Jumat, 05 Maret 2010

Agar Bidan Tak Tinggalkan Desa

Program bidan desa yang digulirkan pemerintah pada 1994, dalam perjalanannya, ternyata mengalami penyusutan. Cukup banyak bidan yang meninggalkan posnya tanpa mau memperpanjang masa kontraknya yang tiga tahun. ”Kini, jumlah bidan desa hanya 30 ribuan,” ungkap Ketua Umum Ikatan Bidan Indonesia (IBI), Ny Wastidar Musbir. Angka ini jauh dari ideal jika dibandingkan dengan jumlah desa di Indonesia yang 65 ribu. ”Idealnya satu desa satu bidan,” sambungnya.

Penyebab para bidan itu lari dari desa dengan tidak melanjutkan kontrak, alasan yang mengemuka adalah ikut suami atau melanjutkan sekolah. Tapi, jika status dan kesejahteraan mereka ditingkatkan, keadannya akan lain. Karena itu, IBI menuntut adanya perhatian besar terhadap bidan desa. ”Mereka seharusnya diangkat saja jadi pegawai negeri,” kata Wastidar.

Dengan berstatus PNS, menurut bidan senior itu, mereka menjadi merasa punya pegangan untuk jaminan masa depan. Sebab, dengan hanya bidan kontrak, selain kelak tak akan mendapat pensiun, honor yang mereka terima pun hanya sekitar Rp 500 ribu per bulan.

Biaya hidup di desa memang murah. Tapi, seringkali bidan desa harus rela memberikan ’subsidi’ untuk pasien persalinan yang umumnya berekonomi lemah. Belum lagi biaya transportasi yang tinggi karena medan yang jauh dan berat.

Lantas, kata Wastidar, untuk meningkatkan kualitas, pemerintah secara terprogram harus melakukan pembinaaan lewat pendidikan dan latihan (diklat). Ini agar mereka tidak ada alasan lagi untuk melanjutkan sekolah dengan meninggalkan tugas sebagai bidan desa. ”Selama ini, pelatihan-pelatihan bagi bidan belum merata,” kata Wastidar.

IBI khawatir, menyusutnya bidan desa menimbulkan makin banyak proses persalinan yang tidak terlayani tenaga kesehatan. Lantas, mereka berbalik menggunakan jasa dukun beranak yang tidak terdidik secara medis.
”Tingginya kematian pada proses persalinan, salah satu penyebabnya karena kurangnya tenaga bidan,” kata Wastidar.

Di Indonesia, ungkap Wastidar, tingkat kematian ibu dan anak dalam proses persalinan masih sangat tinggi. Menurut data Depkes tahun 1997, jumlahnya sebanyak 373 kasus per 100 ribu kelahiran. ”Survei terakhir pada 2000, datanya belum keluar,” katanya.

Betapa masih tingginya angka kematian ibu dan anak di Indonesia, untuk membandingkannya, tidak perlu jauh-jauh. Filipina hanya mencatat 70 kasus, Malaysia 40 kasus, dan Singapura 2 kasus per 100 ribu kelahiran.

1 komentar: