Kamis, 01 Maret 2012

Makalah Puasa di daerah abnormal





BAB I
PENDAHULUAN
A . Latar Belakang
Puasa merupakan Ibadah mahdhah, artinya Ibadah murni yang dibuktikan untuk mendapat ridha Allah semata. Karena itu, Ibadah puasa ini harus dapat dilakukan sesuai dengan ketentuan yang telah ditetapkan oleh Allah Swt. Ketetapan hukum Islam yang diperoleh dari nash al-Quran dan as-Sunnah yang qathi’ dan sharih adalah bersifat universal untuk seluruh umat manusia sepanjang masa .
Namun sesuai dengan asas-asas hukum Islam yang fleksibel, praktis, tidak menyulitkan, dalam batas jangkauan kemampuan manusia, sejalan dengan kemaslahatan umum dan kemajuan zaman dan sesuai dengan rasa keadilan, maka ketentuan waktu puasa berdasarkan nash yang sharih tidak berlaku untuk seluruh daerah bumi, melainkan hanya berlaku di zona bumi yang normal.
Oleh karena itu bagi umat Islam yang tinggal misalnya di daerah abnormal, ibadah puasanya terdapat berbagai macam pendapat para ulama yang insya Allah akan dikemukakan berikutnya di dalam makalah ini.
B . Rumusan Masalah
Berangkat dari latar belakang masalah di atas maka permasalahan yang dapat penulis rumuskan adalah sebagai berikut :
1. Apa pengertian puasa itu?
2. Apa macam-macam puasa itu?
3. Bagaimana tata cara puasa di daerah abnormal?
C . Tujuan Penulisan
Berdasarkan rumusan masalah di atas, maka tujuan penulisan dari makalah ini adalah sebagai berikut :
1. Untuk mengetahui pengertian puasa itu.
2. Untuk mengetahui macam-macam puasa itu.
3. Untuk mengetahui tentang tata cara puasa di daerah abnormal.
D. Sistematika Penulisan
Sistematika penulisan makalah ini dibagi menjadi 3 bab, yaitu :
BAB I PENDAHULUAN
Pendahuluan berisi uraian tentang latar belakang masalah, perumusan masalah, tujuan penulisan dan sistematika penulisan.
BAB II TATA CARA PUASA DI ZONA ABNORMAL
Tata cara puasa di zona abnormal berisi uraian tentang pengertian puasa, macam-macam puasa dan tata cara puasa di daerah abnormal.
BAB III PENUTUP
Penutup berisi tentang kesimpulan dan saran.
DAFTAR PUSTAKA
Daftar Pustaka berisi referensi penulis dalam menyusun makalah ini.
BAB II
TATA CARA PUASA DI ZONA ABNORMAL
A. Pengertian Puasa
Sebelum kita mengkaji lebih jauh materi puasa, terlebih dahulu kita akan mempelajari pengertian puasa menurut bahasa dan menurut istilah.
Puasa menurut bahasa adalah shaum atau shiyam (diambil dari bahasa arab), artinya sikap pasif menahan diri dari makan, minum, nafsu, dan menahan berbicara yang tidak bermafaat serta segala yang membatalkan ibadah tersebut.
Di dalam Al-Quran terdapat perkataan itu pada ayat yang menceritakan hikayat Maryam: artinya: "Sesungguhnya aku bernazar bagi Tuhan yang bersifat pengasih akan mengerjakan puasa; yakni menahan diri dan diam daripada berkata-kata".
Sedangkan puasa menurut istilah agama Islam puasa adalah menahan diri dari segala sesuatu yang membatalkan puasa sejak terbit fajar sampai tenggelamnya matahari, dengan disertai niat ibadah karena Allah SWT. Sebagaimana firman Allah Swt dalam QS. Al-Baqarah :187;
(#qè=ä.ur (#qç/uŽõ°$#ur 4Ó®Lym tû¨üt7oKtƒ ãNä3s9 äÝøsƒø:$# âÙuö/F{$# z`ÏB ÅÝøsƒø:$# ÏŠuqóF{$# z`ÏB ̍ôfxÿø9$# ÚšÇÊÑÐÈ
“Makan dan minumlah hingga terang bagimu benang putih dari benang hitam, yaitu fajar.”
Puasa menurut bahasa Al-Qur’an :
Allah berfirman dalam Al-Quran yang artinya :
“Hai orang-orang yang beriman, diwajibakan atas kamu berpuasa, sebagaimana diwajibkan kepada orang-orang sebelum kamu, agar kamu bertakwa. (Yaitu) dalam beberapa hari tertentu. Maka barang siapa diantara kamu ada yang sakit atau dalam perjalanan (lalu ia berbuka), maka (wajiblah baginya berpuasa) sebanyak hari yang ditinggalkan itu pada hari-hari yang lain. Dan wajib bagi orang-orang yang berat menjalankannya (jika mereka tidak berpuasa) membayar fidyah, (yaitu): memberi makan seorang miskin. Barang siapa dengan kerelaan hati mengerjakan kebajikan, maka itulah yang lebih baik baginya. Dan berpuasa lebih baik bagimu jika kamu mengetahui. (Beberapa hari yang di tentukan itu ialah) bulan Ramadhan, bulan yang di dalamnya di turunkan (permulaan) Al-Quran sebagai petunjuk bagi manusia dan penjelasan-penjelasan mengenai petunjuk itu dan pembeda (antara yang hak dan yang batil). Karena itu, barang siapa di antara kamu hadir (di negeri tempat tinggalnya) di bulan itu maka hendaklah ia berpuasa pada bulan itu, dan barang siapa sakit atau dalam perjalanan (lalu ia berbuka) maka (wajiblah baginya berpuasa), sebanyak hari yang di tinggalkannya itu, pada hari-hari yang lain. Allah menghendaki kemudahan bagimu, dan tidak menghendaki kesukaran bagimu, dan hendaklah kamu mencukupkan bilangannya dan hendaknya kamu mengagungkan Allah atas petunjuk-Nya yang di berikan kepadamu, supaya kamu bersyukur. Dan apabila hamba-hamba-Ku bertanya kepadamu tentang Aku, maka (jawablah), bahwasanya Aku (Allah) dekat. Aku mengabulkan permohonan orang yang berdo’a, apabila ia memohon do’a kepada-Ku, maka hendaklah mereka itu memenuhi (segala perintah) Ku dan hendaklah mereka beriman kepada-Ku, agar mereka selalu berada dalam kebenaran”. (QS. Al-Baqarah: 183-187).
Dalam ayat tersebut kita dapat melihat dengan jelas bahwa puasa telah diwajibkan kepada umat Islam sebagaimana telah diwajibkan kepada pemeluk ajaran-ajaran terdahulu dan umat-umat sebelum Islam. Ayat-ayat di atas juga menjelaskan hasil yang akan diraih dari pelaksanaan ibadah ini serta hikmah yang terkandung di dalamnya.
B. Macam-macam Puasa
Secara umum menurut ajaran Islam puasa itu ada 4 (empat) macam yakni :
Puasa Wajib :
a. Puasa Ramadhan :yaitu puasa yang wajib dekerjakan pada bulan ramadhan selama satu bulan penuh.
b. Puasa Nadzar : yaitu puasa yang telah dijanjikan karena menginginkan sesuatau nikmat atau harapan tertentu.
c. Puasa Kafarat : yaitu puasa yang wajib dikerjakan untuk menutupi sesuatu keteledoran yang telah dilakukan.
d. Puasa Qadha : yaitu puasa yang wajib ditunaikan karena berbuka dalam bulan Ramadhan, disebabkan seperti safar, sakit, haid, atau dengan sebab yang lain.
Puasa Sunnah :
a. Puasa 6 hari di bulan Syawal.
c. Puasa Senin-Kamis.
d. Puasa Daud (sehari puasa, sehari tidak).
Puasa Makruh :
a. Puasa yang terus menerus sepanjang masa.
b. Tidak termasuk dua hari raya dan hari tasyriq
Puasa Haram :
a. Puasa pada hari raya Idhul Fitri
b. Puasa Pada Hari raya Idhul Adha dan Puasa tiga hari sesudah hari raya Aidil Adha atau hari tasyriq yaitu pada 11, 12 dan 13 Zulhijjah.
C. Tata Cara Puasa di Daerah Abnormal
Para ulama sejak dahulu memang berbeda pendapat tentang masalah puasa di wilayah yang siangnya lebih panjang dari malammnya atau sebaliknya. Mereka telah membuat banyak pernyataan dalam kaitan perbedaan musim dan pergantiannya dikaitkan dengan datangnya bulan Ramadhan.
Atas kehendak Allah SWT, perhitungan bulan-bulan Hijriyah tidak sama dengan sistem peredaran matahari dan sudut kemiringan bumi terhadap garis edarnya. Sehingga usia 1 tahun hijriyah dengan masehi akan selalu berbeda jumlah harinya.Hal ini akan mengakibatkan efek rotasi dan pergiliran musim terutama bagi mereka yang tinggal di wilayah sub tropis. Sehingga datangnya bulan Ramadhan akan selalu bergantian antara musim dingin dan musim panas. Sehingga sebuah wilayah tidak akan selamanya mendapati Ramadhan di musim dingin saja. Dan sebaliknya tidak selalu di musim panas saja. Selalu ada pergiliran setiap sekian tahun sekali dimana terkadang Ramadhan datang di musim dingin, tapi terkadang Ramadhan datang di musim panas.
Sebagaimana kita ketahui bahwa di wilayah sub tropis atau yang lebih utara lagi atau lebih selatan lagi, musim panas akan membuat siang hari lebih lama dari malam hari. Dan musim dingin akan membuat malam menjadi lebih panjang dari siang hari. Hal ini memang akan berpengaruh kepada daya tahan seseorang yang melakukan ibadah puasa. Karena puasa itu dimulai dari masuk waktu shubuh hingga terbenam matahari. Ada beberapa kemungkinan melaksanakan ibadah puasa di Zona Abnormal, yaitu sebagai berikut:
Kemungkinan pertama; ada wilayah yang pada bulan-bulan tertentu mengalami siang selama 24 jam dalam sehari. Dan sebaliknya, pada bulan-bulan tertentu akan mengalami sebaliknya, yaitu mengalami malam selama 24 jam dalam sehari. Dalam kondisi ini, waktu puasanya disesuaikan dengan waktu puasa wilayah yang terdekat dengannya di mana masih ada pergantian siang dan malam setiap harinya.
Kemungkinan Kedua; ada wilayah yang pada bulan teretntu tidak mengalami hilangnya mega merah (syafaqul ahmar) sampai datangnya waktu shubuh. Sehingga tidak bisa dibedakan antara mega merah saat maghrib dengan mega merah saat shubuh. Dalam kondisi ini, maka yang dilakukan adalah menyesuaikan waktu puasanya saja dengan waktu puasa di wilayah lain yang terdekat yang masih mengalami hilangnya mega merah maghrib. Begitu juga waktu untuk imsak puasa (mulai start puasa), disesuaikan dengan wilayah yang terdekat yang masih mengalami hilangnya mega merah maghrib dan masih bisa membedakan antara dua mega itu.
Kemungkinan Ketiga; ada wilayah yang masih mengalami pergantian malam dan siang dalam satu hari, meski panjangnya siang sangat singkat sekali atau sebaliknya. Dalam kondisi ini, maka waktu puasanya tetap sesuai dengan aturan baku dalam syariat Islam. Puasa tetap dimulai sejak masuk waktu shubuh meski baru jam 02.00 dinihari. Dan waktu berbuka tetap pada saat matahari tenggelam meski waktu sudah menunjukkan pukul 22.00 malam. Sebagaimana dalam Q.S. Al-baqarah; 187 :
"Makan minumlah hingga terang bagimu benang putih dari benang hitam, yaitu fajar. Kemudian sempurnakanlah puasa itu sampai malam, janganlah kamu campuri mereka itu, sedang kamu beri'tikaf dalam masjid...” (QS. Al-Baqarah: 187).
Sedangkan bilamana berdasarkan pengalaman bahwa berpuasa selama lebih dari 19 jam itu dapat menimbulkan madharat, kelemahan dan membawa kepada penyakit di mana hal itu dikuatkan juga dengan keterangan dokter yang amanah, maka dibolehkan untuk tidak puasa. Namun dengan kewajiban menggantinya di hari lain. Dalam hal ini berlaku hukum orang yang tidak mampu atau orang yang sakit, di mana Allah memberikan rukhshah atau keringanan kepada mereka. Sesuai firman-Nya :
"Bulan Ramadhan, bulan yang di dalamnya diturunkan Al-Qur'an sebagai petunjuk bagi manusia dan penjelasan-penjelasan mengenai petunjuk itu dan pembeda. Karena itu, barangsiapa di antara kamu hadir di bulan itu, maka hendaklah ia berpuasa pada bulan itu, dan barangsiapa sakit atau dalam perjalanan, maka, sebanyak hari yang ditinggalkannya itu, pada hari-hari yang lain. Allah menghendaki kemudahan bagimu, dan tidak menghendaki kesukaran bagimu. Dan hendaklah kamu mencukupkan bilangannya dan hendaklah kamu mengagungkan Allah atas petunjuk-Nya yang diberikan kepadamu, supaya kamu bersyukur". (QS. Al-Baqarah: 185).
Tetapi jika di suatu daerah yang ketika musim panas mereka berpuasa dari terbit fajar hingga terbenam matahari selama 23 jam 45 menit. Atau sebaliknya di musim dingin, mereka berpuasa hanya selama 15 menit, maka menurut ulama, mereka dapat mengikuti waktu hijaz artinya jadwal puasa dan shalatnya mengikuti jadwal yang ada di hijaz (Makkah, Madinah dan sekitarnya). Karena wilayah ini dianggap tempat terbit dan muncul Islam sejak pertama kali. Lalu diambil waktu siang yang paling lama di wilayah itu untuk dijadikan patokan mereka yang ada di qutub utara dan selatan.
Di negara-negara yang sejajar dengan Belanda, Jerman, Inggris, Polandia, Rusia atau bahkan yang lebih utara, seperti Finlandia, Norwegia, Swedia, Denmark pada waktu siang akan lebih lama di musim panas, dan jika musim dingin, waktu siang lebih singkat daripada waktu malam. Sehingga waktu puasa atau ibadahnya menyesuaikan waktu setempat, pada saat musim panas mereka berpuasa sekitar 18 jam lebih dari mulai jam 02.00 sd 21.00 dan pada saat musim dingin mereka hanya berpuasa selama 7 jam, dari mulai jam 04.00 sd 14.00.
Semua ketentuan-ketentuan tersebut di atas adalah hasil ijtihad dari para Ulama berdasarkan nash-nash al-Quran dan as-Sunnah serta qaidah-qaidah yang dijadikan tuntunan dalam ijtihad mereka.
PENDAPAT LAIN :
Namun ada juga pendapat yang tidak setuju dengan apa yang telah ditetapkan oleh pendapat di atas itu. Diantaranya apa yang dikemukakan oleh Syeikh Dr. Mushthafa Az-Zarqo rahimahullah. Alasannya, apabila perbedaan siang dan malam itu sangat mencolok dimana malam hanya terjadi sekitar 30 menit atau sebaliknya, dimana siang hanya terjadi hanya 15 menit misalnya, mungkinkah pendapat itu relevan? Terbayangkah seseorang melakukan puasa di musim panas dari terbit fajar hingga terbenam matahari selama 23 jam 45 menit? Atau sebaliknya di musim dingin, dia berpuasa hanya selama 15 menit? Karena itu pendapat yang lain mengatakan bahwa di wilayah yang mengalami pergantian siang malam yang ekstrim seperti ini, maka pendapat lain ini mengatakan :
b. Mengikuti Waktu HIJAZ.
Jadwal puasa berikut shalatnya mengikuti jadwal yang ada di hijaz (Mekkah, Madinah dan sekitarnya). Karena wilayah ini dianggap tempat terbit dan muncul Islam sejak pertama kali. Lalu diambil waktu siang yang paling lama di wilayah itu untuk dijadikan patokan mereka yang ada di qutub utara dan selatan.
Merujuk pada fatwa Majlis Fatwa Al-Azhar Al-Syarif, menentukan waktu berpuasa Ramadhan pada daerah-daerah yang tidak teratur masa siang dan malamnya, dilakukan dengan cara menyesuaikan/menyamakan waktunya dengan daerah dimana batas waktu siang dan malam setiap tahunnya tidak jauh berbeda (teratur). Sebagai contoh jika menyamakan dengan masyarakat mekkah yang berpuasa dari fajar sampai maghrib selama tiga belas jam perhari, maka mereka juga harus berpuasa selama itu. Adapun untuk daerah yang samasekali tidak diketahui waktu fajar dan maghribnya, seperti daerah kutub (utara dan selatan), karena pergantian malam dan siang terjadi enam bulan sekali, maka waktu sahur dan berbuka juga menyesuaikan dengan daerah lain seperti diatas. Jika di Mekkah terbit fajar pada jam 04.30 dan maghrib pada jam 18.00, maka mereka juga harus memperhatikan waktu itu dalam memulai puasa atau ibadah wajib lainnya. Fatwa ini didasarkan pada Hadis Nabi SAW menanggapi pertanyaan Sahabat tentang kewajiban shalat di daerah yang satu harinya menyamai seminggu atau sebulan atau bahkan setahun. “Wahai Rasul, bagaimana dengan daerah yang satu harinya (sehari-semalam) sama dengan satu tahun, apakah cukup dengan sekali shalat saja”. Rasul menjawab “tidak…tapi perkirakanlah sebagaimana kadarnya (pada hari-hari biasa)”. [HR. Muslim]. Dan demikianlah halnya kewajban-kewajiaban yang lain seperti puasa, zakat dan haji.
b. Mengikuti Waktu Negara Islam terdekat.
Pendapat lain mengatakan bahwa jadwal puasa berikut shalat orang-orang di kutub mengikuti waktu di wilayah negara Islam yang terdekat. Dimana di negeri ini bertahta Sultan / Khalifah muslim. Namun kedua pendapat di atas masing-masing memiliki kelebihan dan kelemahan. Karena keduanya adalah hasil ijtihad para ulama.
c. Negeri Dekat Kutub .
Indonesia terletak di daerah khatulistiwa sehingga panjang hari tidak terlalu bervariasi sepanjang tahun. Lamanya berpuasa hanya bervariasi antara 13 – 14 jam. Di Bandung, yang termasuk bagian selatan daerah tropik, perbedaan panjang hari puasa antara bulan Juni dan Desember hanya sekitar 50 menit. Pada bulan Juni, lamanya waktu puasa di Bandung sekitar 13 jam. Sedangkan bila berpuasa pada bulan Desember lamanya puasa sekitar 13 jam 51 menit. Untuk wilayah di lintang tinggi (dekat daerah kutub), variasi panjang hari akan sangat mencolok. Musim panas merupakan saat siang hari paling panjang dan malam paling pendek. Sebaliknya terjadi pada musim dingin. Panjang hari ini berpengaruh pada lamanya berpuasa. Puasa pada bulan Juni, seperti pada tahun 1983, merupakan puasa terpanjang bagi wilayah di belahan bumi utara, tetapi terpendek bagi wilayah di belahan bumi selatan. Sedangkan puasa pada bulan Desember – Januari, seperti terjadi tahun ini sampai 2001, merupakan puasa terpendek bagi wilayah di belahan bumi utara, tetapi terpanjang bagi wilayah di belahan bumi selatan.
Puasa pada bulan Juni atau Desember merupakan saat ekstrim yang perlu dibahas. Selain karena lamanya puasa menjadi sangat panjang atau sangat pendek, bisa terjadi pula tidak adanya tanda awal fajar atau tidak adanya tanda maghrib. Sedangkan batasan waktu puasa menurut dimulai pada awal fajar dan diakhiri pada (awal) malam (atau maghrib). Pada keadaan ekstrim seperti itu, di daerah lintang tinggi bisa terjadi continous twilight, yaitu bersambungnya cahaya senja dan cahaya fajar. Akibatnya awal fajar tidak bisa ditentukan dan ini berarti sulit memastikan kapan mesti memulai puasanya. Bisa juga terjadi malam terus sehingga awal fajar dan maghrib untuk memulai dan berbuka puasa tidak bisa ditentukan.
Karena saat ini umat Islam sudah tersebar ke seluruh dunia, maka para ulama pun telah memikirkan bagaimana cara puasa di daerah dengan waktu ekstrim seperti itu. Namun, belum ada satu kesepakatan. Ada yang berpendapat, pada saat ekstrim seperti itu pelaksanaan puasa diqadla (diganti) pada bulan lainnya seperti. diusulkan oleh pendapat diatas. Tetapi pendapat seperti ini mempunyai kelemahan. Dengan mengqadla puasa, maka keutuhan ibadah Ramadan (a.l. puasa, shalat malam, tadarus, dan i’tikaf) tidak sempurna lagi. Ada juga yang berpendapat bahwa pada keadaan ektrim seperti itu gunakan perhitungan waktu mengikuti daerah normal di sekitarnya. Pendapat untuk melakukan perkiraan waktu atau hisab ini dilandaskan pada qiyas (analogi) dengan hadits tentang Dajal yang diriwayatkan Muslim dari Yunus ibn Syam’an. Dalam hadits itu disebutkan bahwa pada saat itu satu hari sama dengan setahun. Kemudian ada sahabat yang bertanya, ”Cukupkah bagi kami shalat sehari? ”Nabi Saw menjawab, ”Tidak, perkirakan waktu-waktu itu”. Bila menggunakan qiyas itu, masalahnya adalah apakah tepat mendasarkan perkiraan waktunya pada daerah normal di sekitarnya. Saya berpendapat lebih baik dan lebih pasti menggunakan waktu normal setempat, sebelum dan sesudah waktu ekstrim itu. Dengan perhitungan astronomi hal itu mudah dilakukan.
Dalam program jadwal shalat yang telah dibuat, itu bisa digunakan juga untuk penentuan jadwal puasa di berbagai negeri, dalam keadaan ekstrim seperti itu waktu-waktu salat dan puasa diqiyaskan dengan waktu normal sebelumnya. Bila saat magribnya dapat ditentukan, bisa juga awal fajar dihitung berdasarkan lamanya berpuasa pada saat normal. Berdasarkan perhitungan astronomis, panjang puasa pada saat normal di seluruh dunia tidak lebih dari 20 jam. Jadi, dengan adanya waktu minimal 4 jam untuk berbuka dan bersahur, hal itu masih dalam batas kekuatan manusia. Contoh kasus pada tahun 2000/2001 M, puasa Ramadannya jatuh pada akhir Desember sampai Januari. Di wilayah lintang tinggi di selatan, seperti bagian Selatan Chile dan Argentina, saat tahun 2000 sampai tahun 2001 itu, merupakan saat berpuasa paling panjang. Tetapi di wilayah lintang tinggi di utara, seperti di negara-negara Skandianvia, merupakan saat berpuasa paling pendek. Sebagai contoh, akan ditinjau lama berpuasa di kota Ushuaia (Argentina) dan Tromso (Norwegia). Ushuaia terletak di ujung Selatan Argentina pada posisi sekitar 55 derajat lintang selatan. Sedangkan Tromso adalah kota di bagian utara Norwegia pada lintang utara 69 derajat. Di kota Ushuaia mulai 10 November sampai 1 Februari merupakan masa tanpa gelap malam. Waktu senja bersambung dengan fajar (continous twilight). Jadi, tidak ada awal fajar yang menjadi batasan awal waktu berpuasa. Waktu normal sebelumnya, 9 November, awal fajar (shubuh) pukul 01:39 dan magrib pukul 21:08. Dan waktu normal sesudahnya, 2 Februari, shubuh pukul 02:08 dan maghrib pukul 21:36. Jadi, lamanya puasa maksimum sekitar 19,5 jam. Masih ada waktu 4,5 jam untuk berbuka dan bersahur. Maghrib pada awal Ramadan di Ushuaia pada pukul 22:14 dan pada akhir Ramadan pada pukul 21:45. Jadi, awal fajar untuk memulai puasa bisa ditentukan dengan mengurangkan 19,5 jam dari waktu maghrib. Pada awal Ramadan puasa dimulai pukul 02:44 dan pada akhir Ramadan pukul 02:15. Kasus berbeda terjadi di Tromso pada waktu itu juga. Sejak 2 Desember sampai 11 Januari di sana selamanya malam. Jadi, selama setengah bulan Ramadan ini waktu berpuasa di sana tidak normal. Waktu normal sebelumnya, 1 Desember, shubuh pukul 05:54 dan maghrib pukul 11:37 (lamanya berpuasa 5 jam 43 menit). Dan waktu normal sesudahnya, 12 Januari, shubuh pukul 06:13 dan maghrib pukul 12:24 (lamanya berpuasa 6 jam 11 menit). Sedangkan pada akhir Ramadan, 28 Januari, shubuh pukul 5:42 dan maghrib pukul 14:18.
Dalam kasus malam panjang ini, cara yang terbaik dalam menjabarkan jawaban Nabi (sebagai qiyas) untuk memperkirakan waktunya adalah dengan interpolasi (teknik matematika untuk mengisi data kosong antara dua data yang diketahui). Dengan interpolasi, awal puasa antara pukul 05:54 dan 06:13, tergantung tanggalnya. Demikian juga untuk maghrib antara pukul 11:37 dan 12:24, tergantung tanggalnya.
Kasus ekstrim seperti itu untungnya tidak terjadi selamanya. Adanya perbedaan panjang tahun qamariyah (kalender bulan) dan tahun syamsiah (kalender matahari) menyebabkan awal Ramadan dam hari raya selalau bergeser sekitar 11 hari lebih awal. Sehingga bila Ramadan jatuh pada sekitar bulan Maret dan September, semuanya berjalan normal lagi, seperti halnya puasa di daerah ekuator. Pada sekitar bulan Maret dan September, panjang siang dan malam hampir sama di seluruh dunia.
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Dari uraian diatas penulis dapat menyimpulkan beberapa hal penting yaitu :
1. Persepsi siang hari bagi orang yang tinggal di daerah tropis adalah kondisi terang karena terdapat sinar matahari, sedangkan malam adalah kondisi gelap-gulita, tanpa ada sinar matahari karena sinar tersebut telah tenggelam di bawah horizon. Dan orang-orang yang tinggal tanpa ada sinar matahari atau lama matahari bersinar sangat pendek itu, maka mereka tidak harus meninggalkan kewajiban berpuasa karena Allah Swt itu serba Maha. Dalam memberikan kewajiban terhadap hamba-hamba-Nya, telah diperhitungkan dengan sangat cermat.
2. Agama Islam yang diturunkan-Nya, bersifat sempurna , supel, dan universal. Nabi Muhammad Saw memang diturunkan di daerah tropis, dan kita juga tinggal di negara yang beriklim tropis, tentu tidak akan mengalami kendala dalam hal waktu siang dan malam. Kita bisa menjalankan puasa seperti yang pernah dicontohkan Rasulullah SAW di daerah tropis. Tetapi bagi orang-orang yang tinggal di daerah beriklim subtropis, sejuk, dan dingin, serta orang yang pergi ke luar angkasa, tentunya berbeda dalam menghadapi waktu siang dan malam yang lamanya tidak proporsional (siang 12 jam, malam 12 jam).
3. Daerah dekat Kutub Utara atau Selatan tidak memiliki keseimbangan siang dan malam. Malam atau siangnya bisa menjadi lebih lama. Matahari tidak terbit atau tidak tenggelam selama beberapa bulan. Lalu, apakah orang-orang yang tinggal di sana harus berpuasa selama 20 jam atau lebih ketika musim panas? Atau cuma 3–4 jam ketika musim dingin? Atau justru tidak berpuasa karena tidak ada sinar matahari sehingga gelap terus? Keadaan tersebut memang tidak terjadi pada masa Rasulullah SAW sehingga dalam menerapkan fikih tidak bisa diambil serta-merta apa adanya. Maka itu disusunlah oleh para Ulama akan hukum-hukum atau fatwa-fatwa mengenai tata cara berpuasanya yang benar dan tepat sesuai bagi orang yang tinggal di daerah abnormal itu.
B. Saran
Setelah disampaikan kesimpulan-kesimpulan diatas, penulis merasa perlu untuk menyampaikan beberapa saran yaitu :
1. Orang-orang yang tinggal di daerah selain tropis tetap harus bisa menjalankan puasa tanpa mempersulit/memberatkan pelaksanaan ibadah tersebut karena Islam merupakan agama yang fitrah. Jadi, ajaran-ajaran yang ada di dalamnya bisa dilaksanakan sesuai dengan kemampuan manusia dan konteks perkembangan zaman.
2. Daerah tropis harus bisa dijadikan sebagai pedoman waktu puasa karena memang Islam diturunkan di daerah tropis. Maksudnya, berpedoman pada pergerakan matahari di daerah tropis yang dikonversi ke dalam bentuk jam. Hal ini berdasarkan pada konsep garis bujur karena seluruh wilayah di permukaan bumi ini akan berada pada jam yang sama jika terletak di garis bujur yang sama pula. Jadi, puasa bisa dilaksanakan pada kondisi gelap (malam) asalkan sama jamnya dengan daerah lain yang terang (siang) karena berada di garis bujur yang sama.
3. Untuk kondisi di luar angkasa, puasa juga harus bisa dilakukan dengan berpedoman pada jam universal. Puasa memang bisa dilaksanakan di belahan bumi manapun dan waktunya tidak memberatkan. Mahasuci Allah yang telah menurunkan Islam dengan rahmatan lil’alamin (rahmat bagi seluruh alam). Segala perintah-Nya telah diperhitungkan dengan sangat cermat sehingga tidak memberatkan hamba-hamba-Nya karena Allah menghendaki kemudahan dan tidak menghendaki kesukaran bagi umat-Nya.
Demikianlah makalah ini penulis buat untuk memenuhi salah satu syarat mengikuti ujian akhir semester pada Jurusan Pendidikan Agama Islam semester III B. Apabila dalam penulisan makalah ini terdapat kekurangan penulis meminta kepada pembaca umumnya dan khususnya kepada bapak dosen mata kuliah Materi PAI ini untuk memberikan saran dan kritik yang membangun untuk makalah ini. Mudah-mudahan Allah Swt senantiasa memberkahi kita semua. Amin ya Rabbal ‘Alamin.
DAFTAR PUSTAKA
Departemen Agama. Al-Qur'an dan Terjemahannya. 1989. Semarang: Toha Putera.
Rasjid, Sulaiman. Fiqih Islam. 2003. Bandung: Sinar Baru Algensindo.
Multazam, M. Fiqih Syafi’i. 1984. CV.Gresik Surabaya: Bintang Pelajar.
Susiknan, Azhari. Ensiklopedi Hisab Rukyat. 2005. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar