun, mempunyai istri/suami pada
usia dua puluh tujuh, pensiun pada usia enam puluh tahun. Di Indonesia berbeda. Usia
sekolah dimulai sejak tujuh tahun, punya pasangan hidup sudah bisa usia tujuh belas
tahun, pensiun usia lima puluh lima tahun. Urutan tadi dinamakan “tahapan usia” (age
grading). Dalam masyarakat kontemporer kehidupan kita dibagi ke dalam masa kanakkanak,
masa remaja, masa dewasa, dan masa tua, di mana setiap masa mempunyai
bermacam-macam pembagian lagi.
b. Teori Pernyataan Harapan (Expectation-States Theory)
Teori ini diperkenalkan oleh Joseph Berger dan rekan-rekannya di Universitas
Stanford pada tahun 1972. Jika pada teori peran lebih mengkaji pada skala makro, yaitu
peran yang ditetapkan oleh masyarakat, maka pada teori ini berfokus pada kelompok
kerja yang lebih kecil lagi. Menurut teori ini, anggota-anggota kelompok membentuk
harapan-harapan atas dirinya sendiri dan diri anggota lain, sesuai dengan tugas-tugas
yang relevan dengan kemampuan mereka, dan harapan-harapan tersebut mempengaruhi
gaya interaksi di antara anggota-anggota kelompok tadi. Sudah tentu atribut yang paling
berpengaruh terhadap munculnya kinerja yang diharapkan adalah yang berkaitan dengan
14
ketrampilan kerjanya. Anggota-anggota kelompok dituntut memiliki motivasi dan
ketrampilan yang diperlukan untuk menyelesaikan tugas-tugas kelompok yang
diharapkan bisa ditampilkan sebaik mungkin.
Bagaimanapun juga, kita sering kekurangan informasi tentang kemampuan yang
berkaitan dengan tugas yang relevan, dan bahkan ketika kita memiliki informasi, yang
muncul adalah bahwa kita juga harus mendasarkan harapan kita pada atribut pribadi dan
kelompok seperti : jenis kelamin, ras, dan usia. Dalam beberapa masyarakat tertentu,
beberapa atribut pribadi dinilai lebih penting daripada atribut lainnya. Untuk menjadi
pemimpin, jenis kelamin kadang lebih diprioritaskan ketimbang kemampuan. Di
Indonesia, untuk menjadi presiden, ras merupakan syarat pertama yang harus dipenuhi.
Berger menyebut gejala tersebut sebagai “difusi karakteristik status”; karakteristik status
mempengaruhi harapan kelompok kerja. Status laki-laki lebih tinggi dibanding
perempuan dalam soal menjadi pemimpin, warganegara pribumi asli lebih diberi tempat
menduduki jabatan presiden. Difusi karakteristik status tersebut ( jenis kelamin, ras, usia,
dan lainnya) dengan demikian, mempunyai pengaruh yang kuat terhadap interaksi sosial.
c. Posmodernisme (Postmodernism)
Baik teori peran maupun teori pernyataan-harapan, keduanya menjelaskan perilaku
sosial dalam kaitannya dengan harapan peran dalam masyarakat kontemporer. Beberapa
psikolog lainnya justru melangkah lebih jauh lagi. Pada dasarnya teori posmodernisme
atau dikenal dengan singkatan “POSMO” merupakan reaksi keras terhadap dunia
modern. Teori Posmodernisme, contohnya, menyatakan bahwa dalam masyarakat
modern, secara gradual seseorang akan kehilangan individualitas-nya – kemandiriannya,
konsep diri, atau jati diri. (Denzin, 1986; Murphy, 1989; Dowd, 1991; Gergen, 1991) .
Dalam pandangan teori ini upaya kita untuk memenuhi peran yang dirancangkan untuk
kita oleh masyarakat, menyebabkan individualitas kita digantikan oleh kumpulan citra
diri yang kita pakai sementara dan kemudian kita campakkan..
Berdasarkan pandangan posmodernisme, erosi gradual individualitas muncul
bersamaan dengan terbitnya kapitalisme dan rasionalitas. Faktor-faktor ini mereduksi
pentingnya hubungan pribadi dan menekankan aspek nonpersonal. Kapitalisme atau
modernisme, menurut teori ini, menyebabkan manusia dipandang sebagai barang yang
15
bisa diperdagangkan – nilainya (harganya) ditentukan oleh seberapa besar yang bisa
dihasilkannya.
Setelah Perang Dunia II, manusia makin dipandang sebagai konsumen dan juga
sebagai produsen. Industri periklanan dan masmedia menciptakan citra komersial yang
mampu mengurangi keanekaragaman individualitas. Kepribadian menjadi gaya hidup.
Manusia lalu dinilai bukan oleh kepribadiannya tetapi oleh seberapa besar
kemampuannya mencontoh gaya hidup. Apa yang kita pertimbangkan sebagai “ pilihan
kita sendiri” dalam hal musik, makanan, dan lain-lainnya, sesungguhnya merupakan
seperangkat kegemaran yang diperoleh dari kebudayaan yang cocok dengan tempat kita
dalam struktur ekonomi masyarakat kita. Misalnya, kesukaan remaja Indonesia terhadap
musik “rap” tidak lain adalah disebabkan karena setiap saat telinga mereka dijejali oleh
musik tersebut melalui radio, televisi, film, CD, dan lain sebagainya. Gemar musik “rap”
menjadi gaya hidup remaja. Lalu kalau mereka tidak menyukai musik “rap”, dia bukan
remaja. Perilaku seseorang ditentukan oleh gaya hidup orang-orang lain yang ada di
sekelilingnya , bukan oleh dirinya sendiri. Kepribadiannya hilang individualitasnya
lenyap. Itulah manusia modern, demikian menurut pandangan penganut “posmo”.
Intinya, teori peran, pernyataan-harapan, dan posmodernisme memberikan ilustrasi
perspektif struktural dalam hal bagaimana harapan-harapan masyarakat mempengaruhi
perilaku sosial individu. Sesuai dengan perspektif ini, struktur sosial – pola interaksi yang
sedang terjadi dalam masyarakat – sebagian besarnya pembentuk dan sekaligus juga
penghambat perilaku individual. Dalam pandangan ini, individu mempunyai peran yang
pasif dalam menentukan perilakunya. Individu bertindak karena ada kekuatan struktur
sosial yang menekannya.
4. Perspektif Interaksionis (Interactionist Perspective)
Seorang sosiolog yang bernama George Herbert Mead (1934) yang mengajar
psiokologi sosial pada departemen filsafat Universitas Chicago, mengembangkan teori
ini. Mead percaya bahwa keanggotaan kita dalam suatu kelompok sosial menghasilkan
perilaku bersama yang kita kenal dengan nama budaya. Dalam waktu yang bersamaan,
dia juga mengakui bahwa individu-individu yang memegang posisi berbeda dalam suatu
kelompok, mempunyai peran yang berbeda pula, sehingga memunculkan perilaku yang
16
juga berbeda. Misalnya, perilaku pemimpin berbeda dengan pengikutnya. Dalam kasus
ini, Mead tampak juga seorang strukturis. Namun dia juga menentang pandangan bahwa
perilaku kita melulu dipengaruhi oleh lingkungan sosial atau struktur sosial. Sebaliknya
Mead percaya bahwa kita sebagai bagian dari lingkungan sosial tersebut juga telah
membantu menciptakan lingkungan tersebut. Lebih jauh lagi, dia memberi catatan bahwa
walau kita sadar akan adanya sikap bersama dalam suatu kelompok/masyarakat, namun
hal tersebut tidaklah berarti bahwa kita senantiasa berkompromi dengannya.
Mead juga tidak setuju pada pandangan yang mengatakan bahwa untuk bisa
memahami perilaku sosial, maka yang harus dikaji adalah hanya aspek eksternal
(perilaku yang teramati) saja. Dia menyarankan agar aspek internal (mental) sama
pentingnya dengan aspek eksternal untuk dipelajari. Karena dia tertarik pada aspek
internal dan eksternal atas dua atau lebih individu yang berinteraksi, maka dia menyebut
aliran perilakunya dengan nama “social behaviorism”. Dalam perspektif interaksionis ada
beberapa teori yang layak untuk dibahas yaitu Teori Interaksi Simbolis (Symbolic
Interaction Theory), dan Teori Identitas (Identity Theory).
a. Teori Interaksi Simbolis (Symbolic Interaction Theory)
Walau Mead menyarankan agar aspek internal juga dikaji untuk bisa memahami
perilaku sosial, namun hal tersebut bukanlah merupakan minat khususnya. Justru dia
lebih tertarik pada interaksi, di mana hubungan di antara gerak-isyarat (gesture) tertentu
dan maknanya, mempengaruhi pikiran pihak-pihak yang sedang berinteraksi. Dalam
terminologi Mead, gerak-isyarat yang maknanya diberi bersama oleh semua pihak yang
terlibat dalam interaksi adalah merupakan “satu bentuk simbol yang mempunyai arti
penting” ( a significant symbol”). Kata-kata dan suara-lainnya, gerakan-gerakan fisik,
bahasa tubuh (body langguage), baju, status, kesemuanya merupakan simbol yang
bermakna.
Mead tertarik mengkaji interaksi sosial, di mana dua atau lebih individu berpotensi
mengeluarkan simbol yang bermakna. Perilaku seseorang dipengaruhi oleh simbol yang
dikeluarkan orang lain, demikian pula perilaku orang lain tersebut. Melalui pemberian
isyarat berupa simbol, kita mengutarakan perasaan, pikiran, maksud, dan sebaliknya
17
dengan cara membaca simbol yang ditampilkan orang lain, kita menangkap pikiran,
perasaan orang lain tersebut. Teori ini mirip dengan teori pertukaran sosial.
Interaksi di antara beberapa pihak tersebut akan tetap berjalan lancar tanpa gangguan
apa pun manakala simbol yang dikeluarkan oleh masing-masing pihak dimaknakan
bersama sehingga semua pihak mampu mengartikannya dengan baik. Hal ini mungkin
terjadi karena individu-individu yang terlibat dalam interaksi tersebut berasal dari budaya
yang sama, atau sebelumnya telah berhasil memecahkan perbedaan makna di antara
mereka. Namun tidak selamanya interaksi berjalan mulus. Ada pihak-pihak tertentu yang
menggunakan simbol yang tidak signifikan – simbol yang tidak bermakna bagi pihak
lain. Akibatnya orang-orang tersebut harus secara terus menerus mencocokan makna dan
merencanakan cara tindakan mereka.
Banyak kualitas perilaku manusia yang belum pasti dan senantiasa berkembang :
orang-orang membuat peta, menguji, merencanakan, menunda, dan memperbaiki
tindakan-tindakan mereka, dalam upaya menanggapi tindakan-tindakan pihak lain. Sesuai
dengan pandangan ini, individu-individu menegosiasikan perilakunya agar cocok dengan
perilaku orang lain.
b. Teori Identitas (Identity Theory)
Teori Indentitas dikemukakan oleh Sheldon Stryker (1980). Teori ini memusatkan
perhatiannya pada hubungan saling mempengaruhi di antara individu dengan struktur
sosial yang lebih besar lagi (masyarakat). Individu dan masyarakat dipandang sebagai
dua sisi dari satu mata uang. Seseorang dibentuk oleh interaksi, namun struktur sosial
membentuk interaksi. Dalam hal ini Stryker tampaknya setuju dengan perspektif
struktural, khususnya teori peran. Namun dia juga memberi sedikit kritik terhadap teori
peran yang menurutnya terlampau tidak peka terhadap kreativitas individu.
Teori Stryker mengkombinasikan konsep peran (dari teori peran) dan konsep diri/self
(dari teori interaksi simbolis). Bagi setiap peran yang kita tampilkan dalam berinteraksi
dengan orang lain, kita mempunyai definisi tentang diri kita sendiri yang berbeda
dengan diri orang lain, yang oleh Stryker dinamakan “identitas”. Jika kita memiliki
banyak peran, maka kita memiliki banyak identitas. Perilaku kita dalam suatu bentuk
18
interaksi, dipengaruhi oleh harapan peran dan identitas diri kita, begitu juga perilaku
pihak yang berinteraksi dengan kita.
Intinya, teori interaksi simbolis dan identitas mendudukan individu sebagai pihak
yang aktif dalam menetapkan perilakunya dan membangun harapan-harapan sosial.
Perspektif iteraksionis tidak menyangkal adanya pengaruh struktur sosial, namun jika
hanya struktur sosial saja yang dilihat untuk menjelaskan perilaku sosial, maka hal
tersebut kurang memadai.
RANGKUMAN
Telah kita bahas empat perspektif dalam psikologi sosial. Yang dimaksud dengan
perspektif adalah asumsi-asumsi dasar yang paling banyak sumbangannya kepada
pendekatan psikologi sosial. Perspektif perilaku menyatakan bahwa perilaku sosial kita
paling baik dijelaskan melalui perilaku yang secara langsung dapat diamati dan
lingkungan yang menyebabkan perilaku kita berubah. Perspektif kognitif menjelaskan
perilaku sosial kita dengan cara memusatkan pada bagaimana kita menyusun mental
(pikiran, perasaan) dan memproses informasi yang datangnya dari lingkungan . Kedua
perspektif tersebut banyak dikemukakan oleh para psikolog sosial yang berlatar belakang
psikologi.
Di samping kedua perspektif di atas, ada dua perspektif lain yang sebagian besarnya
diutarakan oleh para psikolog sosial yang berlatas belakang sosiologi. Perspektif
struktural memusatkan perhatian pada proses sosialisasi, yaitu proses di mana perilaku
kita dibentuk oleh peran yang beraneka ragam dan selalu berubah, yang dirancang oleh
masyarakat kita. Perspektif interaksionis memusatkan perhatiannya pada proses
interaksi yang mempengaruhi perilaku sosial kita. Perbedaan utama di antara kedua
perspektif terakhir tadi adalah pada pihak mana yang berpengaruh paling besar terhadap
pembentukan perilaku. Kaum strukturalis cenderung meletakan struktur sosial (makro)
sebagai determinan perilaku sosial individu, sedangkan kaum interaksionis lebih
memandang individu (mikro) merupakan agen yang aktif dalam membentuk perilakunya
sendiri.
Karena banyaknya teori yang dikemukakan untuk menjelaskan perilaku sosial maka
seringkali muncul pertanyaan : “Teori mana yang paling benar ?” atau “teori mana yang
19
terbaik?” . Hampir seluruh psikolog sosial akan menjawab bahwa tidak ada teori yang
salah atau yang paling baik, atau paling jelek. Setiap teori mempunyai keterbatasan dalam
aplikasinya. Misalnya dalam mempelajari agresi (salah satu bentuk perilaku sosial), para
behavioris bisa memusatkan pada pengalaman belajar yang mendorong terjadinya
perilaku agresif – pada bagaimana orang tua, guru, dan pihak-pihak lain yang memberi
perlakuan positif pada perilaku agresif. Bagi yang tertarik pada perspektif kognitif maka
obyek kajiannya adalah pada bagaimana seseorang mempersepsi, interpretasi, dan
berpikir tentang perilaku agresif. Seorang psikolog sosial yang ingin menggunakan teori
medan akan mengkaji perilaku agresif dengan cara melihat hubungan antara karakteristik
individu dengan situasi di mana perilaku agresif tersebut ditampilkan. Para teoritisi
pertukaran sosial bisa memusatkan pada adanya imbalan sosial terhadap individu yang
menampilkan perilaku agresif. Jika memakai kacamata teori peran, perilaku agresif atau
tidak agresif ditampilkan oleh seseorang karena harapan-harapan sosial yang melekat
pada posisi sosialnya harus dipenuhi.
Demikianlah, setiap teori bisa digunakan untuk menjadi pendekatan yang efektif tidak
untuk semua aspek perilaku. Teori peran lebih efektif untuk menjelaskan perilaku X
dibanding dengan teori yang berperspektif kognitif, misalnya.
Buku Acuan :
Theories of Social Psychology – Marvin E. Shaw / Philip R. Costanzo, Second Edition,
1985, McGraw-Hill, Inc.
Thinking Sociologically, Sheldon Goldenberg, 1987, Wadsworth, Inc.
Social Psychology, James A. Wiggins, Beverly B. Wiggins, James Vander Zanden, Fifth
Edition, 1994, McGraw-Hill, Inc.
Sociology, Concepts and Uses , Jonathan H. Tuner, 1994. McGraw-Hill Inc.
20
Social Psychology, Kay Deaux, Lawrence S. Wrightsman, Fifth Edition, 1988,
Wadsworth, Inc.
from:http://makalahkumakalahmu.wordpress.com/2009/04/01/perspektif-dalam-psikologi-sosial/
PERSPEKTIF DALAM PSIKOLOGI SOSIAL
Hasan Mustafa
Pengantar :
Tulisan ini disusun sebagai upaya membantu mahasiswa memahami isi mata kuliah Psikologi Sosial pada program studi Administrasi Negara Fisip Unpar. Acuan uraian ini adalah buku yang ditulis oleh James A. Wiggins, Beverly B. Wiggins, dan James Vander Zanden ( 1994), dilengkapi oleh sumber bacaan lain. Topik lain yang juga merupakan pokok bahasan dalam mata kuliah tersebut akan segera disusun. Semoga bermanfaat.
Akar awal Psikologi Sosial
Walau psikologi sosial merupakan disiplin yang telah lama ada ( sejak Plato dan Aristotle), namun secara resmi, disiplin ini menjadi satu ilmu yang mandiri baru sejak tahun 1908. Pada tahun itu ada dua buku teks yang terkenal yaitu “Introduction to Social Psychology” ditulis oleh William McDougall – seorang psikolog – dan “Social Psychology : An Outline and Source Book , ditulis oleh E.A. Ross – seorang sosiolog.
Berdasarkan latar belakang penulisnya maka dapat dipahami bahwa psikologi sosial bisa di”claim” sebagai bagian dari psikologi, dan bisa juga sebagai bagian dari sosiologi.
Psikologi sosial juga merupakan pokok bahasan dalam sosiologi karena dalam sosiologi dikenal ada dua perspektif utama, yaitu perspektif struktural makro yang menekankan kajian struktur sosial, dan perspektif mikro yang menekankan pada kajian individualistik dan psikologi sosial dalam menjelaskan variasi perilaku manusia.. Di Amerika disiplin ini banyak dibina oleh jurusan sosiologi – di American Sociological Association terdapat satu bagian yang dinamakan “social psychological section“, sedangkan di Indonesia, secara formal disiplin psikologi sosial di bawah binaan fakultas psikologi, namun dalam prakteknya tidak sedikit para pakar sosiologi yang juga menguasai disiplin ini sehingga dalam berbagai tulisannya, cara pandang psikologi sosial ikut mewarnainya.
Apakah perbedaan di antara Sosiologi dan Psikologi ??
Kita sering berpikir bahwa yang namanya dunia psikologi adalah dunia yang
berkaitan dengan persoalan perasaan, motivasi, kepribadian, dan yang sejenisnya.
Dan kalau berpikir tentang sosiologi, secara umum cenderung memikirkan persoalan
kemasyarakatan. Kajian utama psikologi adalah pada persoalan kepribadian, mental,
perilaku, dan dimensi-dimensi lain yang ada dalam diri manusia sebagai individu.
Sosiologi lebih mengabdikan kajiannya pada budaya dan struktur sosial yang
keduanya mempengaruhi interaksi, perilaku, dan kepribadian. Kedua bidang ilmu
tersebut bertemu di daerah yang dinamakan psikologi sosial . Dengan demikian para
psikolog berwenang merambah bidang ini, demikian pula para sosiolog. Namun
karena perbedaan latar belakang maka para psikolog akan menekankan pengaruh
situasi sosial terhadap proses dasar psikologikal – persepsi kognisi emosi dan
2
Pertanyaan yang paling mendasar yang senantiasa menjadi kajian dalam psikologi
sosial adalah : ” Bagaimana kita dapat menjelaskan pengaruh orang lain terhadap perilaku
kita?’”. Misalnya di Prancis, para analis sosial sering mengajukan pertanyaan mengapa
pada saat revolusi Prancis, perilaku orang menjadi cenderung emosional ketimbang
rasional? Demikian juga di Jerman dan Amerika Serikat dilakukan studi tentang
kehadiran orang lain dalam memacu prestasi seseorang . Misalnya ketika seorang anak
belajar seorang diri dan belajar dalam kelompok, bisa menunjukan prestasi lebih baik
dibandingkan ketika mereka belajar sendiri. Gordon Allport (1968) menjelaskan bahwa
seorang boleh disebut sebagai psikolog sosial jika dia “berupaya memahami,
menjelaskan, dan memprediksi bagaimana pikiran, perasaan, dan tindakan individuindividu
dipengaruhi oleh pikiran, perasaan, dan tindakan-tindakan orang lain yang
dilihatnya, atau bahkan hanya dibayangkannya”
Teori-teori awal yang dianggap mampu menjelaskan perilaku seseorang, difokuskan
pada dua kemungkinan (1) perilaku diperoleh dari keturunan dalam bentuk instinkinstink
biologis – lalu dikenal dengan penjelasan “nature” - dan (2) perilaku bukan
diturunkan melainkan diperoleh dari hasil pengalaman selama kehidupan mereka -
3
dikenal dengan penjelasan “nurture”. Penjelasan “nature” dirumuskan oleh ilmuwan
Inggris Charles Darwin pada abad kesembilan belas di mana dalam teorinya
dikemukakan bahwa semua perilaku manusia merupakan serangkaian instink yang
diperlukan agar bisa bertahan hidup. Mc Dougal sebagai seorang psikolog cenderung
percaya bahwa seluruh perilaku sosial manusia didasarkan pada pandangan ini
(instinktif).
Namun banyak analis sosial yang tidak percaya bahwa instink merupakan sumber
perilaku sosial. Misalnya William James, seorang psikolog percaya bahwa walau instink
merupakan hal yang mempengaruhi perilaku sosial, namun penjelasan utama cenderung
ke arah kebiasaan - yaitu pola perilaku yang diperoleh melalui pengulangan sepanjang
kehidupan seseorang. Hal ini memunculkan “nurture explanation”. Tokoh lain yang juga
seorang psikolog sosial, John Dewey mengatakan bahwa perilaku kita tidak sekedar
muncul berdasarkan pengalaman masa lampau, tetapi juga secara terus menerus berubah
atau diubah oleh lingkungan – “situasi kita” – termasuk tentunya orang lain.
Berbagai alternatif yang berkembang dari kedua pendekatan tersebut kemudian
memunculkan berbagai perspektif dalam psikologi sosial – seperangkat asumsi dasar
tentang hal paling penting yang bisa dipertimbangkan sebagai sesuatu yang bisa
digunakan untuk memahami perilaku sosial. Ada empat perspektif, yaitu : perilaku
(behavioral perspectives) , kognitif (cognitive perspectives), stuktural (structural
perspectives), dan interaksionis (interactionist perspectives).
Perspektif perilaku dan kognitif lebih banyak digunakan oleh para psikolog sosial
yang berakar pada psikologi. Mereka sering menawarkan jawaban yang berbeda atas
sebuah pertanyaan : “Seberapa besar perhatian yang seharusnya diberikan oleh para
psikolog sosial pada kegiatan mental dalam upayanya memahami perilaku sosial?”.
Perspektif perilaku menekankan, bahwa untuk dapat lebih memahami perilaku seseorang,
seyogianya kita mengabaikan informasi tentang apa yang dipikirkan oleh seseorang.
Lebih baik kita memfokuskan pada perilaku seseorang yang dapat diuji oleh pengamatan
kita sendiri. Dengan mempertimbangkan proses mental seseorang, kita tidak terbantu
memahami perilaku orang tersebut, karena seringkali proses mental tidak reliabel untuk
memprediksi perilaku. Misalnya tidak semua orang yang berpikiran negatif tentang
sesuatu, akan juga berperilaku negatif. Orang yang bersikap negatif terhadap bangsa A
4
misalnya, belum tentu dia tidak mau melakukan hubungan dengan bangsa A tersebut.
Intinya pikiran, perasaan, sikap (proses mental) bukan sesuatu yang bisa menjelaskan
perilaku seseorang.
Sebaliknya, perspektif kognitif menekankan pada pandangan bahwa kita tidak bisa
memahami perilaku seseorang tanpa mempelajari proses mental mereka. Manusia tidak
menanggapi lingkungannya secara otomatis. Perilaku mereka tergantung pada bagaimana
mereka berpikir dan mempersepsi lingkungannya. Jadi untuk memperoleh informasi yang
bisa dipercaya maka proses mental seseorang merupakan hal utama yang bisa
menjelaskan perilaku sosial seseorang.
Perspektif struktural dan interaksionis lebih sering digunakan oleh para psikolog sosial
yang berasal dari disiplin sosiologi. Pertanyaan yang umumnya diajukan adalah : “
Sejauhmana kegiatan-kegiatan individual membentuk interaksi sosial ?”. Perspektif
struktural menekankan bahwa perilaku seseorang dapat dimengerti dengan sangat baik
jika diketahui peran sosialnya. Hal ini terjadi karena perilaku seseorang merupakan reaksi
terhadap harapan orang-orang lain. Seorang mahasiswa rajin belajar, karena masyarakat
mengharapkan agar yang namanya mahasiswa senantiasa rajin belajar. Seorang ayah rajin
bekerja mencari nafkah guna menghidupi keluarganya. Mengapa ? Karena masyarakat
mengharapkan dia berperilaku seperti itu, jika tidak maka dia tidak pantas disebut sebagai
“seorang ayah”. Perspektif interaksionis lebih menekankan bahwa manusia merupakan
agen yang aktif dalam menetapkan perilakunya sendiri, dan mereka yang membangun
harapan-harapan sosial. Manusia bernegosiasi satu sama lainnya untuk membentuk
interaksi dan harapannya. Untuk lebih jelas, di bawah ini diuraikan satu persatu keempat
prespektif dalam psikologi sosial.
1. Perspektif Perilaku (Behavioral Perspective)
Pendekatan ini awalnya diperkenalkan oleh John B. Watson (1941, 1919).
Pendekatan ini cukup banyak mendapat perhatian dalam psikologi di antara tahun 1920-
an s/d 1960-an. Ketika Watson memulai penelitiannya, dia menyarankan agar
pendekatannya ini tidak sekedar satu alternatif bagi pendekatan instinktif dalam
memahami perilaku sosial, tetapi juga merupakan alternatif lain yang memfokuskan pada
pikiran, kesadaran, atau pun imajinasi. Watson menolak informasi instinktif semacam itu,
5
yang menurutnya bersifat “mistik”, “mentalistik”, dan “subyektif”. Dalam psikologi
obyektif maka fokusnya harus pada sesuatu yang “dapat diamati” (observable), yaitu
pada “apa yang dikatakan (sayings) dan apa yang dilakukan (doings)”. Dalam hal ini
pandangan Watson berbeda dengan James dan Dewey, karena keduanya percaya bahwa
proses mental dan juga perilaku yang teramati berperan dalam menyelaskan perilaku
sosial.
Para “behaviorist” memasukan perilaku ke dalam satu unit yang dinamakan
“tanggapan” (responses), dan lingkungan ke dalam unit “rangsangan” (stimuli). Menurut
penganut paham perilaku, satu rangsangan dan tanggapan tertentu bisa berasosiasi satu
sama lainnya, dan menghasilkan satu bentuk hubungan fungsional. Contohnya, sebuah
rangsangan ” seorang teman datang “, lalu memunculkan tanggapan misalnya, “tersenyum”.
Jadi seseorang tersenyum, karena ada teman yang datang kepadanya. Para
behavioris tadi percaya bahwa rangsangan dan tanggapan dapat dihubungkan tanpa
mengacu pada pertimbangan mental yang ada dalam diri seseorang. Jadi tidak terlalu
mengejutkan jika para behaviorisme tersebut dikategorikan sebagai pihak yang
menggunakan pendekatan “kotak hitam (black-box)” . Rangsangan masuk ke sebuah
kotak (box) dan menghasilkan tanggapan. Mekanisme di dalam kotak hitam tadi -
srtuktur internal atau proses mental yang mengolah rangsangan dan tanggapan – karena
tidak dapat dilihat secara langsung (not directly observable), bukanlah bidang kajian para
behavioris tradisional.
Kemudian, B.F. Skinner (1953,1957,1974) membantu mengubah fokus behaviorisme
melalui percobaan yang dinamakan “operant behavior” dan “reinforcement“. Yang
dimaksud dengan “operant condition” adalah setiap perilaku yang beroperasi dalam suatu
lingkungan dengan cara tertentu, lalu memunculkan akibat atau perubahan dalam
lingkungan tersebut. Misalnya, jika kita tersenyum kepada orang lain yang kita hadapi,
lalu secara umum, akan menghasilkan senyuman yang datangnya dari orang lain tersebut.
Dalam kasus ini, tersenyum kepada orang lain tersebut merupakan “operant behavior“.
Yang dimaksud dengan “reinforcement” adalah proses di mana akibat atau perubahan
yang terjadi dalam lingkungan memperkuat perilaku tertentu di masa datang . Misalnya,
jika kapan saja kita selalu tersenyum kepada orang asing (yang belum kita kenal
sebelumnya), dan mereka tersenyum kembali kepada kita, maka muncul kemungkinan
6
bahwa jika di kemudian hari kita bertemu orang asing maka kita akan tersenyum. Perlu
diketahui, reinforcement atau penguat, bisa bersifat positif dan negatif. Contoh di atas
merupakan penguat positif. Contoh penguat negatif, misalnya beberapa kali pada saat kita
bertemu dengan orang asing lalu kita tersenyum dan orang asing tersebut diam saja atau
bahkan menunjukan rasa tidak suka, maka dikemudian hari jika kita bertemu orang asing
kembali, kita cenderung tidak tersenyum (diam saja).
Dalam pendekatan perilaku terdapat teori-teori yang mencoba menjelaskan secara
lebih mendalam mengapa fenomena sosial yang diutarakan dalam pendekatan perilaku
bisa terjadi. Beberapa teori antara lain adalah Teori Pembelajaran Sosial (Social Learning
Theory) dan Teori Pertukaran Sosial (Social Exchange Theory).
a. Teori Pembelajaran Sosial.
Di tahun 1941, dua orang psikolog – Neil Miller dan John Dollard – dalam laporan
hasil percobaannya mengatakan bahwa peniruan (imitation) di antara manusia tidak
disebabkan oleh unsur instink atau program biologis. Penelitian kedua orang tersebut
mengindikasikan bahwa kita belajar (learn) meniru perilaku orang lain. Artinya peniruan
tersebut merupakan hasil dari satu proses belajar, bukan bisa begitu saja karena instink.
Proses belajar tersebut oleh Miller dan Dollard dinamakan “social learning ” -
“pembelajaran sosial”. Perilaku peniruan (imitative behavior) kita terjadi karena kita
merasa telah memperoleh imbalan ketika kita meniru perilaku orang lain, dan
memperoleh hukuman ketika kita tidak menirunya. Agar seseorang bisa belajar
mengikuti aturan baku yang telah ditetapkan oleh masyarakat maka “para individu harus
dilatih, dalam berbagai situasi, sehingga mereka merasa nyaman ketika melakukan apa
yang orang lain lakukan, dan merasa tidak nyaman ketika tidak melakukannya.”,
demikian saran yang dikemukakan oleh Miller dan Dollard.
Dalam penelitiannya, Miller dan Dollard menunjukan bahwa anak-anak dapat belajar
meniru atau tidak meniru seseorang dalam upaya memperoleh imbalan berupa permen.
Dalam percobaannya tersebut, juga dapat diketahui bahwa anak-anak dapat membedakan
orang-orang yang akan ditirunya. Misalnya jika orang tersebut laki-laki maka akan
ditirunya, jika perempuan tidak. Lebih jauh lagi, sekali perilaku peniruan terpelajari
(learned), hasil belajar ini kadang berlaku umum untuk rangsangan yang sama. Misalnya,
7
anak-anak cenderung lebih suka meniru orang-orang yang mirip dengan orang yang
sebelumnya memberikan imbalan. Jadi, kita mempelajari banyak perilaku “baru” melalui
pengulangan perilaku orang lain yang kita lihat. Kita contoh perilaku orang-orang lain
tertentu, karena kita mendapatkan imbalan atas peniruan tersebut dari orang-orang lain
tertentu tadi dan juga dari mereka yang mirip dengan orang-orang lain tertentu tadi, di
masa lampau.
Dua puluh tahun berikutnya, Albert Bandura dan Richard Walters (1959, 1963),
mengusulkan satu perbaikan atas gagasan Miller dan Dollard tentang belajar melalui
peniruan. Bandura dan Walters menyarankan bahwa kita belajar banyak perilaku melalui
peniruan, bahkan tanpa adanya penguat (reinforcement) sekalipun yang kita terima. Kita
bisa meniru beberapa perilaku hanya melalui pengamatan terhadap perilaku model, dan
akibat yang ditimbulkannya atas model tersebut. Proses belajar semacam ini disebut
“observational learning” – pembelajaran melalui pengamatan. Contohnya, percobaan
Bandura dan Walters mengindikasikan bahwa ternyata anak-anak bisa mempunyai
perilaku agresif hanya dengan mengamati perilaku agresif sesosok model, misalnya
melalui film atau bahkan film karton.
Bandura (1971), kemudian menyarankan agar teori pembelajaran sosial seyogianya
diperbaiki lebih jauh lagi. Dia mengatakan bahwa teori pembelajaran sosial yang benarbenar
melulu menggunakan pendekatan perilaku dan lalu mengabaikan pertimbangan
proses mental, perlu dipikirkan ulang. Menurut versi Bandura, maka teori pembelajaran
sosial membahas tentang (1) bagaimana perilaku kita dipengaruhi oleh lingkungan
melalui penguat (reinforcement) dan observational learning, (2) cara pandang dan cara
pikir yang kita miliki terhadap informasi, (3) begitu pula sebaliknya, bagaimana perilaku
kita mempengaruhi lingkungan kita dan menciptakan penguat (reinforcement) dan
observational opportunity - kemungkinan bisa diamati oleh orang lain.
b. Teori Pertukaran Sosial (Social Exchange Theory)
Tokoh-tokoh yang mengembangkan teori pertukaran sosial antara lain adalah
psikolog John Thibaut dan Harlod Kelley (1959), sosiolog George Homans (1961),
Richard Emerson (1962), dan Peter Blau (1964). Berdasarkan teori ini, kita masuk ke
dalam hubungan pertukaran dengan orang lain karena dari padanya kita memperoleh
8
imbalan. Dengan kata lain hubungan pertukaran dengan orang lain akan menghasilkan
suatu imbalan bagi kita. Seperti halnya teori pembelajaran sosial, teori pertukaran sosial
pun melihat antara perilaku dengan lingkungan terdapat hubungan yang saling
mempengaruhi (reciprocal). Karena lingkungan kita umumnya terdiri atas orang-orang
lain, maka kita dan orang-orang lain tersebut dipandang mempunyai perilaku yang saling
mempengaruhi Dalam hubungan tersebut terdapat unsur imbalan (reward), pengorbanan
(cost) dan keuntungan (profit). Imbalan merupakan segala hal yang diperloleh melalui
adanya pengorbanan, pengorbanan merupakan semua hal yang dihindarkan, dan
keuntungan adalah imbalan dikurangi oleh pengorbanan. Jadi perilaku sosial terdiri atas
pertukaran paling sedikit antar dua orang berdasarkan perhitungan untung-rugi. Misalnya,
pola-pola perilaku di tempat kerja, percintaan, perkawinan, persahabatan – hanya akan
langgeng manakala kalau semua pihak yang terlibat merasa teruntungkan. Jadi perilaku
seseorang dimunculkan karena berdasarkan perhitungannya, akan menguntungkan bagi
dirinya, demikian pula sebaliknya jika merugikan maka perilaku tersebut tidak
ditampilkan.
Berdasarkan keyakinan tersebut Homans dalam bukunya “Elementary Forms of Social
Behavior, 1974 mengeluarkan beberapa proposisi dan salah satunya berbunyi :”Semua
tindakan yang dilakukan oleh seseorang, makin sering satu bentuk tindakan tertentu
memperoleh imbalan, makin cenderung orang tersebut menampilkan tindakan tertentu
tadi “. Proposisi ini secara eksplisit menjelaskan bahwa satu tindakan tertentu akan
berulang dilakukan jika ada imbalannya. Proposisi lain yang juga memperkuat proposisi
tersebut berbunyi : “Makin tinggi nilai hasil suatu perbuatan bagi seseorang, makin
besar pula kemungkinan perbuatan tersebut diulanginya kembali”. Bagi Homans, prinsip
dasar pertukaran sosial adalah “distributive justice” – aturan yang mengatakan bahwa
sebuah imbalan harus sebanding dengan investasi. Proposisi yang terkenal sehubungan
dengan prinsip tersebut berbunyi ” seseorang dalam hubungan pertukaran dengan orang
lain akan mengharapkan imbalan yang diterima oleh setiap pihak sebanding dengan
pengorbanan yang telah dikeluarkannya – makin tingghi pengorbanan, makin tinggi
imbalannya – dan keuntungan yang diterima oleh setiap pihak harus sebanding dengan
investasinya - makin tinggi investasi, makin tinggi keuntungan”.
9
Inti dari teori pembelajaran sosial dan pertukaran sosial adalah perilaku sosial
seseorang hanya bisa dijelaskan oleh sesuatu yang bisa diamati, bukan oleh proses
mentalistik (black-box). Semua teori yang dipengaruhi oleh perspektif ini menekankan
hubungan langsung antara perilaku yang teramati dengan lingkungan.
2. Perspektif Kognitif (The Cognitive Perspective)
Kita telah memberikan indikasi bahwa kebiasaan (habit) merupakan penjelasan
alternatif yang bisa digunakan untuk memahami perilaku sosial seseorang di samping
instink (instinct). Namun beberapa analis sosial percaya bahwa kalau hanya kedua hal
tersebut (kebiasaan dan instink) yang dijadikan dasar, maka dipandang terlampau ekstrem
- karena mengabaikan kegiatan mental manusia.
Seorang psikolog James Baldwin (1897) menyatakan bahwa paling sedikit ada dua
bentuk peniruan, satu didasarkan pada kebiasaan kita dan yang lainnya didasarkan pada
wawasan kita atas diri kita sendiri dan atas orang lain yang perilakunya kita tiru. Walau
dengan konsep yang berbeda seorang sosiolog Charles Cooley (1902) sepaham dengan
pandangan Baldwin. Keduanya memfokuskan perhatian mereka kepada perilaku sosial
yang melibatkan proses mental atau kognitif .
Kemudian banyak para psikolog sosial menggunakan konsep sikap (attitude) untuk
memahami proses mental atau kognitif tadi. Dua orang sosiolog W.I. Thomas dan Florian
Znaniecki mendefinisikan psikologi sosial sebagai studi tentang sikap, yang diartikannya
sebagai proses mental individu yang menentukan tanggapan aktual dan potensial individu
dalam dunia sosial”. Sikap merupakan predisposisi perilaku. Beberapa teori yang
melandasi perpektif ini antara lain adalah Teori Medan (Field Theory), Teori Atribusi
dan Konsistensi Sikap (Concistency Attitude and Attribution Theory), dan Teori Kognisi
Kontemporer.
a. Teori Medan (Field Theory)
Seorang psikolog, Kurt Lewin (1935,1936) mengkaji perilaku sosial melalui
pendekatan konsep “medan”/”field” atau “ruang kehidupan” – life space. Untuk
memahami konsep ini perlu dipahami bahwa secara tradisional para psikolog
memfokuskan pada keyakinan bahwa karakter individual (instink dan kebiasaan), bebas -
10
lepas dari pengaruh situasi di mana individu melakukan aktivitas. Namun Lewin kurang
sepaham dengan keyakinan tersebut. Menurutnya penjelasan tentang perilaku yang tidak
memperhitungkan faktor situasi, tidaklah lengkap. Dia merasa bahwa semua peristiwa
psikologis apakah itu berupa tindakan, pikiran, impian, harapan, atau apapun,
kesemuanya itu merupakan fungsi dari “ruang kehidupan”- individu dan lingkungan
dipandang sebagai sebuah konstelasi yang saling tergantung satu sama lainnya. Artinya
“ruang kehidupan” merupakan juga merupakan determinan bagi tindakan, impian,
harapan, pikiran seseorang. Lewin memaknakan “ruang kehidupan” sebagai seluruh
peristiwa (masa lampau, sekarang, masa datang) yang berpengaruh pada perilaku dalam
satu situasi tertentu.
Bagi Lewin, pemahaman atas perilaku seseorang senantiasa harus dikaitkan dengan
konteks – lingkungan di mana perilaku tertentu ditampilkan. Intinya, teori medan
berupaya menguraikan bagaimana situasi yang ada (field) di sekeliling individu
bepengaruh pada perilakunya. Sesungguhnya teori medan mirip dengan konsep “gestalt”
dalam psikologi yang memandang bahwa eksistensi bagian-bagian atau unsur-unsur tidak
bisa terlepas satu sama lainnya. Misalnya, kalau kita melihat bangunan, kita tidak
melihat batu bata, semen, kusen, kaca, secara satu persatu. Demikian pula kalau kita
mempelajari perilaku individu, kita tidak bisa melihat individu itu sendiri, lepas dari
konteks di mana individu tersebut berada.
b. Teori Atribusi dan Konsistensi Sikap ( Attitude Consistency and Attribution
Theory)
Fritz Heider (1946, 1958), seorang psikolog bangsa Jerman mengatakan bahwa kita
cenderung mengorganisasikan sikap kita, sehingga tidak menimbulkan konflik.
Contohnya, jika kita setuju pada hak seseorang untuk melakukan aborsi, seperti juga
orang-orang lain, maka sikap kita tersebut konsisten atau seimbang (balance). Namun
jika kita setuju aborsi tetapi ternyata teman-teman dekat kita dan juga orang-orang di
sekeliling kita tidak setuju pada aborsi maka kita dalam kondisi tidak seimbang
(imbalance). Akibatnya kita merasa tertekan (stress), kurang nyaman, dan kemudian kita
akan mencoba mengubah sikap kita, menyesuaikan dengan orang-orang di sekitar kita,
misalnya dengan bersikap bahwa kita sekarang tidak sepenuhnya setuju pada aborsi.
11
Melalui pengubahan sikap tersebut, kita menjadi lebih nyaman. Intinya sikap kita
senantiasa kita sesuaikan dengan sikap orang lain agar terjadi keseimbangan karena
dalam situasi itu, kita menjadi lebih nyaman.
Heider juga menyatakan bahwa kita mengorganisir pikiran-pikiran kita dalam
kerangka “sebab dan akibat”. Agar supaya bisa meneruskan kegiatan kita dan
mencocokannya dengan orang-orang di sekitar kita, kita mentafsirkan informasi untuk
memutuskan penyebab perilaku kita dan orang lain. Heider memperkenalkan konsep
“causal attribution” - proses penjelasan tentang penyebab suatu perilaku. Mengapa Tono
pindah ke kota lain ?, Mengapa Ari keluar dari sekolah ?. Kita bisa menjelaskan perilaku
sosial dari Tono dan Ari jika kita mengetahui penyebabnya. Dalam kehidupan seharihari,
kita bedakan dua jenis penyebab, yaitu internal dan eksternal. Penyebab internal
(internal causality) merupakan atribut yang melekat pada sifat dan kualitas pribadi atau
personal, dan penyebab external (external causality) terdapat dalam lingkungan atau
situasi.
c. Teori Kognitif Kontemporer
Dalam tahun 1980-an, konsep kognisi, sebagian besarnya mewarnai konsep sikap.
Istilah “kognisi” digunakan untuk menunjukan adanya proses mental dalam diri
seseorang sebelum melakukan tindakan. Teori kognisi kontemporer memandang manusia
sebagai agen yang secara aktif menerima, menggunakan, memanipulasi, dan mengalihkan
informasi. Kita secara aktif berpikir, membuat rencana, memecahkan masalah, dan
mengambil keputusan. Manusia memproses informasi dengan cara tertentu melalui
struktur kognitif yang diberi istilah “schema” (Markus dan Zajonc, 1985 ; Morgan dan
Schwalbe, 1990; Fiske and Taylor, 1991). Struktur tersebut berperan sebagai kerangka
yang dapat menginterpretasikan pengalaman-pengalaman sosial yang kita miliki. Jadi
struktur kognisi bisa membantu kita mencapai keterpaduan dengan lingkungan, dan
membantu kita untuk menyusun realitas sosial. Sistem ingatan yang kita miliki
diasumsikan terdiri atas struktur pengetahuan yang tak terhitung jumlahnya.
Intinya, teori-teori kognitif memusatkan pada bagaiamana kita memproses informasi
yang datangnya dari lingkungan ke dalam struktur mental kita Teori-teori kognitif
percaya bahwa kita tidak bisa memahami perilaku sosial tanpa memperoleh informasi
12
tentang proses mental yang bisa dipercaya, karena informasi tentang hal yang obyektif,
lingkungan eksternal belum mencukupi.
3. Perspektif Struktural
Telah kita catat bahwa telah terjadi perdebatan di antara para ilmuwan sosial dalam
hal menjelaskan perilaku sosial seseorang. Untuk menjelaskan perilaku sosial seseorang
dapat dikaji sebagai sesuatu proses yang (1) instinktif, (2) karena kebiasaan, dan (3)
juga yang bersumber dari proses mental. Mereka semua tertarik, dan dengan cara sebaik
mungkin lalu menguraikan hubungan antara masyarakat dengan individu. William James
dan John Dewey menekankan pada penjelasan kebiasaan individual, tetapi mereka juga
mencatat bahwa kebiasaan individu mencerminkan kebiasaan kelompok – yaitu adatistiadat
masyarakat – atau strutur sosial . Para sosiolog yakin bahwa struktur sosial terdiri
atas jalinan interaksi antar manusia dengan cara yang relatif stabil. Kita mewarisi struktur
sosial dalam satu pola perilaku yang diturunkan oleh satu generasi ke generasi
berikutnya, melalui proses sosialisasi. Disebabkan oleh struktur sosial, kita mengalami
kehidupan sosial yang telah terpolakan. James menguraikan pentingnya dampak struktur
sosial atas “diri” (self) – perasaan kita terhadap diri kita sendiri. Masyarakat
mempengaruhi diri – self.
Sosiolog lain Robert Park dari Universitas Chicago memandang bahwa masyarakat
mengorganisasikan, mengintegrasikan, dan mengarahkan kekuatan-kekuatan individuindividu
ke dalam berbagai macam peran (roles). Melalui peran inilah kita menjadi tahu
siapa diri kita. Kita adalah seorang anak, orang tua, guru, mahasiswa, laki-laki,
perempuan, Islam, Kristen. Konsep kita tentang diri kita tergantung pada peran yang kita
lakukan dalam masyarakat. Beberapa teori yang melandasi persektif strukturan adalah
Teori Peran (Role Theory), Teori Pernyataan – Harapan (Expectation-States Theory), dan
Posmodernisme (Postmodernism)
a. Teori Peran (Role Theory)
Walau Park menjelaskan dampak masyarakat atas perilaku kita dalam hubungannya
dengan peran, namun jauh sebelumnya Robert Linton (1936), seorang antropolog, telah
mengembangkan Teori Peran. Teori Peran menggambarkan interaksi sosial dalam
13
terminologi aktor-aktor yang bermain sesuai dengan apa-apa yang ditetapkan oleh
budaya. Sesuai dengan teori ini, harapan-harapan peran merupakan pemahaman bersama
yang menuntun kita untuk berperilaku dalam kehidupan sehari-hari. Menurut teori ini,
seseorang yang mempunyai peran tertentu misalnya sebagai dokter, mahasiswa, orang
tua, wanita, dan lain sebagainya, diharapkan agar seseorang tadi berperilaku sesuai
dengan peran tersebut. Mengapa seseorang mengobati orang lain, karena dia adalah
seorang dokter. Jadi karena statusnya adalah dokter maka dia harus mengobati pasien
yang datang kepadanya. Perilaku ditentukan oleh peran sosial
Kemudian, sosiolog yang bernama Glen Elder (1975) membantu memperluas
penggunaan teori peran. Pendekatannya yang dinamakan “life-course” memaknakan
bahwa setiap masyarakat mempunyai harapan kepada setiap anggotanya untuk
mempunyai perilaku tertentu sesuai dengan kategori-kategori usia yang berlaku dalam
masyarakat tersebut. Contohnya, sebagian besar warga Amerika Serikat akan menjadi
murid sekolah ketika berusia empat atau lima tahun, menjadi peserta pemilu pada usia
delapan belas tahun, bekerja pada usia tujuh belah tahun, mempunyai istri/suami pada
usia dua puluh tujuh, pensiun pada usia enam puluh tahun. Di Indonesia berbeda. Usia
sekolah dimulai sejak tujuh tahun, punya pasangan hidup sudah bisa usia tujuh belas
tahun, pensiun usia lima puluh lima tahun. Urutan tadi dinamakan “tahapan usia” (age
grading). Dalam masyarakat kontemporer kehidupan kita dibagi ke dalam masa kanakkanak,
masa remaja, masa dewasa, dan masa tua, di mana setiap masa mempunyai
bermacam-macam pembagian lagi.
b. Teori Pernyataan Harapan (Expectation-States Theory)
Teori ini diperkenalkan oleh Joseph Berger dan rekan-rekannya di Universitas
Stanford pada tahun 1972. Jika pada teori peran lebih mengkaji pada skala makro, yaitu
peran yang ditetapkan oleh masyarakat, maka pada teori ini berfokus pada kelompok
kerja yang lebih kecil lagi. Menurut teori ini, anggota-anggota kelompok membentuk
harapan-harapan atas dirinya sendiri dan diri anggota lain, sesuai dengan tugas-tugas
yang relevan dengan kemampuan mereka, dan harapan-harapan tersebut mempengaruhi
gaya interaksi di antara anggota-anggota kelompok tadi. Sudah tentu atribut yang paling
berpengaruh terhadap munculnya kinerja yang diharapkan adalah yang berkaitan dengan
14
ketrampilan kerjanya. Anggota-anggota kelompok dituntut memiliki motivasi dan
ketrampilan yang diperlukan untuk menyelesaikan tugas-tugas kelompok yang
diharapkan bisa ditampilkan sebaik mungkin.
Bagaimanapun juga, kita sering kekurangan informasi tentang kemampuan yang
berkaitan dengan tugas yang relevan, dan bahkan ketika kita memiliki informasi, yang
muncul adalah bahwa kita juga harus mendasarkan harapan kita pada atribut pribadi dan
kelompok seperti : jenis kelamin, ras, dan usia. Dalam beberapa masyarakat tertentu,
beberapa atribut pribadi dinilai lebih penting daripada atribut lainnya. Untuk menjadi
pemimpin, jenis kelamin kadang lebih diprioritaskan ketimbang kemampuan. Di
Indonesia, untuk menjadi presiden, ras merupakan syarat pertama yang harus dipenuhi.
Berger menyebut gejala tersebut sebagai “difusi karakteristik status”; karakteristik status
mempengaruhi harapan kelompok kerja. Status laki-laki lebih tinggi dibanding
perempuan dalam soal menjadi pemimpin, warganegara pribumi asli lebih diberi tempat
menduduki jabatan presiden. Difusi karakteristik status tersebut ( jenis kelamin, ras, usia,
dan lainnya) dengan demikian, mempunyai pengaruh yang kuat terhadap interaksi sosial.
c. Posmodernisme (Postmodernism)
Baik teori peran maupun teori pernyataan-harapan, keduanya menjelaskan perilaku
sosial dalam kaitannya dengan harapan peran dalam masyarakat kontemporer. Beberapa
psikolog lainnya justru melangkah lebih jauh lagi. Pada dasarnya teori posmodernisme
atau dikenal dengan singkatan “POSMO” merupakan reaksi keras terhadap dunia
modern. Teori Posmodernisme, contohnya, menyatakan bahwa dalam masyarakat
modern, secara gradual seseorang akan kehilangan individualitas-nya – kemandiriannya,
konsep diri, atau jati diri. (Denzin, 1986; Murphy, 1989; Dowd, 1991; Gergen, 1991) .
Dalam pandangan teori ini upaya kita untuk memenuhi peran yang dirancangkan untuk
kita oleh masyarakat, menyebabkan individualitas kita digantikan oleh kumpulan citra
diri yang kita pakai sementara dan kemudian kita campakkan..
Berdasarkan pandangan posmodernisme, erosi gradual individualitas muncul
bersamaan dengan terbitnya kapitalisme dan rasionalitas. Faktor-faktor ini mereduksi
pentingnya hubungan pribadi dan menekankan aspek nonpersonal. Kapitalisme atau
modernisme, menurut teori ini, menyebabkan manusia dipandang sebagai barang yang
15
bisa diperdagangkan – nilainya (harganya) ditentukan oleh seberapa besar yang bisa
dihasilkannya.
Setelah Perang Dunia II, manusia makin dipandang sebagai konsumen dan juga
sebagai produsen. Industri periklanan dan masmedia menciptakan citra komersial yang
mampu mengurangi keanekaragaman individualitas. Kepribadian menjadi gaya hidup.
Manusia lalu dinilai bukan oleh kepribadiannya tetapi oleh seberapa besar
kemampuannya mencontoh gaya hidup. Apa yang kita pertimbangkan sebagai “ pilihan
kita sendiri” dalam hal musik, makanan, dan lain-lainnya, sesungguhnya merupakan
seperangkat kegemaran yang diperoleh dari kebudayaan yang cocok dengan tempat kita
dalam struktur ekonomi masyarakat kita. Misalnya, kesukaan remaja Indonesia terhadap
musik “rap” tidak lain adalah disebabkan karena setiap saat telinga mereka dijejali oleh
musik tersebut melalui radio, televisi, film, CD, dan lain sebagainya. Gemar musik “rap”
menjadi gaya hidup remaja. Lalu kalau mereka tidak menyukai musik “rap”, dia bukan
remaja. Perilaku seseorang ditentukan oleh gaya hidup orang-orang lain yang ada di
sekelilingnya , bukan oleh dirinya sendiri. Kepribadiannya hilang individualitasnya
lenyap. Itulah manusia modern, demikian menurut pandangan penganut “posmo”.
Intinya, teori peran, pernyataan-harapan, dan posmodernisme memberikan ilustrasi
perspektif struktural dalam hal bagaimana harapan-harapan masyarakat mempengaruhi
perilaku sosial individu. Sesuai dengan perspektif ini, struktur sosial – pola interaksi yang
sedang terjadi dalam masyarakat – sebagian besarnya pembentuk dan sekaligus juga
penghambat perilaku individual. Dalam pandangan ini, individu mempunyai peran yang
pasif dalam menentukan perilakunya. Individu bertindak karena ada kekuatan struktur
sosial yang menekannya.
4. Perspektif Interaksionis (Interactionist Perspective)
Seorang sosiolog yang bernama George Herbert Mead (1934) yang mengajar
psiokologi sosial pada departemen filsafat Universitas Chicago, mengembangkan teori
ini. Mead percaya bahwa keanggotaan kita dalam suatu kelompok sosial menghasilkan
perilaku bersama yang kita kenal dengan nama budaya. Dalam waktu yang bersamaan,
dia juga mengakui bahwa individu-individu yang memegang posisi berbeda dalam suatu
kelompok, mempunyai peran yang berbeda pula, sehingga memunculkan perilaku yang
16
juga berbeda. Misalnya, perilaku pemimpin berbeda dengan pengikutnya. Dalam kasus
ini, Mead tampak juga seorang strukturis. Namun dia juga menentang pandangan bahwa
perilaku kita melulu dipengaruhi oleh lingkungan sosial atau struktur sosial. Sebaliknya
Mead percaya bahwa kita sebagai bagian dari lingkungan sosial tersebut juga telah
membantu menciptakan lingkungan tersebut. Lebih jauh lagi, dia memberi catatan bahwa
walau kita sadar akan adanya sikap bersama dalam suatu kelompok/masyarakat, namun
hal tersebut tidaklah berarti bahwa kita senantiasa berkompromi dengannya.
Mead juga tidak setuju pada pandangan yang mengatakan bahwa untuk bisa
memahami perilaku sosial, maka yang harus dikaji adalah hanya aspek eksternal
(perilaku yang teramati) saja. Dia menyarankan agar aspek internal (mental) sama
pentingnya dengan aspek eksternal untuk dipelajari. Karena dia tertarik pada aspek
internal dan eksternal atas dua atau lebih individu yang berinteraksi, maka dia menyebut
aliran perilakunya dengan nama “social behaviorism”. Dalam perspektif interaksionis ada
beberapa teori yang layak untuk dibahas yaitu Teori Interaksi Simbolis (Symbolic
Interaction Theory), dan Teori Identitas (Identity Theory).
a. Teori Interaksi Simbolis (Symbolic Interaction Theory)
Walau Mead menyarankan agar aspek internal juga dikaji untuk bisa memahami
perilaku sosial, namun hal tersebut bukanlah merupakan minat khususnya. Justru dia
lebih tertarik pada interaksi, di mana hubungan di antara gerak-isyarat (gesture) tertentu
dan maknanya, mempengaruhi pikiran pihak-pihak yang sedang berinteraksi. Dalam
terminologi Mead, gerak-isyarat yang maknanya diberi bersama oleh semua pihak yang
terlibat dalam interaksi adalah merupakan “satu bentuk simbol yang mempunyai arti
penting” ( a significant symbol”). Kata-kata dan suara-lainnya, gerakan-gerakan fisik,
bahasa tubuh (body langguage), baju, status, kesemuanya merupakan simbol yang
bermakna.
Mead tertarik mengkaji interaksi sosial, di mana dua atau lebih individu berpotensi
mengeluarkan simbol yang bermakna. Perilaku seseorang dipengaruhi oleh simbol yang
dikeluarkan orang lain, demikian pula perilaku orang lain tersebut. Melalui pemberian
isyarat berupa simbol, kita mengutarakan perasaan, pikiran, maksud, dan sebaliknya
17
dengan cara membaca simbol yang ditampilkan orang lain, kita menangkap pikiran,
perasaan orang lain tersebut. Teori ini mirip dengan teori pertukaran sosial.
Interaksi di antara beberapa pihak tersebut akan tetap berjalan lancar tanpa gangguan
apa pun manakala simbol yang dikeluarkan oleh masing-masing pihak dimaknakan
bersama sehingga semua pihak mampu mengartikannya dengan baik. Hal ini mungkin
terjadi karena individu-individu yang terlibat dalam interaksi tersebut berasal dari budaya
yang sama, atau sebelumnya telah berhasil memecahkan perbedaan makna di antara
mereka. Namun tidak selamanya interaksi berjalan mulus. Ada pihak-pihak tertentu yang
menggunakan simbol yang tidak signifikan – simbol yang tidak bermakna bagi pihak
lain. Akibatnya orang-orang tersebut harus secara terus menerus mencocokan makna dan
merencanakan cara tindakan mereka.
Banyak kualitas perilaku manusia yang belum pasti dan senantiasa berkembang :
orang-orang membuat peta, menguji, merencanakan, menunda, dan memperbaiki
tindakan-tindakan mereka, dalam upaya menanggapi tindakan-tindakan pihak lain. Sesuai
dengan pandangan ini, individu-individu menegosiasikan perilakunya agar cocok dengan
perilaku orang lain.
b. Teori Identitas (Identity Theory)
Teori Indentitas dikemukakan oleh Sheldon Stryker (1980). Teori ini memusatkan
perhatiannya pada hubungan saling mempengaruhi di antara individu dengan struktur
sosial yang lebih besar lagi (masyarakat). Individu dan masyarakat dipandang sebagai
dua sisi dari satu mata uang. Seseorang dibentuk oleh interaksi, namun struktur sosial
membentuk interaksi. Dalam hal ini Stryker tampaknya setuju dengan perspektif
struktural, khususnya teori peran. Namun dia juga memberi sedikit kritik terhadap teori
peran yang menurutnya terlampau tidak peka terhadap kreativitas individu.
Teori Stryker mengkombinasikan konsep peran (dari teori peran) dan konsep diri/self
(dari teori interaksi simbolis). Bagi setiap peran yang kita tampilkan dalam berinteraksi
dengan orang lain, kita mempunyai definisi tentang diri kita sendiri yang berbeda
dengan diri orang lain, yang oleh Stryker dinamakan “identitas”. Jika kita memiliki
banyak peran, maka kita memiliki banyak identitas. Perilaku kita dalam suatu bentuk
18
interaksi, dipengaruhi oleh harapan peran dan identitas diri kita, begitu juga perilaku
pihak yang berinteraksi dengan kita.
Intinya, teori interaksi simbolis dan identitas mendudukan individu sebagai pihak
yang aktif dalam menetapkan perilakunya dan membangun harapan-harapan sosial.
Perspektif iteraksionis tidak menyangkal adanya pengaruh struktur sosial, namun jika
hanya struktur sosial saja yang dilihat untuk menjelaskan perilaku sosial, maka hal
tersebut kurang memadai.
RANGKUMAN
Telah kita bahas empat perspektif dalam psikologi sosial. Yang dimaksud dengan
perspektif adalah asumsi-asumsi dasar yang paling banyak sumbangannya kepada
pendekatan psikologi sosial. Perspektif perilaku menyatakan bahwa perilaku sosial kita
paling baik dijelaskan melalui perilaku yang secara langsung dapat diamati dan
lingkungan yang menyebabkan perilaku kita berubah. Perspektif kognitif menjelaskan
perilaku sosial kita dengan cara memusatkan pada bagaimana kita menyusun mental
(pikiran, perasaan) dan memproses informasi yang datangnya dari lingkungan . Kedua
perspektif tersebut banyak dikemukakan oleh para psikolog sosial yang berlatar belakang
psikologi.
Di samping kedua perspektif di atas, ada dua perspektif lain yang sebagian besarnya
diutarakan oleh para psikolog sosial yang berlatas belakang sosiologi. Perspektif
struktural memusatkan perhatian pada proses sosialisasi, yaitu proses di mana perilaku
kita dibentuk oleh peran yang beraneka ragam dan selalu berubah, yang dirancang oleh
masyarakat kita. Perspektif interaksionis memusatkan perhatiannya pada proses
interaksi yang mempengaruhi perilaku sosial kita. Perbedaan utama di antara kedua
perspektif terakhir tadi adalah pada pihak mana yang berpengaruh paling besar terhadap
pembentukan perilaku. Kaum strukturalis cenderung meletakan struktur sosial (makro)
sebagai determinan perilaku sosial individu, sedangkan kaum interaksionis lebih
memandang individu (mikro) merupakan agen yang aktif dalam membentuk perilakunya
sendiri.
Karena banyaknya teori yang dikemukakan untuk menjelaskan perilaku sosial maka
seringkali muncul pertanyaan : “Teori mana yang paling benar ?” atau “teori mana yang
19
terbaik?” . Hampir seluruh psikolog sosial akan menjawab bahwa tidak ada teori yang
salah atau yang paling baik, atau paling jelek. Setiap teori mempunyai keterbatasan dalam
aplikasinya. Misalnya dalam mempelajari agresi (salah satu bentuk perilaku sosial), para
behavioris bisa memusatkan pada pengalaman belajar yang mendorong terjadinya
perilaku agresif – pada bagaimana orang tua, guru, dan pihak-pihak lain yang memberi
perlakuan positif pada perilaku agresif. Bagi yang tertarik pada perspektif kognitif maka
obyek kajiannya adalah pada bagaimana seseorang mempersepsi, interpretasi, dan
berpikir tentang perilaku agresif. Seorang psikolog sosial yang ingin menggunakan teori
medan akan mengkaji perilaku agresif dengan cara melihat hubungan antara karakteristik
individu dengan situasi di mana perilaku agresif tersebut ditampilkan. Para teoritisi
pertukaran sosial bisa memusatkan pada adanya imbalan sosial terhadap individu yang
menampilkan perilaku agresif. Jika memakai kacamata teori peran, perilaku agresif atau
tidak agresif ditampilkan oleh seseorang karena harapan-harapan sosial yang melekat
pada posisi sosialnya harus dipenuhi.
Demikianlah, setiap teori bisa digunakan untuk menjadi pendekatan yang efektif tidak
untuk semua aspek perilaku. Teori peran lebih efektif untuk menjelaskan perilaku X
dibanding dengan teori yang berperspektif kognitif, misalnya.
Buku Acuan :
Theories of Social Psychology – Marvin E. Shaw / Philip R. Costanzo, Second Edition,
1985, McGraw-Hill, Inc.
Thinking Sociologically, Sheldon Goldenberg, 1987, Wadsworth, Inc.
Social Psychology, James A. Wiggins, Beverly B. Wiggins, James Vander Zanden, Fifth
Edition, 1994, McGraw-Hill, Inc.
Sociology, Concepts and Uses , Jonathan H. Tuner, 1994. McGraw-Hill Inc.
20
Social Psychology, Kay Deaux, Lawrence S. Wrightsman, Fifth Edition, 1988,
Wadsworth, Inc.
from:http://makalahkumakalahmu.wordpress.com/2009/04/01/perspektif-dalam-psikologi-sosial/
Langganan:
Postingan (Atom)