BAB I
PENDAHULUAN
A . Latar Belakang
Puasa merupakan Ibadah mahdhah, artinya Ibadah murni yang
dibuktikan untuk mendapat ridha Allah semata. Karena itu, Ibadah puasa ini
harus dapat dilakukan sesuai dengan ketentuan yang telah ditetapkan oleh Allah
Swt. Ketetapan hukum Islam yang diperoleh dari nash al-Quran dan as-Sunnah yang
qathi’ dan sharih adalah bersifat universal untuk seluruh umat manusia
sepanjang masa .
Namun sesuai dengan asas-asas hukum Islam yang fleksibel,
praktis, tidak menyulitkan, dalam batas jangkauan kemampuan manusia, sejalan
dengan kemaslahatan umum dan kemajuan zaman dan sesuai dengan rasa keadilan,
maka ketentuan waktu puasa berdasarkan nash yang sharih tidak berlaku untuk
seluruh daerah bumi, melainkan hanya berlaku di zona bumi yang normal.
Oleh karena itu bagi umat Islam yang tinggal misalnya di
daerah abnormal, ibadah puasanya terdapat berbagai macam pendapat para ulama
yang insya Allah akan dikemukakan berikutnya di dalam makalah ini.
B . Rumusan Masalah
Berangkat dari latar belakang masalah di atas maka
permasalahan yang dapat penulis rumuskan adalah sebagai berikut :
1. Apa
pengertian puasa itu?
2. Apa
macam-macam puasa itu?
3. Bagaimana
tata cara puasa di daerah abnormal?
C . Tujuan Penulisan
Berdasarkan rumusan masalah di atas, maka tujuan penulisan
dari makalah ini adalah sebagai berikut :
1. Untuk
mengetahui pengertian puasa itu.
2. Untuk
mengetahui macam-macam puasa itu.
3. Untuk
mengetahui tentang tata cara puasa di daerah abnormal.
D. Sistematika Penulisan
Sistematika penulisan makalah ini dibagi menjadi 3 bab,
yaitu :
BAB I PENDAHULUAN
Pendahuluan berisi uraian tentang latar
belakang masalah, perumusan masalah, tujuan penulisan dan sistematika
penulisan.
BAB II TATA CARA PUASA DI ZONA ABNORMAL
Tata cara puasa di zona abnormal berisi uraian tentang pengertian
puasa, macam-macam puasa dan tata cara puasa di daerah abnormal.
BAB III PENUTUP
Penutup berisi tentang kesimpulan
dan saran.
DAFTAR PUSTAKA
Daftar Pustaka berisi referensi penulis dalam
menyusun makalah ini.
BAB II
TATA CARA PUASA DI ZONA ABNORMAL
A. Pengertian Puasa
Sebelum kita mengkaji lebih jauh materi puasa, terlebih
dahulu kita akan mempelajari pengertian puasa menurut bahasa dan menurut
istilah.
Puasa menurut bahasa adalah shaum atau shiyam
(diambil dari bahasa arab), artinya sikap pasif menahan diri dari makan, minum,
nafsu, dan menahan berbicara yang tidak bermafaat serta segala yang membatalkan
ibadah tersebut.
Di dalam Al-Quran terdapat perkataan itu pada ayat yang
menceritakan hikayat Maryam: artinya: "Sesungguhnya aku bernazar bagi
Tuhan yang bersifat pengasih akan mengerjakan puasa; yakni menahan diri dan
diam daripada berkata-kata".
Sedangkan puasa menurut istilah agama Islam puasa
adalah menahan diri dari segala sesuatu yang membatalkan puasa sejak terbit
fajar sampai tenggelamnya matahari, dengan disertai niat ibadah karena Allah
SWT. Sebagaimana firman Allah Swt dalam QS. Al-Baqarah :187;
(#qè=ä.ur (#qç/uŽõ°$#ur 4Ó®Lym tû¨üt7oKtƒ ãNä3s9 äÝø‹sƒø:$# âÙu‹ö/F{$# z`ÏB ÅÝø‹sƒø:$# ÏŠuqó™F{$# z`ÏB Ìôfxÿø9$# ÚšÇÊÑÐÈ
“Makan
dan minumlah hingga terang bagimu benang putih dari benang hitam, yaitu fajar.”
Puasa menurut bahasa Al-Qur’an :
Allah
berfirman dalam Al-Quran yang artinya :
“Hai
orang-orang yang beriman, diwajibakan atas kamu berpuasa, sebagaimana
diwajibkan kepada orang-orang sebelum kamu, agar kamu bertakwa. (Yaitu) dalam
beberapa hari tertentu. Maka barang siapa diantara kamu ada yang sakit atau
dalam perjalanan (lalu ia berbuka), maka (wajiblah baginya berpuasa) sebanyak
hari yang ditinggalkan itu pada hari-hari yang lain. Dan wajib bagi orang-orang
yang berat menjalankannya (jika mereka tidak berpuasa) membayar fidyah,
(yaitu): memberi makan seorang miskin. Barang siapa dengan kerelaan hati
mengerjakan kebajikan, maka itulah yang lebih baik baginya. Dan berpuasa lebih
baik bagimu jika kamu mengetahui. (Beberapa hari yang di tentukan itu ialah)
bulan Ramadhan, bulan yang di dalamnya di turunkan (permulaan) Al-Quran sebagai
petunjuk bagi manusia dan penjelasan-penjelasan mengenai petunjuk itu dan
pembeda (antara yang hak dan yang batil). Karena itu, barang siapa di antara
kamu hadir (di negeri tempat tinggalnya) di bulan itu maka hendaklah ia
berpuasa pada bulan itu, dan barang siapa sakit atau dalam perjalanan (lalu ia
berbuka) maka (wajiblah baginya berpuasa), sebanyak hari yang di tinggalkannya
itu, pada hari-hari yang lain. Allah menghendaki kemudahan bagimu, dan tidak
menghendaki kesukaran bagimu, dan hendaklah kamu mencukupkan bilangannya dan
hendaknya kamu mengagungkan Allah atas petunjuk-Nya yang di berikan kepadamu,
supaya kamu bersyukur. Dan apabila hamba-hamba-Ku bertanya kepadamu tentang
Aku, maka (jawablah), bahwasanya Aku (Allah) dekat. Aku mengabulkan permohonan orang
yang berdo’a, apabila ia memohon do’a kepada-Ku, maka hendaklah mereka itu
memenuhi (segala perintah) Ku dan hendaklah mereka beriman kepada-Ku, agar
mereka selalu berada dalam kebenaran”. (QS. Al-Baqarah: 183-187).
Dalam ayat tersebut kita dapat melihat dengan jelas bahwa
puasa telah diwajibkan kepada umat Islam sebagaimana
telah diwajibkan kepada pemeluk ajaran-ajaran terdahulu dan umat-umat sebelum
Islam. Ayat-ayat di atas juga menjelaskan hasil yang akan diraih dari
pelaksanaan ibadah ini serta hikmah yang terkandung di dalamnya.
B. Macam-macam Puasa
Secara umum menurut ajaran Islam puasa itu ada 4 (empat)
macam yakni :
Puasa Wajib :
a.
Puasa Ramadhan :yaitu puasa yang wajib dekerjakan pada bulan ramadhan selama
satu bulan penuh.
b.
Puasa Nadzar : yaitu puasa yang telah dijanjikan karena menginginkan sesuatau
nikmat atau harapan tertentu.
c.
Puasa Kafarat : yaitu puasa yang wajib dikerjakan untuk menutupi sesuatu
keteledoran yang telah dilakukan.
d.
Puasa Qadha : yaitu puasa yang wajib ditunaikan karena berbuka dalam bulan
Ramadhan, disebabkan seperti safar, sakit, haid, atau dengan sebab yang lain.
Puasa Sunnah :
d.
Puasa Daud (sehari puasa, sehari tidak).
Puasa Makruh :
a.
Puasa yang terus menerus sepanjang masa.
b.
Tidak termasuk dua hari raya dan hari tasyriq
Puasa Haram :
a.
Puasa pada hari raya Idhul Fitri
b.
Puasa Pada Hari raya Idhul Adha dan Puasa tiga hari sesudah hari raya Aidil
Adha atau hari tasyriq yaitu pada 11, 12 dan 13 Zulhijjah.
C. Tata Cara Puasa di Daerah Abnormal
Para ulama sejak dahulu memang berbeda pendapat tentang
masalah puasa di wilayah yang siangnya lebih panjang dari malammnya atau
sebaliknya. Mereka telah membuat banyak pernyataan dalam kaitan perbedaan musim
dan pergantiannya dikaitkan dengan datangnya bulan Ramadhan.
Atas kehendak Allah SWT, perhitungan bulan-bulan Hijriyah
tidak sama dengan sistem peredaran matahari dan sudut kemiringan bumi terhadap
garis edarnya. Sehingga usia 1 tahun hijriyah dengan masehi akan selalu berbeda
jumlah harinya.Hal ini akan mengakibatkan efek rotasi dan pergiliran musim
terutama bagi mereka yang tinggal di wilayah sub tropis. Sehingga datangnya
bulan Ramadhan akan selalu bergantian antara musim dingin dan musim panas.
Sehingga sebuah wilayah tidak akan selamanya mendapati Ramadhan di musim dingin
saja. Dan sebaliknya tidak selalu di musim panas saja. Selalu ada pergiliran
setiap sekian tahun sekali dimana terkadang Ramadhan datang di musim dingin,
tapi terkadang Ramadhan datang di musim panas.
Sebagaimana kita ketahui bahwa di wilayah sub tropis atau
yang lebih utara lagi atau lebih selatan lagi, musim panas akan membuat siang
hari lebih lama dari malam hari. Dan musim dingin akan membuat malam menjadi
lebih panjang dari siang hari. Hal ini memang akan berpengaruh kepada daya
tahan seseorang yang melakukan ibadah puasa. Karena puasa itu dimulai dari
masuk waktu shubuh hingga terbenam matahari. Ada beberapa kemungkinan
melaksanakan ibadah puasa di Zona Abnormal, yaitu sebagai berikut:
Kemungkinan pertama; ada wilayah yang pada bulan-bulan tertentu mengalami siang
selama 24 jam dalam sehari. Dan sebaliknya, pada bulan-bulan tertentu akan
mengalami sebaliknya, yaitu mengalami malam selama 24 jam dalam sehari. Dalam
kondisi ini, waktu puasanya disesuaikan dengan waktu puasa wilayah yang
terdekat dengannya di mana masih ada pergantian siang dan malam setiap harinya.
Kemungkinan Kedua; ada wilayah yang pada bulan teretntu tidak mengalami
hilangnya mega merah (syafaqul ahmar) sampai datangnya waktu shubuh. Sehingga
tidak bisa dibedakan antara mega merah saat maghrib dengan mega merah saat
shubuh. Dalam kondisi ini, maka yang dilakukan adalah menyesuaikan waktu
puasanya saja dengan waktu puasa di wilayah lain yang terdekat yang masih
mengalami hilangnya mega merah maghrib. Begitu juga waktu untuk imsak puasa
(mulai start puasa), disesuaikan dengan wilayah yang terdekat yang masih
mengalami hilangnya mega merah maghrib dan masih bisa membedakan antara dua
mega itu.
Kemungkinan Ketiga; ada wilayah yang masih mengalami pergantian malam dan
siang dalam satu hari, meski panjangnya siang sangat singkat sekali atau
sebaliknya. Dalam kondisi ini, maka waktu puasanya tetap sesuai dengan aturan
baku dalam syariat Islam. Puasa tetap dimulai sejak masuk waktu shubuh meski
baru jam 02.00 dinihari. Dan waktu berbuka tetap pada saat matahari tenggelam
meski waktu sudah menunjukkan pukul 22.00 malam. Sebagaimana dalam Q.S.
Al-baqarah; 187 :
"Makan
minumlah hingga terang bagimu benang putih dari benang hitam, yaitu fajar.
Kemudian sempurnakanlah puasa itu sampai malam, janganlah kamu campuri mereka
itu, sedang kamu beri'tikaf dalam masjid...” (QS. Al-Baqarah: 187).
Sedangkan bilamana berdasarkan pengalaman bahwa berpuasa
selama lebih dari 19 jam itu dapat menimbulkan madharat, kelemahan dan membawa
kepada penyakit di mana hal itu dikuatkan juga dengan keterangan dokter yang
amanah, maka dibolehkan untuk tidak puasa. Namun dengan kewajiban menggantinya
di hari lain. Dalam hal ini berlaku hukum orang yang tidak mampu atau orang
yang sakit, di mana Allah memberikan rukhshah atau keringanan kepada mereka.
Sesuai firman-Nya :
"Bulan
Ramadhan, bulan yang di dalamnya diturunkan Al-Qur'an sebagai petunjuk bagi
manusia dan penjelasan-penjelasan mengenai petunjuk itu dan pembeda. Karena
itu, barangsiapa di antara kamu hadir di bulan itu, maka hendaklah ia berpuasa
pada bulan itu, dan barangsiapa sakit atau dalam perjalanan, maka, sebanyak
hari yang ditinggalkannya itu, pada hari-hari yang lain. Allah menghendaki
kemudahan bagimu, dan tidak menghendaki kesukaran bagimu. Dan hendaklah kamu
mencukupkan bilangannya dan hendaklah kamu mengagungkan Allah atas petunjuk-Nya
yang diberikan kepadamu, supaya kamu bersyukur". (QS. Al-Baqarah: 185).
Tetapi jika di suatu daerah yang ketika musim panas mereka
berpuasa dari terbit fajar hingga terbenam matahari selama 23 jam 45 menit.
Atau sebaliknya di musim dingin, mereka berpuasa hanya selama 15 menit, maka
menurut ulama, mereka dapat mengikuti waktu hijaz artinya jadwal puasa dan
shalatnya mengikuti jadwal yang ada di hijaz (Makkah, Madinah dan sekitarnya).
Karena wilayah ini dianggap tempat terbit dan muncul Islam sejak pertama kali.
Lalu diambil waktu siang yang paling lama di wilayah itu untuk dijadikan
patokan mereka yang ada di qutub utara dan selatan.
Di negara-negara yang sejajar dengan Belanda, Jerman,
Inggris, Polandia, Rusia atau bahkan yang lebih utara, seperti Finlandia,
Norwegia, Swedia, Denmark pada waktu siang akan lebih lama di musim panas, dan
jika musim dingin, waktu siang lebih singkat daripada waktu malam. Sehingga
waktu puasa atau ibadahnya menyesuaikan waktu setempat, pada saat musim panas
mereka berpuasa sekitar 18 jam lebih dari mulai jam 02.00 sd 21.00 dan pada
saat musim dingin mereka hanya berpuasa selama 7 jam, dari mulai jam 04.00 sd
14.00.
Semua ketentuan-ketentuan tersebut di atas adalah hasil
ijtihad dari para Ulama berdasarkan nash-nash al-Quran dan as-Sunnah serta
qaidah-qaidah yang dijadikan tuntunan dalam ijtihad mereka.
PENDAPAT LAIN :
Namun
ada juga pendapat yang tidak setuju dengan apa yang telah ditetapkan oleh
pendapat di atas itu. Diantaranya apa yang dikemukakan oleh Syeikh Dr.
Mushthafa Az-Zarqo rahimahullah. Alasannya, apabila perbedaan siang dan malam
itu sangat mencolok dimana malam hanya terjadi sekitar 30 menit atau
sebaliknya, dimana siang hanya terjadi hanya 15 menit misalnya, mungkinkah
pendapat itu relevan? Terbayangkah seseorang melakukan puasa di musim panas
dari terbit fajar hingga terbenam matahari selama 23 jam 45 menit? Atau
sebaliknya di musim dingin, dia berpuasa hanya selama 15 menit? Karena itu
pendapat yang lain mengatakan bahwa di wilayah yang mengalami pergantian siang
malam yang ekstrim seperti ini, maka pendapat lain ini mengatakan :
b. Mengikuti Waktu HIJAZ.
Jadwal puasa berikut shalatnya mengikuti jadwal yang ada di
hijaz (Mekkah, Madinah dan sekitarnya). Karena wilayah ini dianggap tempat
terbit dan muncul Islam sejak pertama kali. Lalu diambil waktu siang yang
paling lama di wilayah itu untuk dijadikan patokan mereka yang ada di qutub
utara dan selatan.
Merujuk pada fatwa Majlis Fatwa Al-Azhar Al-Syarif,
menentukan waktu berpuasa Ramadhan pada daerah-daerah yang tidak teratur masa
siang dan malamnya, dilakukan dengan cara menyesuaikan/menyamakan waktunya dengan
daerah dimana batas waktu siang dan malam setiap tahunnya tidak jauh berbeda
(teratur). Sebagai contoh jika menyamakan dengan masyarakat mekkah yang
berpuasa dari fajar sampai maghrib selama tiga belas jam perhari, maka mereka
juga harus berpuasa selama itu. Adapun untuk daerah yang samasekali tidak
diketahui waktu fajar dan maghribnya, seperti daerah kutub (utara dan selatan),
karena pergantian malam dan siang terjadi enam bulan sekali, maka waktu sahur
dan berbuka juga menyesuaikan dengan daerah lain seperti diatas. Jika di Mekkah
terbit fajar pada jam 04.30 dan maghrib pada jam 18.00, maka mereka juga harus
memperhatikan waktu itu dalam memulai puasa atau ibadah wajib lainnya. Fatwa
ini didasarkan pada Hadis Nabi SAW menanggapi pertanyaan Sahabat tentang
kewajiban shalat di daerah yang satu harinya menyamai seminggu atau sebulan
atau bahkan setahun. “Wahai Rasul, bagaimana dengan daerah yang satu harinya
(sehari-semalam) sama dengan satu tahun, apakah cukup dengan sekali shalat
saja”. Rasul menjawab “tidak…tapi perkirakanlah sebagaimana kadarnya (pada
hari-hari biasa)”. [HR. Muslim]. Dan demikianlah halnya kewajban-kewajiaban
yang lain seperti puasa, zakat dan haji.
b. Mengikuti Waktu Negara Islam terdekat.
Pendapat lain mengatakan bahwa jadwal puasa berikut shalat
orang-orang di kutub mengikuti waktu di wilayah negara Islam yang terdekat.
Dimana di negeri ini bertahta Sultan / Khalifah muslim. Namun kedua pendapat di
atas masing-masing memiliki kelebihan dan kelemahan. Karena keduanya adalah
hasil ijtihad para ulama.
c. Negeri Dekat Kutub .
Indonesia terletak di daerah khatulistiwa sehingga panjang
hari tidak terlalu bervariasi sepanjang tahun. Lamanya berpuasa hanya
bervariasi antara 13 – 14 jam. Di Bandung, yang termasuk bagian selatan daerah
tropik, perbedaan panjang hari puasa antara bulan Juni dan Desember hanya
sekitar 50 menit. Pada bulan Juni, lamanya waktu puasa di Bandung sekitar 13
jam. Sedangkan bila berpuasa pada bulan Desember lamanya puasa sekitar 13 jam
51 menit. Untuk wilayah di lintang tinggi (dekat daerah kutub), variasi panjang
hari akan sangat mencolok. Musim panas merupakan saat siang hari paling panjang
dan malam paling pendek. Sebaliknya terjadi pada musim dingin. Panjang hari ini
berpengaruh pada lamanya berpuasa. Puasa pada bulan Juni, seperti pada tahun
1983, merupakan puasa terpanjang bagi wilayah di belahan bumi utara, tetapi
terpendek bagi wilayah di belahan bumi selatan. Sedangkan puasa pada bulan
Desember – Januari, seperti terjadi tahun ini sampai 2001, merupakan puasa terpendek
bagi wilayah di belahan bumi utara, tetapi terpanjang bagi wilayah di belahan
bumi selatan.
Puasa pada bulan Juni atau Desember merupakan saat ekstrim
yang perlu dibahas. Selain karena lamanya puasa menjadi sangat panjang atau
sangat pendek, bisa terjadi pula tidak adanya tanda awal fajar atau tidak
adanya tanda maghrib. Sedangkan batasan waktu puasa menurut dimulai pada awal
fajar dan diakhiri pada (awal) malam (atau maghrib). Pada keadaan ekstrim
seperti itu, di daerah lintang tinggi bisa terjadi continous twilight, yaitu
bersambungnya cahaya senja dan cahaya fajar. Akibatnya awal fajar tidak bisa
ditentukan dan ini berarti sulit memastikan kapan mesti memulai puasanya. Bisa
juga terjadi malam terus sehingga awal fajar dan maghrib untuk memulai dan
berbuka puasa tidak bisa ditentukan.
Karena saat ini umat Islam sudah tersebar ke seluruh dunia,
maka para ulama pun telah memikirkan bagaimana cara puasa di daerah dengan
waktu ekstrim seperti itu. Namun, belum ada satu kesepakatan. Ada yang
berpendapat, pada saat ekstrim seperti itu pelaksanaan puasa diqadla (diganti)
pada bulan lainnya seperti. diusulkan oleh pendapat diatas. Tetapi pendapat
seperti ini mempunyai kelemahan. Dengan mengqadla puasa, maka keutuhan ibadah
Ramadan (a.l. puasa, shalat malam, tadarus, dan i’tikaf) tidak sempurna lagi.
Ada juga yang berpendapat bahwa pada keadaan ektrim seperti itu gunakan
perhitungan waktu mengikuti daerah normal di sekitarnya. Pendapat untuk
melakukan perkiraan waktu atau hisab ini dilandaskan pada qiyas (analogi)
dengan hadits tentang Dajal yang diriwayatkan Muslim dari Yunus ibn Syam’an.
Dalam hadits itu disebutkan bahwa pada saat itu satu hari sama dengan setahun.
Kemudian ada sahabat yang bertanya, ”Cukupkah bagi kami shalat sehari? ”Nabi Saw menjawab, ”Tidak, perkirakan
waktu-waktu itu”. Bila menggunakan
qiyas itu, masalahnya adalah apakah tepat mendasarkan perkiraan waktunya pada
daerah normal di sekitarnya. Saya berpendapat lebih baik dan lebih pasti
menggunakan waktu normal setempat, sebelum dan sesudah waktu ekstrim itu.
Dengan perhitungan astronomi hal itu mudah dilakukan.
Dalam program jadwal shalat yang telah dibuat, itu bisa
digunakan juga untuk penentuan jadwal puasa di berbagai negeri, dalam keadaan
ekstrim seperti itu waktu-waktu salat dan puasa diqiyaskan dengan waktu normal
sebelumnya. Bila saat magribnya dapat ditentukan, bisa juga awal fajar dihitung
berdasarkan lamanya berpuasa pada saat normal. Berdasarkan perhitungan
astronomis, panjang puasa pada saat normal di seluruh dunia tidak lebih dari 20
jam. Jadi, dengan adanya waktu minimal 4 jam untuk berbuka dan bersahur, hal
itu masih dalam batas kekuatan manusia. Contoh kasus pada tahun 2000/2001 M,
puasa Ramadannya jatuh pada akhir Desember sampai Januari. Di wilayah lintang
tinggi di selatan, seperti bagian Selatan Chile dan Argentina, saat tahun 2000
sampai tahun 2001 itu, merupakan saat berpuasa paling panjang. Tetapi di
wilayah lintang tinggi di utara, seperti di negara-negara Skandianvia,
merupakan saat berpuasa paling pendek. Sebagai contoh, akan ditinjau lama
berpuasa di kota Ushuaia (Argentina) dan Tromso (Norwegia). Ushuaia terletak di
ujung Selatan Argentina pada posisi sekitar 55 derajat lintang selatan.
Sedangkan Tromso adalah kota di bagian utara Norwegia pada lintang utara 69 derajat.
Di kota Ushuaia mulai 10 November sampai 1 Februari merupakan masa tanpa gelap
malam. Waktu senja bersambung dengan fajar (continous twilight). Jadi, tidak
ada awal fajar yang menjadi batasan awal waktu berpuasa. Waktu normal
sebelumnya, 9 November, awal fajar (shubuh) pukul 01:39 dan magrib pukul 21:08.
Dan waktu normal sesudahnya, 2 Februari, shubuh pukul 02:08 dan maghrib pukul
21:36. Jadi, lamanya puasa maksimum sekitar 19,5 jam. Masih ada waktu 4,5 jam
untuk berbuka dan bersahur. Maghrib pada awal Ramadan di Ushuaia pada pukul
22:14 dan pada akhir Ramadan pada pukul 21:45. Jadi, awal fajar untuk memulai
puasa bisa ditentukan dengan mengurangkan 19,5 jam dari waktu maghrib. Pada
awal Ramadan puasa dimulai pukul 02:44 dan pada akhir Ramadan pukul 02:15.
Kasus berbeda terjadi di Tromso pada waktu itu juga. Sejak 2 Desember sampai 11
Januari di sana selamanya malam. Jadi, selama setengah bulan Ramadan ini waktu
berpuasa di sana tidak normal. Waktu normal sebelumnya, 1 Desember, shubuh
pukul 05:54 dan maghrib pukul 11:37 (lamanya berpuasa 5 jam 43 menit). Dan
waktu normal sesudahnya, 12 Januari, shubuh pukul 06:13 dan maghrib pukul 12:24
(lamanya berpuasa 6 jam 11 menit). Sedangkan pada akhir Ramadan, 28 Januari,
shubuh pukul 5:42 dan maghrib pukul 14:18.
Dalam kasus malam panjang ini, cara yang terbaik dalam
menjabarkan jawaban Nabi (sebagai qiyas) untuk memperkirakan waktunya adalah
dengan interpolasi (teknik matematika untuk mengisi data kosong antara dua data
yang diketahui). Dengan interpolasi, awal puasa antara pukul 05:54 dan 06:13,
tergantung tanggalnya. Demikian juga untuk maghrib antara pukul 11:37 dan
12:24, tergantung tanggalnya.
Kasus ekstrim seperti itu untungnya tidak terjadi selamanya.
Adanya perbedaan panjang tahun qamariyah (kalender bulan) dan tahun syamsiah
(kalender matahari) menyebabkan awal Ramadan dam hari raya selalau bergeser
sekitar 11 hari lebih awal. Sehingga bila Ramadan jatuh pada sekitar bulan
Maret dan September, semuanya berjalan normal lagi, seperti halnya puasa di
daerah ekuator. Pada sekitar bulan Maret dan September, panjang siang dan malam
hampir sama di seluruh dunia.
BAB III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Dari uraian diatas penulis dapat menyimpulkan beberapa hal
penting yaitu :
1. Persepsi
siang hari bagi orang yang tinggal di daerah tropis adalah kondisi terang
karena terdapat sinar matahari, sedangkan malam adalah kondisi gelap-gulita,
tanpa ada sinar matahari karena sinar tersebut telah tenggelam di bawah
horizon. Dan orang-orang yang tinggal tanpa ada sinar matahari atau lama
matahari bersinar sangat pendek itu, maka mereka tidak harus meninggalkan
kewajiban berpuasa karena Allah Swt itu serba Maha. Dalam memberikan kewajiban
terhadap hamba-hamba-Nya, telah diperhitungkan dengan sangat cermat.
2. Agama
Islam yang diturunkan-Nya, bersifat sempurna , supel, dan universal. Nabi
Muhammad Saw memang diturunkan di daerah tropis, dan kita juga tinggal di
negara yang beriklim tropis, tentu tidak akan mengalami kendala dalam hal waktu
siang dan malam. Kita bisa menjalankan puasa seperti yang pernah dicontohkan
Rasulullah SAW di daerah tropis. Tetapi bagi orang-orang yang tinggal di daerah
beriklim subtropis, sejuk, dan dingin, serta orang yang pergi ke luar angkasa,
tentunya berbeda dalam menghadapi waktu siang dan malam yang lamanya tidak
proporsional (siang 12 jam, malam 12 jam).
3. Daerah
dekat Kutub Utara atau Selatan tidak memiliki keseimbangan siang dan malam.
Malam atau siangnya bisa menjadi lebih lama. Matahari tidak terbit atau tidak
tenggelam selama beberapa bulan. Lalu, apakah orang-orang yang tinggal di sana
harus berpuasa selama 20 jam atau lebih ketika musim panas? Atau cuma 3–4 jam
ketika musim dingin? Atau justru tidak berpuasa karena tidak ada sinar matahari
sehingga gelap terus? Keadaan tersebut memang tidak terjadi pada masa
Rasulullah SAW sehingga dalam menerapkan fikih tidak bisa diambil serta-merta
apa adanya. Maka itu disusunlah oleh para Ulama akan hukum-hukum atau
fatwa-fatwa mengenai tata cara berpuasanya yang benar dan tepat sesuai bagi
orang yang tinggal di daerah abnormal itu.
B. Saran
Setelah disampaikan kesimpulan-kesimpulan diatas, penulis
merasa perlu untuk menyampaikan beberapa saran yaitu :
1. Orang-orang
yang tinggal di daerah selain tropis tetap harus bisa menjalankan puasa tanpa
mempersulit/memberatkan pelaksanaan ibadah tersebut karena Islam merupakan
agama yang fitrah. Jadi, ajaran-ajaran yang ada di dalamnya bisa dilaksanakan
sesuai dengan kemampuan manusia dan konteks perkembangan zaman.
2. Daerah
tropis harus bisa dijadikan sebagai pedoman waktu puasa karena memang Islam
diturunkan di daerah tropis. Maksudnya, berpedoman pada pergerakan matahari di
daerah tropis yang dikonversi ke dalam bentuk jam. Hal ini berdasarkan pada
konsep garis bujur karena seluruh wilayah di permukaan bumi ini akan berada
pada jam yang sama jika terletak di garis bujur yang sama pula. Jadi, puasa
bisa dilaksanakan pada kondisi gelap (malam) asalkan sama jamnya dengan daerah
lain yang terang (siang) karena berada di garis bujur yang sama.
3. Untuk
kondisi di luar angkasa, puasa juga harus bisa dilakukan dengan berpedoman pada
jam universal. Puasa memang bisa dilaksanakan di belahan bumi manapun dan
waktunya tidak memberatkan. Mahasuci Allah yang telah menurunkan Islam dengan
rahmatan lil’alamin (rahmat bagi seluruh alam). Segala perintah-Nya telah
diperhitungkan dengan sangat cermat sehingga tidak memberatkan hamba-hamba-Nya
karena Allah menghendaki kemudahan dan tidak menghendaki kesukaran bagi
umat-Nya.
Demikianlah makalah ini penulis buat untuk memenuhi salah
satu syarat mengikuti ujian akhir semester pada Jurusan Pendidikan Agama Islam
semester III B. Apabila dalam penulisan makalah ini terdapat kekurangan penulis
meminta kepada pembaca umumnya dan khususnya kepada bapak dosen mata kuliah
Materi PAI ini untuk memberikan saran dan kritik yang membangun untuk makalah
ini. Mudah-mudahan Allah Swt senantiasa memberkahi kita semua. Amin ya Rabbal
‘Alamin.
DAFTAR PUSTAKA
Departemen
Agama. Al-Qur'an dan Terjemahannya. 1989. Semarang: Toha Putera.
Rasjid,
Sulaiman. Fiqih Islam. 2003. Bandung: Sinar Baru Algensindo.
Multazam,
M. Fiqih Syafi’i. 1984. CV.Gresik Surabaya: Bintang Pelajar.
Susiknan,
Azhari. Ensiklopedi Hisab Rukyat. 2005. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar