Kamis, 11 Maret 2010

IAIN dan Masa Depan Islam Indonesia

Memasuki abad ke-21 bangsa Indonesia dihadapkan pada berbagai tantangan besar berskala global. Sebagian besar tantangan itu muncul dari proses globalisasi yang terjadi sejak paruhan kedua abad ke-20 dan diperkirakan semakin intensif pada abad mendatang. Globalisasi tidak hanya mendorong terjadinya transformasi peradaban dunia melalui proses modernisasi, industrialisasi, dan revolusi informasi. Lebih dari itu juga akan menimbulkan perubahan-perubahan dalam struktur kehidupan bangsa-bangsa dunia, termasuk Indonesia. Memasuki abad baru bangsa Indonesia diperkirakan akan mengalami perubahan-perubahan serba cepat dalam berbagai bidang kehidupan, baik sosial, budaya, ekonomi, maupun politik, maupun pendidikan.

Berkaitan dengan perubahan-perubahan itu, lembaga-lembaga pendidikan Islam, terutama IAIN sebagai lembaga pendidikan tinggi, perlu mengambil langkah-langkah strategis agar dapat melakukan antisipasi. Tulisan ini ingin menguraikan IAIN dan harapan-harapan yang ditumpukan kepadanya. Di samping itu, yang tidak kalah pentingnya, adalah mencoba melihat kaitan antara IAIN dengan masa depan Islam di Indonesia. Hal ini perlu dilakukan agar dalam perkembangannya IAIN tidak ketinggalan dibandingkan dengan perguruan tinggi lain, baik pada taraf lokal, regional maupun internasional.

IAIN Selintas Sejarah

Pendidikan merupakan salah satu wilayah perhatian (area of concern) gerakan-gerakan yang berlangsung di seluruh dunia Islam. Tokoh-tokoh gerakan Islam, seperti Muhammad Abduh di Mesir dan Sayyid Ahmad Khan di Anak Benua India menjadikan pendidikan sebagai agenda utama gerakan pembaruan Islam yang mereka canangkan. Sejak awal abad ke-19 sampai awal abad ke-20 hampir di seluruh dunia Islam berdiri lembaga-lembaga pendidikan yang bercorak modern. Tidak hanya itu, lembaga-lembaga pendidikan Islam tradisional juga mengalami transformasi menjadi lembaga-lembaga pendidikan modern. Di Anak Benua India, Sayyed Ahmad Khan mendirikan Universitas Alighar yang sepenuhnya mengadaptasi sistem pendidikan Universitas Oxford di Inggris. Sedangkan di Mesir, Muhammad Abduh berusaha mentransformasikan Universitas al-Azhar dengan memasukkan ilmu-ilmu modern.

Hampir secara serentak di seluruh dunia Islam telah muncul kesadaran akan pentingnya pendidikan. Kaum Muslim tidak hanya memandang pendidikan sebagai sarana untuk meningkatkan kualitas sumber daya manusia, tetapi juga sarana untuk mentransmisikan doktrin Islam kepada generasi mendatang. Kesadaran yang semakin menguat itu juga tumbuh di kalangan kaum Muslim terpelajar di Indonesia. Untuk sebagian kesadaran itu disebabkan oleh semakin intensifnya interaksi dan koneksi antara pusat-pusat studi di Timur Tengah, seperti Haramayn dan Kairo, dengan kelompok-kelompok terpelajar Muslim di Indonesia. Sedangkan sebagian lainnya adalah karena kuatnya desakan keadaan untuk melawan kolonialisme. Sejarah mencatat munculnya lembaga-lembaga pendidikan modern di Indonesia, terutama pada awal abad ke-19 dan awal abad ke-20.

Berkaitan dengan lembaga-lembaga pendidikan di Timur Tengah, masyarakat Muslim Indonesia sebenarnya telah menjalin hubungan sejak lama. Jauh sebelum Indonesia merdeka, masyarakat Muslim Indonesia telah menjadikan Timur Tengah, khususnya Mekkah dan Madinah (Haramain), dan pada tingkat tertentu Mesir, sebagai pusat studi Islam. Di kalangan sebagian masyarakat bahkan muncul pandangan bahwa mencari ilmu (thalab al-ilm) di Timur Tengah mempunyai nilai sakral dibandingkan dengan mencari ilmu di tempat lain. Tak heran jika minat masyarakat Muslim untuk melanjutkan studinya di Timur Tengah semakin lama tidak kian surut, sebaliknya malah semakin besar.

Minat untuk belajar di Timur Tengah itu pertama-tama diwujudkan dengan berangkat sendiri ke Timur Tengah, baik dengan tujuan khusus untuk mencari ilmu maupun naik haji. Tidak sedikit kaum Muslim Indonesia yang "muqim" di tanah suci ketika musim haji telah berakhir. Kondisi demikian itulah yang secara berturut-turut melahirkan tokoh-tokoh terkemuka seperti Abdurauf al-Sinkili dan Muhammad Yusuf al-Makasari (abad ke-17); Abdus Somad al-Palimbani, Arsyad al-Banjari, Akhmad Khatib Minangkabau, Nawawi al-Bantani (abad ke-18 dan 19); Ahmad Dahlan, Wahid Hasyim, Abdul Wahab Hasbullah, Abdul Halim Majalengka, Mahmud Yunus (abad ke-20). Hal itu tidak hanya menunjukkan besarnya minat belajar agama di Timur Tengah, tetapi juga menunjukkan besarnya arti pusat-pusat studi di Timur Tengah di kalangan masyarakat Muslim Indonesia.

Sebagaimana lembaga-lembaga pendidikan Islam lain, kelahiran Institut Agama Islam Negeri (IAIN) juga dapat ditelusuri dari perspektif di atas. Lebih khusus lagi kehadiran IAIN tidak bisa dipisahkan dari semakin besarnya jumlah alumni Timur Tengah di Indonesia yang diikuti oleh semakin kuatnya kesadaran di kalangan masyarakat Muslim untuk memiliki perguruan tinggi sendiri. Besarnya jumlah alumni Timur Tengah tidak hanya membawa perubahan-perubahan dalam paham keagamaan masyarakat, lebih dari itu juga memotivasi masyarakat untuk menuntut ilmu ke Timur Tengah. Akan tetapi, tidak semua lapisan masyarakat, terutama karena alasan ekonomi, memiliki kesempatan untuk melanjutkan studi ke Timur Tengah.

Pada saat yang sama, seiring dengan semakin besarnya kesadaran masyarakat Muslim akan arti pendidikan, muncul gagasan untuk mendirikan perguruan tinggi Islam. Gagasan itu dilatarbelakangi oleh berbagai faktor. Antara lain, pertama dimaksudkan untuk mengakomodasi kalangan yang tidak memiliki kesempatan melanjutkan studi ke Timur Tengah. Kedua, keinginan untuk mewujudkan lembaga pendidikan Islam lanjutan pascapesantren dan madrasah. Ketiga, keinginan untuk menyeimbangkan jumlah kaum terpelajar tamatan sekolah "sekuler" dengan tamatan sekolah agama. Tidak heran jika gagasan itu tidak hanya datang dari kalangan agamawan (ulama), tetapi juga muncul dari kalangan terpelajar Muslim tamatan sekolah "sekuler".

Sejarah mencatat bahwa gagasan tentang perlunya perguruan tinggi Islam itu datang dari Dr. Satiman Wirjosandjojo. Satiman bahkan sempat mendirikan Yayasan Pesantren Luhur pada 1938, meskipun akhirnya gagal karena intervensi penjajah Belanda. Pada 1940 di Sumatera Barat sejumlah guru Muslim mendirikan Sekolah Tinggi Islam (STI), meskipun hanya bertahan dua tahun karena pendudukan Jepang. Upaya yang sama juga dilakukan oleh sejumlah tokoh nasional seperti Muhammad Hatta, Muhammad Natsir, KHA. Wahid Hasyim, dan KH. Mas Mansyur. Tokoh-tokoh tersebut pada 8 Juli 1945 berhasil mendirikan STI di Yogyakarta di bawah pimpin Abdul Kahar Mudzakkir. Ketika revolusi kemerdekaan, STI terpaksa ditutup, namun dibuka kembali pada 6 April 1946. Selanjutnya, pada 2 Maret 1948 STI berganti nama menjadi Universitas Islam Indonesia (UII) dengan mengembangkan empat fakultas, yaitu Fakultas Agama, Fakultas Hukum, Fakultas Ekonomi, dan Fakultas Pendidikan.

Secara formal, pendirian lembaga pendidikan tinggi Islam baru dapat direalisasikan oleh pemerintah pada 1950 di Yogyakarta. Pada saat itu pemerintah mengubah status Universitas Gadjah Mada menjadi universitas negeri-sesuai dengan PP No. 37/1950-yang diperuntukkan bagi golongan nasionalis; pada saat yang sama, kepada kelompok Islam diberikan Perguruan Tinggi Agama Islam Negeri (PTAIN) dengan mengubah status Fakultas Agama UII. Setelah itu, Departemen Agama mendirikan Akademi Dinas Ilmu Agama di Jakarta pada 1 Juni 1957, sebagai lembaga yang mendidik dan menyiapkan pegawai negeri dengan kemampuan akademik dan semi akademik tingkat diploma sebagai guru agama di SLTP.

Selama satu dekade, jumlah mahasiswa PTAIN semakin banyak. Mahasiswa itu tidak hanya datang dari seluruh tanah air, tetapi juga dari negara tetangga, terutama Malaysia. Berdasarkan perkembangan-perkembangan itu, dan pertimbangan lain yang bersifat akademis, pada 24 Agustus 1960 Presiden mengeluarkan PP No. 11 yang menggabungkan PTAIN dan ADIA dengan nama baru, yaitu Institut Agama Islam Negeri (IAIN). Sejak saat itulah secara berturut-turut di beberapa wilayah propinsi Indonesia berdiri IAIN sebagai sarana bagi masyarakat Muslim untuk mendapatkan pendidikan tinggi dalam bidang Islam. Hingga saat ini terdapat 14 IAIN dan 35 STAIN yang tersebar di seluruh wilayah Indonesia.

Masih Bersifat Tradisional

Melihat sejarah IAIN, yang dipaparkan secara sangat singkat itu, tampak bahwa IAIN merupakan lembaga pendidikan tinggi agama yang diarahkan untuk mencetak intelektual-kyai atau kyai-intelektual. Studi Islam (Islamic studies) merupakan wilayah kajian IAIN dari sejak lembaga itu pertama kali didirikan hingga sekarang ini. Di satu sisi kuatnya studi Islam di IAIN telah menjadi ciri khas lembaga pendidikan ini. Namun, di sisi lain hal itu telah menimbulkan munculnya persepsi di kalangan masyarakat Muslim bahwa IAIN lebih merupakan lembaga agama, bahkan lembaga dakwah, daripada lembaga akademik. Hal itu antara lain tercermin dalam harapan masyarakat Muslim terhadap IAIN, terutama alumni IAIN, untuk lebih memainkan peran sebagai ulama daripada ilmuwan. Padahal sebagai lembaga pendidikan tinggi Islam, IAIN sebenarnya dimaksudkan sebagai pusat riset bagi pengembangan ilmu-ilmu keislaman. Cita-cita ini hanya mungkin diwujudkan dengan mempertguh posisi IAIN sebagai lembaga akademis.

Harapan terhadap IAIN sebenarnya dapat dikategorikan menjadi dua kelompok. Pertama, harapan yang bersifat sosial (social expectations). Kedua, harapan yang bersifat akademik (academic expectations). Setelah berlangsung lebih dari lima dekade, dengan berbagai perubahan baik pada tingkat nasional maupun global, tampak bahwa harapan yang bersifat sosial itu lebih kuat dibandingkan dengan harapan yang bersifat akademik. Padahal keduanya merupakan satu kesatuan yang ingin diwujudkan oleh IAIN.

Masyarakat menginginkan alumni IAIN, tidak hanya memahami doktrin Islam, lebih dari itu juga melaksanakan-bahkan mampu menjadi pemimpin-dalam ibadah mahdlah dan kegiatan-kegiatan sosial-keagamaan. Dalam shalat berjamah, mahasiswa atau alumni IAIN diharapkan mampu menjadi imam; dalam kegiatan sosial keagamaan, mahasiswa atau alumni IAIN diharapkan mampu membaca doa dan seterusnya. Masyarakat mamandang bahwa bidang-bidang kegiatan tersebut merupakan otoritas IAIN.

Harapan peran (role expectations) tersebut sudah melekat, bahkan menjadi jati diri IAIN. Lebih jauh masyarakat bahkan mengasumsikan setiap mahasiswa atau alumni IAIN adalah pribadi-pribadi yang taat menjalankan ibadah dengan "baik dan teratur serta berakhlak mulai". Mereka akan merasa "aneh dan janggal" menemukan mahasiswa atau alumni IAIN tidak mampu menjalankan peran yang mereka harapkan. Jelas bahwa masyarakat tidak banyak mengetahui IAIN sebagai lembaga akademis dengan berbagai fakultas dan jurusan yang tidak selamanya mencetak ulama.

Harapan peran semacam itu tidak hanya datang dari kalangan masyarakat awam. Kalangan tokoh agama dan organisasi-organisasi keagamaan juga menaruh harapan yang sama. Mereka berharap lulusan IAIN muncul menjadi kader-kader pimpinan umat atau pun "ulama muda" dan organisator. Mereka menginginkan agar alumni IAIN mempunyai kemampuan untuk menggerakkan berbagai lembaga dan organisasi Islam baik dalam bidang dakwah, kemasyarakatan, ekonomi, maupun politik. Dengan demikian, masjid yang jumlahnya ratusan ribu, juga majelis-majelis taklim, lembaga dakwah, lembaga Bazis dan berbagai organisasi Islam akan menjadi pusat-pusat pemberdayaan umat yang digerakkan oleh para alumni IAIN.

Selanjutnya dari kalangan pemerintah harapan peran yang muncul tidak jauh berbeda. Pemerintah berharap-sesuai dengan tujuan awal pendirian lembaga ini-alumni IAIN mampu menjadi "administratur Islam". Mereka diharapkan mampu mengelola administrasi pemerintah dan swasta, khususnya yang berkaitan dengan kelembagaan Islam. Antara lain, unit kantor Departemen Agama, pesantren, masjid, majelis taklim dan berbagai unit kelembagaan Islam lainnya. Di samping sebagai administratur, pemerintah juga berharap juga lulusan IAIN mampu menjadi pembina rohani di lembaga-lembaga pemerintah dan swasta seperti di kantor-kantor, rumah sakit, panti jompo dan sebagainya.

Orang tua yang menyekolahkan anaknya di IAIN juga menaruh semangat harapan yang sama. Mereka ingin agar anaknya menjadi "ulama" dalam arti mempunyai pengetahuan dan pemahaman agama yang cukup, melaksanakan ajaran agama dan mampu memberi bimbingan agama serta berakhlak yang baik. Selanjutnya setelah tamat mendapat pekerjaan yang "layak". Demikian besarnya harapan orang tua ini sehingga beberapa mahasiswa mengaku masuk IAIN bukan atas kemauannya sendiri, melainkan lebih didorong oleh kemauan orang tuanya.

Karena masih berkutat di sekitar social expectations, dapat dikatakan bahwa harapan terhadap IAIN tersebut secara umum bersifat tradisional. Tidak jauh beranjak dari harapan yang ditumpukan kepada lembaga-lembaga pendidikan Islam tradisional. Sebagaimana diketahui, masyarakat Muslim meletakkan harapan terhadap lembaga-lembaga pendidikan Islam pada fungsi-fungsi strategis yang dimainkannya. Di antara fungsi strategis itu adalah: pertama, sebagai media penyampai pengetahuan agama (transfer of Islamic knowledge). Kedua, sebagai media pemelihara tradisi Islam (maintenance of Islamic tradition). Ketiga, sebagai media "pencetak" ulama (reproduction of ulama). Tampaknya, fungsi-fungsi strategis itulah yang sampai saat ini masih diharapkan oleh kebanyakan masyarakat Muslim Indonesia terhadap IAIN.

IAIN sendiri, sejauh yang dapat dilihat, masih kuat berpegang teguh pada upaya memenuhi harapan-harapan yang bersifat sosial. Hal ini antara lain terbukti dengan model kajian keislaman yang sebagian besar masih bersifat normatif; praktik ibadah dan praktikum membaca al-Qur'an masih menjadi kewajiban setiap mahasiswa IAIN. Kajian-kajian yang bersifat historis dan sosiologis terhadap Islam dan masyarakat Muslim masih sangat terbatas, baik dari kauantitas maupun cakupan wilayah. Kalaupun terdapat kajian sejarah dan kebudayaan Islam, fokus utamanya adalah sejarah Islam abad pertengahan dengan model kajian sejarah dinasti atau kerajaan. Kajian sejarah sosial belum banyak dikenal, atau baru bersifat rintisan. Tidak heran jika mahasiswa IAIN tidak banyak mengenal masyarakat Muslim Asia Tenggara, bahkan Indonesia sendiri. Mahasiswa IAIN lebih mengenal Islam secara normatif ditambah sejarah Islam pada masa klasik saja.

Globalisasi dan Otonomi:

Antara Tantangan dan Peluang

Sejalan dengan perubahan tantangan yang dihadapi, harapan-harapan terhadap IAIN yang sepenuhnya berorientasi pada social expectations tidak lagi mencukupi. Bukan hanya karena sifatnya yang tradisional, tetapi juga karena orientasi harapan seperti itu tidak sejalan, baik dengan tantangan global maupun pengembangan IAIN sendiri di masa depan menyongsong otonomi perguruan tinggi. Menghadapi tantangan global, harapan yang bersifat akademis (academic expectations) harus lebih mendapat perhatian. Di masa depan IAIN harus lebih berkembang sebagai lembaga akademis daripada lembaga keagamaan dan dakwah. Atau minimal antara porsi sebagai lembaga keagamaan dan lembaga akademis mendapat porsi yang seimbang.

Hal itu karena dalam era globalisasi, sebagaimana dikatakan para pengamat sosial, terjadi revolusi informasi yang ditandai oleh tingginya prestasi umat manusia dalam teknologi informatika. Pada gilirannya hal ini tidak hanya membawa kemudahan-kemudahan dalam proses komunikasi antarbangsa-bangsa, tetapi juga diperkirakan akan memicu munculnya akulturasi asimetris, yaitu pola hubungan yang timpang antara negara-negara maju dan negera-negara berkembang. Dalam pola hubungan ini negara-negara maju akan mendominasi negara-negara berkembang tidak hanya dalam bidang ekonomi dan teknologi, tetapi juga dalam bidang-bidang kehidupan yang lain, seperti politik, militer, budaya, dan pendidikan. Perkembangan-perkembangan tersebut, tidak dapat dielakkan, akan memicu munculnya persaingan antarbangsa yang semakin keras dan tajam. Bangsa yang tidak memiliki daya saing dan keunggulan bukan mustahil akan terpelanting di pentas internasional.

Di samping itu, beberapa aspek tantangan diperkirakan akan mengikuti globalisasi. Pertama, globalisasi akan melahirkan tingkat kompetisi yang sangat tinggi dalam kehidupan masyarakat atau bangsa. Dalam situasi semacam ini kualitas atau mutu akan menjadi pertimbangan bagi masyarakat dalam memilih produk barang atau jasa. Kedua, penguasaan ilmu dan teknologi sangat penting untuk menghasilkan produk barang atau jasa sesuai tuntutan (kualitas) pasar. Hal ini dapat terwujud apabila suatu masyarakat atau bangsa menguasai ilmu dan teknologi. Ketiga, sebagai implikasi akan muncul neoimperialisme dari suatu bangsa kepada bangsa lain dilihat dari penguasaan ilmu pengetahuan dan teknologi. Bangsa yang menguasai ilmu pengetahuan dan teknologi cenderung menekan bangsa yang lain. Keempat, kondisi yang kompetitif dan terbukanya arus informasi antarnegara akan memungkinkan setiap bangsa untuk memperoleh informasi dengan cepat tentang ilmu pengetahuan yang dapat dimanfaatkan untuk melahirkan karya-karya inovatif bagi kesinambungan kehidupan bermasyarakat. Tidak jarang, arus informasi dapat saja memberikan implikasi yang berseberangan dengan nilai atau norma yang dianut oleh masyarakat-seperti nilai-nilai agama dan budaya. Globalisasi juga akan mempercepat transformasi masyarakat dari masyarakat tradisional menjadi masyarakat modern; dari masyarakat agraris menjadi masyarakat industri. Transformasi sosial ini jelas akan menimbulkan implikasi terhadap nilai-nilai agama.

Pada saat yang bersamaan institusi pendidikan tinggi seperti IAIN juga dihadapkan pada tantangan otonomi perguruan tinggi yang rencananya akan diterapkan pada 2003. Pelaksanaan otonomi penyelengaraan pendidikan merupakan konsekuensi dari UU No. 22 tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah dan UU No. 25 tahun 1999 tentang Perimbangan Keuangan antara pemerintah Pusat dan Daerah. Konsep otonomi perguruan tinggi menuntut lembaga-lembaga pendidikan tinggi tidak hanya memiliki kemampuan finansial, tetapi juga secara berkelanjutan melakukan peningkatan kualitas. Hanya perguruan tinggi berkualitas yang akan sanggup menciptakan kegiatan-kegiatan produktif, dan pada gilirannya menyokong kemampuan finansial perguruan tinggi bersangkutan. Lebih jauh, sesuai dengan PP No. 61 tahun 1999, perguruan tinggi bahkan dimungkinkan menjadi suatu badan hukum.

Sementara itu, perlu ditegaskan-sebagai titik tolak dalam pengembangan-bahwa perguruan tinggi di Indonesia, termasuk IAIN, secara umum masih rendah secara kualitas, khususnya dibandingkan lembaga serupa di kawasan regional. Menurut sebuah survei (1997), perguruan tinggi di Indonesia, baik negeri maupun swasta, tidak ada yang masuk dalam ranking perguruan tinggi berkualitas di wilayah Asia. Dari 50 perguruan tinggi yang terdapat dalam survei itu, hanya empat perguruan tinggi yang berasal dari Indonesia, itupun tidak masuk dalam kelompok 15 besar; ITB berada pada peringkat ke-19, UI peringkat ke-32, UGM peringkat ke-37, Universitas Erlangga peringkat ke-38 dan Undip peringkat ke-42. Hal ini menunjukkan bahwa perguruan tinggi di Indonesia, termasuk IAIN, masih jauh dari siap mengadapi kompetisi berskala regional, apalagi internasional. masih jauh dari berkualitas, dan karenanya masih belum siap menjadi otonom.

Berhadapan dengan tantangan tersebut, kalangan IAIN harus lebih menonjolkan academic expectations. Di kalangan IAIN sendiri harus dibangun kesadaran bahwa mengantarkan IAIN menjadi lembaga akademis adalah lebih penting daripada mempertahankan IAIN sebagai lembaga keagamaan atau dakwah. Dalam kaitan ini, terdapat beberapa agenda yang harus mendapat perhatian. Pertama, meningkatkan kualitas Sumber Daya Manusia (SDM); dosen dan karyawan IAIN, termasuk karyawan di lingkungan Depag. Kedua, membuka jaringan kerjasama (network), baik dengan universitas-universitas dan pusat-pusat studi di dalam maupun di luar negeri. Jaringan kerjasama juga harus dibangun dengan lembaga-lembaga pendidikan Islam yang lain, terutama pesantren dan madrasah. Ketiga, memperluas wacana keilmuan-tidak terbatas pada kajian Islam yang bercorak normatif; tidak hanya membuka horison sosiologis dan antropologis dalam kajian-kajian Islam, tetapi juga membuka bidang-bidang pengetahuan yang selama ini jauh dari IAIN.

Berkaitan dengan agenda pertama, sejak dekade 80-an IAIN secara sistematik telah mengirimkan dosen-dosen terbaiknya untuk melanjutkan studi di luar negeri, baik untuk jenjang S2 maupun S3. Hal ini terjadi melalui program pembibitan calon dosen yang diprakarsai oleh Menteri Agama Munawir Sjadzali. Namun, jauh sebelum itu, IAIN juga telah mengirimkan dosen-dosennya ke luar negeri. Mereka itu secara bergelombang telah kembali ke IAIN dan membawa sejumlah perubahan penting. Dimulai dari A. Mukti Ali yang memperkenalkan pendekatan baru dalam studi-studi agama (comparative study of religion), Harun Nasution yang memperkenalkan kajian keislaman yang tidak terikat pada madzhab, Muljanto Sumardi yang mengawali penelitian-penelitian keagamaan bercorak empiris, dan sebagainya. Demikianlah secara bergelombang para alumni universitas Barat itu memprakarsai dan mengubah performance IAIN dari lembaga keagamaan dan dakwah menjadi lembaga akademis.

Di tingkat pegawai administrasi dan perpustakaan, melalui McGill Project, IAIN telah mengirimkan para pegawai administrasi dan perpustakaan untuk mengikuti pelatihan-pelatihan, baik yang diselenggarakan di Indonesia maupun Kanada. Pelatihan-pelatihan itu tidak hanya dimaksudkan untuk memperbaiki kinerja administrasi IAIN, lebih dari itu juga adalah meningkatkan kualitas sumber daya manusia IAIN di segala lini, terutama perpustakaan yang merupakan jantung sebuah perguruan tinggi.

Sementara itu, agenda kedua-menjalin kerjasama dengan lembaga-lembaga pendidikan lain-belum secara maksimal dilakukan. Sejauh yang dapat dilihat, kerjasama dengan univesitas-universitas di dalam negeri belum banyak dilakukan oleh IAIN sehingga komunikasi kelembagaan antara IAIN dengan universitas-universitas di sekitarnya tidak maksimal. Kerjasama dengan universitas atau pusat kajian di luar negeri juga tergarap secara baik. McGill Project tampaknya merupakan satu-satunya kerjasama yang hingga sekarang masih berlangsung. Padahal dengan meningkatnya jumlah alumni luar negeri yang bersamaan dengan semakin besarnya minat para peneliti luar negeri terhadap Islam Indonesia sebenarnya merupakan potensi bagi terciptanya jaringan kerjasama itu. Mereka tinggal melakukan kontak-kontak dengan lembaga-lembaga riset yang ada di almamaternya, dan menawarkan kerjasama yang mungkin dilakukan. Akan tetapi, penting ditegaskan bahwa jaringan kerjasama itu hanya mungkin terlaksana secara proporsional jika di lingkungan IAIN terdapat lembaga riset yang berkualitas. Jika lembaga semacam itu belum dimiliki, atau jika IAIN masih dalam kondisi objektifnya sekarang, yang terjadi adalah kerjasama yang tidak seimbang.

Agenda ketiga, memperluas cakrawala keilmuan, sebenarnya sudah menjadi agenda IAIN sejak lama. Sejak dekade 80-an, kalangan ahli pendidikan, baik di lingkungan Departemen Agama maupun IAIN, sudah mempunyai gagasan untuk mentransformasikan IAIN menjadi universitas. Transformasi itu pertama-tama dimaksudkan untuk memperluas cakrawala keilmuan IAIN; tidak hanya berkutat dengan ilmu-ilmu keislaman, tetapi juga memasuki ilmu-ilmu lain, termasuk bidang eksakta. Dengan demikian, IAIN akan menjadi center of exellance di lingkungan lembaga pendidikan Islam, khusunya dan di lingkungan universitas di Indonesia umumnya. Sebagai langkah awal, kalangan IAIN, khususnya IAIN Jakarta dan Yogyakarta, telah mempersiapkan diri dengan konsep "IAIN with wider mandate". Beberapa di antaranya bahkan telah membukan jurusan-jurusan umum seperti psikologi, sosiologi, dan politik Islam. Agenda-agenda tersebut sangat strategis dan akan membuka cakrawala IAIN sebagai salah satu perguruan tinggi yang diperhitungkan di negeri ini.

IAIN dan Masa Depan Islam Indonesia

Di kalangan para pengamat keislaman (Islamisis), Asia Tenggara merupakan wilayah kajian Islam yang menarik. Jumlah penduduk Muslim Asia Tenggara yang besar menjadi salah satu kekuatan Islam yang patut diperhitungkan. Letaknya memang jauh dari pusat-pusat Islam di Timur Tengah-Indonesia bahkan paling jauh-, tetapi model keberagamaan yang cenderung sinkretik dan kurang agresif, telah menyebabkan wilayah ini menjadi pusat perhatian kalangan Islamisis. Sejumlah Islamisis seperti Anthony Reid, John L. Esposito, Mark R. Woodward, Robert W. Hefner, dan sebagainya semakin menaruh minat besar terhadap Islam di Asia Tenggara, khususnya Indonesia. Clifford Geertz, dalam komentar-komentar restrospektifnya mengenai mengenai lebih dari empat dekade penelitian dan refleksinya tentang masyarakat dan agama di Indonesia dan Maroko, mengakui bahwa studi-studi tentang Indonesia telah mengembangkan paradigma baru yang berpusat pada Islam.

Secara geografis Asia Tenggara memang berbeda dengan kawasan Islam lainnya. Nurcholis Madjid membagi dunia Islam ke dalam dua kawasan, pertama kawasan wilayah Islam Arab yang berbasis gurun dan kawasan Islam Asia Tengah yang berbasis savanah. Sementara itu kawasan Islam Asia Tenggara, terutama Indonesia, yang berbasis kepulauan dan tanah yang subur itu tidak termasuk dalam peta wilayah Islam. Perbedaan lingkungan tersebut sangat mempengaruhi corak keberagamaannya. Misalnya saja kecenderungan masyarakat agraris yang lebih mengutamakan solidaritas kelompok-kelompok sosial menyebabkan mereka lebih toleran atau terbuka dengan perbedaan-perbedaan. Hal itu menyebabkan Islam Asia Tenggara lebih siap untuk berhadapan dengan perbedaan budaya dengan sikap yang toleran dan terbuka. Tidak kurang dari Fazlur Rahman, pencetus gerakan neomodernisme Islam, ketika berkunjung ke Indonesia mengungkapkan rasa optimisme bahwa kebangkitan Islam akan mulai dari Indonesia. Optimisme Fazlur Rahman itu tidak berlebihan karena bukan saja umat Islam Indonesia dari segi jumlah adalah terbesar di dunia. Lebih dari itu, keberagamaan yang berkembang di Indonesia bercorak inklusif. Model keberagamaan eksklusif atau fundamentalis tidak banyak mempunyai pengikut di wilayah ini.

IAIN sebagai lembaga pendidikan tinggi Islam, jelas mempunyai kontribusi terhadap model keberagamaan masyarakat Muslim Indonesia. Studi Islam yang dikembangkan di IAIN tidak hanya mendukung model keberagamaan inklusif di kalangan masyarakat Muslim Indonesia, lebih dari itu juga menciptakan kerukunan antarumat beragama di Indonesia. Teologi inklusif dirintis perkembangannya oleh Harun Nasution dengan membukan mata kuliah teologi Islam yang bercorak non-madzhab dan bersemangat toleran. Konsep ini selanjutnya dimatangkan oleh Nurcholish Madjid dalam berbagai tulisan dan ceramahnya. Sedangkan konsep kerukunan antarumat beragama dirintis perkembanganya oleh A. Mukti Ali, baik semasa menjadi Menteri Agama maupun ketikan mengajar di IAIN Yogyakarta. Sementara itu tentang sumbangan Muslim Indonesia tentang wacan Islamisasi ilmu pengetahuan juga tampak. Muslim Abdurrahman dengan konsepnya Islam transformatif mencoba menggagas penerjemahan nilai normatif Islam ke dalam sebuah ideologi transformasi. Kuntowijoyo dengan konsep ilmu sosial prophetik adalah sebuah ide yang penting dalam proses pencarian konsep Islamisasi ilmu pengetahuan yang sesuai dengan proses perkembangan sejarah maupun budaya. Di bidang lain, munculnya pemikir Islam semisal Quraish Shihab, Ayumardi Azra, dan Jalaludin Rahmat, untuk menyebut beberapa orang, mengindikasikan keterlibatan Muslim Indonesia dengan wacana keislaman terlebih dengan wacana global dunia.

Beberapa intelektual Muslim yang disebutkan, tidak hanya mempunyai kaitan dengan IAIN, sebagian besar mereka adalah alumni IAIN. Dalam konteks inilah optimisme Fazlur Rahman bukan semata-mata pujian kosong, tetapi lebih merupakan harapan yang didasarkan pada realitas kehidupan keberagamaan di negeri ini. Namun harus segera dikatakan bahwa optimisme itu hanya tinggal otimisme jika tidak terdapat dukungan dari berbagai kalangan, baik kalangan intelektual maupun lembaga pendidikan, untuk mewujudkannya. IAIN sebagai lembaga pendidikan tinggi Islam bersatus negeri jelas sangat strategis dalam turut serta mewujudkan optimisme tersebut. Karena itu, tidak berlebihan jika dikatakan bahwa kualitas IAIN akan menentukan corak perkembangan Islam Indonesia di masa depan.

Mewujudkan Islam Indonesia yang ramah dan damai, alumni IAIN tidak hanya harus memiliki dasar pengetahuan (basic competancy) dalam bidang agama guna memenuhi harapan yang bersifat sosial. Lebih dari itu juga harus memiliki kaulifikasi sebagai insan akademis. Di sini tamatan IAIN dituntut memiliki wawasan teoritis dan dan ketrampilan yang dibutuhkan dalam era globalisasi. Departemen Agama sendiri telah mengambil langkah-langkah ke arah terwujudnya tuntutan tersebut. Hal ini antara lain tampak dalam rencana peningkatan IAIN menjadi universitas yang dimulai dengan memberikan mandat yang lebih luas kepada IAIN tertentu (IAIN with wider mandate).

Penutup

IAIN memang harus berani meneguhkan dirinya tidak semata-mata lembaga dakwah, tetapi lembaga akademis. IAIN harus mensosialisasikan kepada masyarakat luas bahwa harapan-harapan yang bersifat akademis harus mendapat porsi yang lebih besar daripada harapan-harapan yang bersifat sosial. Di samping itu, dari segi kurikulum IAIN juga harus berani melakukan restrukturisasi. Sebagai pusat keilmuan dan penelitian Islam, disiplin keagamaan selain lebih menekuni bidang-bidang kajian Islam, hendaknya juga mencakup penguasaan kerangka teori ilmu-ilmu umum.

Dengan mereorientasi diri sebagaimana disebutkan, IAIN dapat membuka berbagai profesi yang dibutuhkan masyarakat. Di samping itu, yang tidak kalah pentingnya adalah lebih meneguhkan dirinya sebagai lembaga akademis. Bagi mahasiswa IAIN yang berminat menjadi "ulama", dapat mengambil berbagai program studi khusus seperti program studi al-Qur'an, program studi Hadits, program studi Fiqh dan sebagainya. Bagi yang ingin menjadi "ilmuwan/saintis", dapat mengambil program studi umum seperti psikologi, ekonomi, teknik, MIPA bahkan kedokteran sekalipun.

IAIN harus terus-menerus melakukan reorientasi diri agar tidak tertinggal dibandingkan dengan dengan lembaga-lembaga pendidikan tinggi lain. Jika berhenti melakukan reorientasi dan refleksi, maka IAIN bukan hanya akan ditingggalkan oleh masyarakat Muslim, lebih dari itu perannya dalam ikut serta membangun kehidupan agama yang inklusif di Indonesia hanya menjadi cita-cita belaka.

Demikianlah.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar