Rabu, 17 Maret 2010

PERSPEKTIF DALAM PSIKOLOGI SOSIAL

April 1, 2009 — Wahidin

PERSPEKTIF DALAM PSIKOLOGI SOSIAL

Hasan Mustafa

Pengantar :

Tulisan ini disusun sebagai upaya membantu mahasiswa memahami isi mata kuliah Psikologi Sosial pada program studi Administrasi Negara Fisip Unpar. Acuan uraian ini adalah buku yang ditulis oleh James A. Wiggins, Beverly B. Wiggins, dan James Vander Zanden ( 1994), dilengkapi oleh sumber bacaan lain. Topik lain yang juga merupakan pokok bahasan dalam mata kuliah tersebut akan segera disusun. Semoga bermanfaat.

Akar awal Psikologi Sosial

Walau psikologi sosial merupakan disiplin yang telah lama ada ( sejak Plato dan Aristotle), namun secara resmi, disiplin ini menjadi satu ilmu yang mandiri baru sejak tahun 1908. Pada tahun itu ada dua buku teks yang terkenal yaitu “Introduction to Social Psychology” ditulis oleh William McDougall – seorang psikolog – dan “Social Psychology : An Outline and Source Book , ditulis oleh E.A. Ross – seorang sosiolog.

Berdasarkan latar belakang penulisnya maka dapat dipahami bahwa psikologi sosial bisa di”claim” sebagai bagian dari psikologi, dan bisa juga sebagai bagian dari sosiologi.

Psikologi sosial juga merupakan pokok bahasan dalam sosiologi karena dalam sosiologi dikenal ada dua perspektif utama, yaitu perspektif struktural makro yang menekankan kajian struktur sosial, dan perspektif mikro yang menekankan pada kajian individualistik dan psikologi sosial dalam menjelaskan variasi perilaku manusia.. Di Amerika disiplin ini banyak dibina oleh jurusan sosiologi – di American Sociological Association terdapat satu bagian yang dinamakan “social psychological section“, sedangkan di Indonesia, secara formal disiplin psikologi sosial di bawah binaan fakultas psikologi, namun dalam prakteknya tidak sedikit para pakar sosiologi yang juga menguasai disiplin ini sehingga dalam berbagai tulisannya, cara pandang psikologi sosial ikut mewarnainya.

Apakah perbedaan di antara Sosiologi dan Psikologi ??

Kita sering berpikir bahwa yang namanya dunia psikologi adalah dunia yang

berkaitan dengan persoalan perasaan, motivasi, kepribadian, dan yang sejenisnya.

Dan kalau berpikir tentang sosiologi, secara umum cenderung memikirkan persoalan

kemasyarakatan. Kajian utama psikologi adalah pada persoalan kepribadian, mental,

perilaku, dan dimensi-dimensi lain yang ada dalam diri manusia sebagai individu.

Sosiologi lebih mengabdikan kajiannya pada budaya dan struktur sosial yang

keduanya mempengaruhi interaksi, perilaku, dan kepribadian. Kedua bidang ilmu

tersebut bertemu di daerah yang dinamakan psikologi sosial . Dengan demikian para

psikolog berwenang merambah bidang ini, demikian pula para sosiolog. Namun

karena perbedaan latar belakang maka para psikolog akan menekankan pengaruh

situasi sosial terhadap proses dasar psikologikal – persepsi kognisi emosi dan

2

Pertanyaan yang paling mendasar yang senantiasa menjadi kajian dalam psikologi

sosial adalah : ” Bagaimana kita dapat menjelaskan pengaruh orang lain terhadap perilaku

kita?’”. Misalnya di Prancis, para analis sosial sering mengajukan pertanyaan mengapa

pada saat revolusi Prancis, perilaku orang menjadi cenderung emosional ketimbang

rasional? Demikian juga di Jerman dan Amerika Serikat dilakukan studi tentang

kehadiran orang lain dalam memacu prestasi seseorang . Misalnya ketika seorang anak

belajar seorang diri dan belajar dalam kelompok, bisa menunjukan prestasi lebih baik

dibandingkan ketika mereka belajar sendiri. Gordon Allport (1968) menjelaskan bahwa

seorang boleh disebut sebagai psikolog sosial jika dia “berupaya memahami,

menjelaskan, dan memprediksi bagaimana pikiran, perasaan, dan tindakan individuindividu

dipengaruhi oleh pikiran, perasaan, dan tindakan-tindakan orang lain yang

dilihatnya, atau bahkan hanya dibayangkannya”

Teori-teori awal yang dianggap mampu menjelaskan perilaku seseorang, difokuskan

pada dua kemungkinan (1) perilaku diperoleh dari keturunan dalam bentuk instinkinstink

biologis – lalu dikenal dengan penjelasan “nature” - dan (2) perilaku bukan

diturunkan melainkan diperoleh dari hasil pengalaman selama kehidupan mereka -

3

dikenal dengan penjelasan “nurture”. Penjelasan “nature” dirumuskan oleh ilmuwan

Inggris Charles Darwin pada abad kesembilan belas di mana dalam teorinya

dikemukakan bahwa semua perilaku manusia merupakan serangkaian instink yang

diperlukan agar bisa bertahan hidup. Mc Dougal sebagai seorang psikolog cenderung

percaya bahwa seluruh perilaku sosial manusia didasarkan pada pandangan ini

(instinktif).

Namun banyak analis sosial yang tidak percaya bahwa instink merupakan sumber

perilaku sosial. Misalnya William James, seorang psikolog percaya bahwa walau instink

merupakan hal yang mempengaruhi perilaku sosial, namun penjelasan utama cenderung

ke arah kebiasaan - yaitu pola perilaku yang diperoleh melalui pengulangan sepanjang

kehidupan seseorang. Hal ini memunculkan “nurture explanation”. Tokoh lain yang juga

seorang psikolog sosial, John Dewey mengatakan bahwa perilaku kita tidak sekedar

muncul berdasarkan pengalaman masa lampau, tetapi juga secara terus menerus berubah

atau diubah oleh lingkungan – “situasi kita” – termasuk tentunya orang lain.

Berbagai alternatif yang berkembang dari kedua pendekatan tersebut kemudian

memunculkan berbagai perspektif dalam psikologi sosial – seperangkat asumsi dasar

tentang hal paling penting yang bisa dipertimbangkan sebagai sesuatu yang bisa

digunakan untuk memahami perilaku sosial. Ada empat perspektif, yaitu : perilaku

(behavioral perspectives) , kognitif (cognitive perspectives), stuktural (structural

perspectives), dan interaksionis (interactionist perspectives).

Perspektif perilaku dan kognitif lebih banyak digunakan oleh para psikolog sosial

yang berakar pada psikologi. Mereka sering menawarkan jawaban yang berbeda atas

sebuah pertanyaan : “Seberapa besar perhatian yang seharusnya diberikan oleh para

psikolog sosial pada kegiatan mental dalam upayanya memahami perilaku sosial?”.

Perspektif perilaku menekankan, bahwa untuk dapat lebih memahami perilaku seseorang,

seyogianya kita mengabaikan informasi tentang apa yang dipikirkan oleh seseorang.

Lebih baik kita memfokuskan pada perilaku seseorang yang dapat diuji oleh pengamatan

kita sendiri. Dengan mempertimbangkan proses mental seseorang, kita tidak terbantu

memahami perilaku orang tersebut, karena seringkali proses mental tidak reliabel untuk

memprediksi perilaku. Misalnya tidak semua orang yang berpikiran negatif tentang

sesuatu, akan juga berperilaku negatif. Orang yang bersikap negatif terhadap bangsa A

4

misalnya, belum tentu dia tidak mau melakukan hubungan dengan bangsa A tersebut.

Intinya pikiran, perasaan, sikap (proses mental) bukan sesuatu yang bisa menjelaskan

perilaku seseorang.

Sebaliknya, perspektif kognitif menekankan pada pandangan bahwa kita tidak bisa

memahami perilaku seseorang tanpa mempelajari proses mental mereka. Manusia tidak

menanggapi lingkungannya secara otomatis. Perilaku mereka tergantung pada bagaimana

mereka berpikir dan mempersepsi lingkungannya. Jadi untuk memperoleh informasi yang

bisa dipercaya maka proses mental seseorang merupakan hal utama yang bisa

menjelaskan perilaku sosial seseorang.

Perspektif struktural dan interaksionis lebih sering digunakan oleh para psikolog sosial

yang berasal dari disiplin sosiologi. Pertanyaan yang umumnya diajukan adalah : “

Sejauhmana kegiatan-kegiatan individual membentuk interaksi sosial ?”. Perspektif

struktural menekankan bahwa perilaku seseorang dapat dimengerti dengan sangat baik

jika diketahui peran sosialnya. Hal ini terjadi karena perilaku seseorang merupakan reaksi

terhadap harapan orang-orang lain. Seorang mahasiswa rajin belajar, karena masyarakat

mengharapkan agar yang namanya mahasiswa senantiasa rajin belajar. Seorang ayah rajin

bekerja mencari nafkah guna menghidupi keluarganya. Mengapa ? Karena masyarakat

mengharapkan dia berperilaku seperti itu, jika tidak maka dia tidak pantas disebut sebagai

“seorang ayah”. Perspektif interaksionis lebih menekankan bahwa manusia merupakan

agen yang aktif dalam menetapkan perilakunya sendiri, dan mereka yang membangun

harapan-harapan sosial. Manusia bernegosiasi satu sama lainnya untuk membentuk

interaksi dan harapannya. Untuk lebih jelas, di bawah ini diuraikan satu persatu keempat

prespektif dalam psikologi sosial.

1. Perspektif Perilaku (Behavioral Perspective)

Pendekatan ini awalnya diperkenalkan oleh John B. Watson (1941, 1919).

Pendekatan ini cukup banyak mendapat perhatian dalam psikologi di antara tahun 1920-

an s/d 1960-an. Ketika Watson memulai penelitiannya, dia menyarankan agar

pendekatannya ini tidak sekedar satu alternatif bagi pendekatan instinktif dalam

memahami perilaku sosial, tetapi juga merupakan alternatif lain yang memfokuskan pada

pikiran, kesadaran, atau pun imajinasi. Watson menolak informasi instinktif semacam itu,

5

yang menurutnya bersifat “mistik”, “mentalistik”, dan “subyektif”. Dalam psikologi

obyektif maka fokusnya harus pada sesuatu yang “dapat diamati” (observable), yaitu

pada “apa yang dikatakan (sayings) dan apa yang dilakukan (doings)”. Dalam hal ini

pandangan Watson berbeda dengan James dan Dewey, karena keduanya percaya bahwa

proses mental dan juga perilaku yang teramati berperan dalam menyelaskan perilaku

sosial.

Para “behaviorist” memasukan perilaku ke dalam satu unit yang dinamakan

“tanggapan” (responses), dan lingkungan ke dalam unit “rangsangan” (stimuli). Menurut

penganut paham perilaku, satu rangsangan dan tanggapan tertentu bisa berasosiasi satu

sama lainnya, dan menghasilkan satu bentuk hubungan fungsional. Contohnya, sebuah

rangsangan ” seorang teman datang “, lalu memunculkan tanggapan misalnya, “tersenyum”.

Jadi seseorang tersenyum, karena ada teman yang datang kepadanya. Para

behavioris tadi percaya bahwa rangsangan dan tanggapan dapat dihubungkan tanpa

mengacu pada pertimbangan mental yang ada dalam diri seseorang. Jadi tidak terlalu

mengejutkan jika para behaviorisme tersebut dikategorikan sebagai pihak yang

menggunakan pendekatan “kotak hitam (black-box)” . Rangsangan masuk ke sebuah

kotak (box) dan menghasilkan tanggapan. Mekanisme di dalam kotak hitam tadi -

srtuktur internal atau proses mental yang mengolah rangsangan dan tanggapan – karena

tidak dapat dilihat secara langsung (not directly observable), bukanlah bidang kajian para

behavioris tradisional.

Kemudian, B.F. Skinner (1953,1957,1974) membantu mengubah fokus behaviorisme

melalui percobaan yang dinamakan “operant behavior” dan “reinforcement“. Yang

dimaksud dengan “operant condition” adalah setiap perilaku yang beroperasi dalam suatu

lingkungan dengan cara tertentu, lalu memunculkan akibat atau perubahan dalam

lingkungan tersebut. Misalnya, jika kita tersenyum kepada orang lain yang kita hadapi,

lalu secara umum, akan menghasilkan senyuman yang datangnya dari orang lain tersebut.

Dalam kasus ini, tersenyum kepada orang lain tersebut merupakan “operant behavior“.

Yang dimaksud dengan “reinforcement” adalah proses di mana akibat atau perubahan

yang terjadi dalam lingkungan memperkuat perilaku tertentu di masa datang . Misalnya,

jika kapan saja kita selalu tersenyum kepada orang asing (yang belum kita kenal

sebelumnya), dan mereka tersenyum kembali kepada kita, maka muncul kemungkinan

6

bahwa jika di kemudian hari kita bertemu orang asing maka kita akan tersenyum. Perlu

diketahui, reinforcement atau penguat, bisa bersifat positif dan negatif. Contoh di atas

merupakan penguat positif. Contoh penguat negatif, misalnya beberapa kali pada saat kita

bertemu dengan orang asing lalu kita tersenyum dan orang asing tersebut diam saja atau

bahkan menunjukan rasa tidak suka, maka dikemudian hari jika kita bertemu orang asing

kembali, kita cenderung tidak tersenyum (diam saja).

Dalam pendekatan perilaku terdapat teori-teori yang mencoba menjelaskan secara

lebih mendalam mengapa fenomena sosial yang diutarakan dalam pendekatan perilaku

bisa terjadi. Beberapa teori antara lain adalah Teori Pembelajaran Sosial (Social Learning

Theory) dan Teori Pertukaran Sosial (Social Exchange Theory).

a. Teori Pembelajaran Sosial.

Di tahun 1941, dua orang psikolog – Neil Miller dan John Dollard – dalam laporan

hasil percobaannya mengatakan bahwa peniruan (imitation) di antara manusia tidak

disebabkan oleh unsur instink atau program biologis. Penelitian kedua orang tersebut

mengindikasikan bahwa kita belajar (learn) meniru perilaku orang lain. Artinya peniruan

tersebut merupakan hasil dari satu proses belajar, bukan bisa begitu saja karena instink.

Proses belajar tersebut oleh Miller dan Dollard dinamakan “social learning ” -

“pembelajaran sosial”. Perilaku peniruan (imitative behavior) kita terjadi karena kita

merasa telah memperoleh imbalan ketika kita meniru perilaku orang lain, dan

memperoleh hukuman ketika kita tidak menirunya. Agar seseorang bisa belajar

mengikuti aturan baku yang telah ditetapkan oleh masyarakat maka “para individu harus

dilatih, dalam berbagai situasi, sehingga mereka merasa nyaman ketika melakukan apa

yang orang lain lakukan, dan merasa tidak nyaman ketika tidak melakukannya.”,

demikian saran yang dikemukakan oleh Miller dan Dollard.

Dalam penelitiannya, Miller dan Dollard menunjukan bahwa anak-anak dapat belajar

meniru atau tidak meniru seseorang dalam upaya memperoleh imbalan berupa permen.

Dalam percobaannya tersebut, juga dapat diketahui bahwa anak-anak dapat membedakan

orang-orang yang akan ditirunya. Misalnya jika orang tersebut laki-laki maka akan

ditirunya, jika perempuan tidak. Lebih jauh lagi, sekali perilaku peniruan terpelajari

(learned), hasil belajar ini kadang berlaku umum untuk rangsangan yang sama. Misalnya,

7

anak-anak cenderung lebih suka meniru orang-orang yang mirip dengan orang yang

sebelumnya memberikan imbalan. Jadi, kita mempelajari banyak perilaku “baru” melalui

pengulangan perilaku orang lain yang kita lihat. Kita contoh perilaku orang-orang lain

tertentu, karena kita mendapatkan imbalan atas peniruan tersebut dari orang-orang lain

tertentu tadi dan juga dari mereka yang mirip dengan orang-orang lain tertentu tadi, di

masa lampau.

Dua puluh tahun berikutnya, Albert Bandura dan Richard Walters (1959, 1963),

mengusulkan satu perbaikan atas gagasan Miller dan Dollard tentang belajar melalui

peniruan. Bandura dan Walters menyarankan bahwa kita belajar banyak perilaku melalui

peniruan, bahkan tanpa adanya penguat (reinforcement) sekalipun yang kita terima. Kita

bisa meniru beberapa perilaku hanya melalui pengamatan terhadap perilaku model, dan

akibat yang ditimbulkannya atas model tersebut. Proses belajar semacam ini disebut

“observational learning” – pembelajaran melalui pengamatan. Contohnya, percobaan

Bandura dan Walters mengindikasikan bahwa ternyata anak-anak bisa mempunyai

perilaku agresif hanya dengan mengamati perilaku agresif sesosok model, misalnya

melalui film atau bahkan film karton.

Bandura (1971), kemudian menyarankan agar teori pembelajaran sosial seyogianya

diperbaiki lebih jauh lagi. Dia mengatakan bahwa teori pembelajaran sosial yang benarbenar

melulu menggunakan pendekatan perilaku dan lalu mengabaikan pertimbangan

proses mental, perlu dipikirkan ulang. Menurut versi Bandura, maka teori pembelajaran

sosial membahas tentang (1) bagaimana perilaku kita dipengaruhi oleh lingkungan

melalui penguat (reinforcement) dan observational learning, (2) cara pandang dan cara

pikir yang kita miliki terhadap informasi, (3) begitu pula sebaliknya, bagaimana perilaku

kita mempengaruhi lingkungan kita dan menciptakan penguat (reinforcement) dan

observational opportunity - kemungkinan bisa diamati oleh orang lain.

b. Teori Pertukaran Sosial (Social Exchange Theory)

Tokoh-tokoh yang mengembangkan teori pertukaran sosial antara lain adalah

psikolog John Thibaut dan Harlod Kelley (1959), sosiolog George Homans (1961),

Richard Emerson (1962), dan Peter Blau (1964). Berdasarkan teori ini, kita masuk ke

dalam hubungan pertukaran dengan orang lain karena dari padanya kita memperoleh

8

imbalan. Dengan kata lain hubungan pertukaran dengan orang lain akan menghasilkan

suatu imbalan bagi kita. Seperti halnya teori pembelajaran sosial, teori pertukaran sosial

pun melihat antara perilaku dengan lingkungan terdapat hubungan yang saling

mempengaruhi (reciprocal). Karena lingkungan kita umumnya terdiri atas orang-orang

lain, maka kita dan orang-orang lain tersebut dipandang mempunyai perilaku yang saling

mempengaruhi Dalam hubungan tersebut terdapat unsur imbalan (reward), pengorbanan

(cost) dan keuntungan (profit). Imbalan merupakan segala hal yang diperloleh melalui

adanya pengorbanan, pengorbanan merupakan semua hal yang dihindarkan, dan

keuntungan adalah imbalan dikurangi oleh pengorbanan. Jadi perilaku sosial terdiri atas

pertukaran paling sedikit antar dua orang berdasarkan perhitungan untung-rugi. Misalnya,

pola-pola perilaku di tempat kerja, percintaan, perkawinan, persahabatan – hanya akan

langgeng manakala kalau semua pihak yang terlibat merasa teruntungkan. Jadi perilaku

seseorang dimunculkan karena berdasarkan perhitungannya, akan menguntungkan bagi

dirinya, demikian pula sebaliknya jika merugikan maka perilaku tersebut tidak

ditampilkan.

Berdasarkan keyakinan tersebut Homans dalam bukunya “Elementary Forms of Social

Behavior, 1974 mengeluarkan beberapa proposisi dan salah satunya berbunyi :”Semua

tindakan yang dilakukan oleh seseorang, makin sering satu bentuk tindakan tertentu

memperoleh imbalan, makin cenderung orang tersebut menampilkan tindakan tertentu

tadi “. Proposisi ini secara eksplisit menjelaskan bahwa satu tindakan tertentu akan

berulang dilakukan jika ada imbalannya. Proposisi lain yang juga memperkuat proposisi

tersebut berbunyi : “Makin tinggi nilai hasil suatu perbuatan bagi seseorang, makin

besar pula kemungkinan perbuatan tersebut diulanginya kembali”. Bagi Homans, prinsip

dasar pertukaran sosial adalah “distributive justice” – aturan yang mengatakan bahwa

sebuah imbalan harus sebanding dengan investasi. Proposisi yang terkenal sehubungan

dengan prinsip tersebut berbunyi ” seseorang dalam hubungan pertukaran dengan orang

lain akan mengharapkan imbalan yang diterima oleh setiap pihak sebanding dengan

pengorbanan yang telah dikeluarkannya – makin tingghi pengorbanan, makin tinggi

imbalannya – dan keuntungan yang diterima oleh setiap pihak harus sebanding dengan

investasinya - makin tinggi investasi, makin tinggi keuntungan”.

9

Inti dari teori pembelajaran sosial dan pertukaran sosial adalah perilaku sosial

seseorang hanya bisa dijelaskan oleh sesuatu yang bisa diamati, bukan oleh proses

mentalistik (black-box). Semua teori yang dipengaruhi oleh perspektif ini menekankan

hubungan langsung antara perilaku yang teramati dengan lingkungan.

2. Perspektif Kognitif (The Cognitive Perspective)

Kita telah memberikan indikasi bahwa kebiasaan (habit) merupakan penjelasan

alternatif yang bisa digunakan untuk memahami perilaku sosial seseorang di samping

instink (instinct). Namun beberapa analis sosial percaya bahwa kalau hanya kedua hal

tersebut (kebiasaan dan instink) yang dijadikan dasar, maka dipandang terlampau ekstrem

- karena mengabaikan kegiatan mental manusia.

Seorang psikolog James Baldwin (1897) menyatakan bahwa paling sedikit ada dua

bentuk peniruan, satu didasarkan pada kebiasaan kita dan yang lainnya didasarkan pada

wawasan kita atas diri kita sendiri dan atas orang lain yang perilakunya kita tiru. Walau

dengan konsep yang berbeda seorang sosiolog Charles Cooley (1902) sepaham dengan

pandangan Baldwin. Keduanya memfokuskan perhatian mereka kepada perilaku sosial

yang melibatkan proses mental atau kognitif .

Kemudian banyak para psikolog sosial menggunakan konsep sikap (attitude) untuk

memahami proses mental atau kognitif tadi. Dua orang sosiolog W.I. Thomas dan Florian

Znaniecki mendefinisikan psikologi sosial sebagai studi tentang sikap, yang diartikannya

sebagai proses mental individu yang menentukan tanggapan aktual dan potensial individu

dalam dunia sosial”. Sikap merupakan predisposisi perilaku. Beberapa teori yang

melandasi perpektif ini antara lain adalah Teori Medan (Field Theory), Teori Atribusi

dan Konsistensi Sikap (Concistency Attitude and Attribution Theory), dan Teori Kognisi

Kontemporer.

a. Teori Medan (Field Theory)

Seorang psikolog, Kurt Lewin (1935,1936) mengkaji perilaku sosial melalui

pendekatan konsep “medan”/”field” atau “ruang kehidupan” – life space. Untuk

memahami konsep ini perlu dipahami bahwa secara tradisional para psikolog

memfokuskan pada keyakinan bahwa karakter individual (instink dan kebiasaan), bebas -

10

lepas dari pengaruh situasi di mana individu melakukan aktivitas. Namun Lewin kurang

sepaham dengan keyakinan tersebut. Menurutnya penjelasan tentang perilaku yang tidak

memperhitungkan faktor situasi, tidaklah lengkap. Dia merasa bahwa semua peristiwa

psikologis apakah itu berupa tindakan, pikiran, impian, harapan, atau apapun,

kesemuanya itu merupakan fungsi dari “ruang kehidupan”- individu dan lingkungan

dipandang sebagai sebuah konstelasi yang saling tergantung satu sama lainnya. Artinya

“ruang kehidupan” merupakan juga merupakan determinan bagi tindakan, impian,

harapan, pikiran seseorang. Lewin memaknakan “ruang kehidupan” sebagai seluruh

peristiwa (masa lampau, sekarang, masa datang) yang berpengaruh pada perilaku dalam

satu situasi tertentu.

Bagi Lewin, pemahaman atas perilaku seseorang senantiasa harus dikaitkan dengan

konteks – lingkungan di mana perilaku tertentu ditampilkan. Intinya, teori medan

berupaya menguraikan bagaimana situasi yang ada (field) di sekeliling individu

bepengaruh pada perilakunya. Sesungguhnya teori medan mirip dengan konsep “gestalt”

dalam psikologi yang memandang bahwa eksistensi bagian-bagian atau unsur-unsur tidak

bisa terlepas satu sama lainnya. Misalnya, kalau kita melihat bangunan, kita tidak

melihat batu bata, semen, kusen, kaca, secara satu persatu. Demikian pula kalau kita

mempelajari perilaku individu, kita tidak bisa melihat individu itu sendiri, lepas dari

konteks di mana individu tersebut berada.

b. Teori Atribusi dan Konsistensi Sikap ( Attitude Consistency and Attribution

Theory)

Fritz Heider (1946, 1958), seorang psikolog bangsa Jerman mengatakan bahwa kita

cenderung mengorganisasikan sikap kita, sehingga tidak menimbulkan konflik.

Contohnya, jika kita setuju pada hak seseorang untuk melakukan aborsi, seperti juga

orang-orang lain, maka sikap kita tersebut konsisten atau seimbang (balance). Namun

jika kita setuju aborsi tetapi ternyata teman-teman dekat kita dan juga orang-orang di

sekeliling kita tidak setuju pada aborsi maka kita dalam kondisi tidak seimbang

(imbalance). Akibatnya kita merasa tertekan (stress), kurang nyaman, dan kemudian kita

akan mencoba mengubah sikap kita, menyesuaikan dengan orang-orang di sekitar kita,

misalnya dengan bersikap bahwa kita sekarang tidak sepenuhnya setuju pada aborsi.

11

Melalui pengubahan sikap tersebut, kita menjadi lebih nyaman. Intinya sikap kita

senantiasa kita sesuaikan dengan sikap orang lain agar terjadi keseimbangan karena

dalam situasi itu, kita menjadi lebih nyaman.

Heider juga menyatakan bahwa kita mengorganisir pikiran-pikiran kita dalam

kerangka “sebab dan akibat”. Agar supaya bisa meneruskan kegiatan kita dan

mencocokannya dengan orang-orang di sekitar kita, kita mentafsirkan informasi untuk

memutuskan penyebab perilaku kita dan orang lain. Heider memperkenalkan konsep

“causal attribution” - proses penjelasan tentang penyebab suatu perilaku. Mengapa Tono

pindah ke kota lain ?, Mengapa Ari keluar dari sekolah ?. Kita bisa menjelaskan perilaku

sosial dari Tono dan Ari jika kita mengetahui penyebabnya. Dalam kehidupan seharihari,

kita bedakan dua jenis penyebab, yaitu internal dan eksternal. Penyebab internal

(internal causality) merupakan atribut yang melekat pada sifat dan kualitas pribadi atau

personal, dan penyebab external (external causality) terdapat dalam lingkungan atau

situasi.

c. Teori Kognitif Kontemporer

Dalam tahun 1980-an, konsep kognisi, sebagian besarnya mewarnai konsep sikap.

Istilah “kognisi” digunakan untuk menunjukan adanya proses mental dalam diri

seseorang sebelum melakukan tindakan. Teori kognisi kontemporer memandang manusia

sebagai agen yang secara aktif menerima, menggunakan, memanipulasi, dan mengalihkan

informasi. Kita secara aktif berpikir, membuat rencana, memecahkan masalah, dan

mengambil keputusan. Manusia memproses informasi dengan cara tertentu melalui

struktur kognitif yang diberi istilah “schema” (Markus dan Zajonc, 1985 ; Morgan dan

Schwalbe, 1990; Fiske and Taylor, 1991). Struktur tersebut berperan sebagai kerangka

yang dapat menginterpretasikan pengalaman-pengalaman sosial yang kita miliki. Jadi

struktur kognisi bisa membantu kita mencapai keterpaduan dengan lingkungan, dan

membantu kita untuk menyusun realitas sosial. Sistem ingatan yang kita miliki

diasumsikan terdiri atas struktur pengetahuan yang tak terhitung jumlahnya.

Intinya, teori-teori kognitif memusatkan pada bagaiamana kita memproses informasi

yang datangnya dari lingkungan ke dalam struktur mental kita Teori-teori kognitif

percaya bahwa kita tidak bisa memahami perilaku sosial tanpa memperoleh informasi

12

tentang proses mental yang bisa dipercaya, karena informasi tentang hal yang obyektif,

lingkungan eksternal belum mencukupi.

3. Perspektif Struktural

Telah kita catat bahwa telah terjadi perdebatan di antara para ilmuwan sosial dalam

hal menjelaskan perilaku sosial seseorang. Untuk menjelaskan perilaku sosial seseorang

dapat dikaji sebagai sesuatu proses yang (1) instinktif, (2) karena kebiasaan, dan (3)

juga yang bersumber dari proses mental. Mereka semua tertarik, dan dengan cara sebaik

mungkin lalu menguraikan hubungan antara masyarakat dengan individu. William James

dan John Dewey menekankan pada penjelasan kebiasaan individual, tetapi mereka juga

mencatat bahwa kebiasaan individu mencerminkan kebiasaan kelompok – yaitu adatistiadat

masyarakat – atau strutur sosial . Para sosiolog yakin bahwa struktur sosial terdiri

atas jalinan interaksi antar manusia dengan cara yang relatif stabil. Kita mewarisi struktur

sosial dalam satu pola perilaku yang diturunkan oleh satu generasi ke generasi

berikutnya, melalui proses sosialisasi. Disebabkan oleh struktur sosial, kita mengalami

kehidupan sosial yang telah terpolakan. James menguraikan pentingnya dampak struktur

sosial atas “diri” (self) – perasaan kita terhadap diri kita sendiri. Masyarakat

mempengaruhi diri – self.

Sosiolog lain Robert Park dari Universitas Chicago memandang bahwa masyarakat

mengorganisasikan, mengintegrasikan, dan mengarahkan kekuatan-kekuatan individuindividu

ke dalam berbagai macam peran (roles). Melalui peran inilah kita menjadi tahu

siapa diri kita. Kita adalah seorang anak, orang tua, guru, mahasiswa, laki-laki,

perempuan, Islam, Kristen. Konsep kita tentang diri kita tergantung pada peran yang kita

lakukan dalam masyarakat. Beberapa teori yang melandasi persektif strukturan adalah

Teori Peran (Role Theory), Teori Pernyataan – Harapan (Expectation-States Theory), dan

Posmodernisme (Postmodernism)

a. Teori Peran (Role Theory)

Walau Park menjelaskan dampak masyarakat atas perilaku kita dalam hubungannya

dengan peran, namun jauh sebelumnya Robert Linton (1936), seorang antropolog, telah

mengembangkan Teori Peran. Teori Peran menggambarkan interaksi sosial dalam

13

terminologi aktor-aktor yang bermain sesuai dengan apa-apa yang ditetapkan oleh

budaya. Sesuai dengan teori ini, harapan-harapan peran merupakan pemahaman bersama

yang menuntun kita untuk berperilaku dalam kehidupan sehari-hari. Menurut teori ini,

seseorang yang mempunyai peran tertentu misalnya sebagai dokter, mahasiswa, orang

tua, wanita, dan lain sebagainya, diharapkan agar seseorang tadi berperilaku sesuai

dengan peran tersebut. Mengapa seseorang mengobati orang lain, karena dia adalah

seorang dokter. Jadi karena statusnya adalah dokter maka dia harus mengobati pasien

yang datang kepadanya. Perilaku ditentukan oleh peran sosial

Kemudian, sosiolog yang bernama Glen Elder (1975) membantu memperluas

penggunaan teori peran. Pendekatannya yang dinamakan “life-course” memaknakan

bahwa setiap masyarakat mempunyai harapan kepada setiap anggotanya untuk

mempunyai perilaku tertentu sesuai dengan kategori-kategori usia yang berlaku dalam

masyarakat tersebut. Contohnya, sebagian besar warga Amerika Serikat akan menjadi

murid sekolah ketika berusia empat atau lima tahun, menjadi peserta pemilu pada usia

delapan belas tahun, bekerja pada usia tujuh belah tahun, mempunyai istri/suami pada

usia dua puluh tujuh, pensiun pada usia enam puluh tahun. Di Indonesia berbeda. Usia

sekolah dimulai sejak tujuh tahun, punya pasangan hidup sudah bisa usia tujuh belas

tahun, pensiun usia lima puluh lima tahun. Urutan tadi dinamakan “tahapan usia” (age

grading). Dalam masyarakat kontemporer kehidupan kita dibagi ke dalam masa kanakkanak,

masa remaja, masa dewasa, dan masa tua, di mana setiap masa mempunyai

bermacam-macam pembagian lagi.

b. Teori Pernyataan Harapan (Expectation-States Theory)

Teori ini diperkenalkan oleh Joseph Berger dan rekan-rekannya di Universitas

Stanford pada tahun 1972. Jika pada teori peran lebih mengkaji pada skala makro, yaitu

peran yang ditetapkan oleh masyarakat, maka pada teori ini berfokus pada kelompok

kerja yang lebih kecil lagi. Menurut teori ini, anggota-anggota kelompok membentuk

harapan-harapan atas dirinya sendiri dan diri anggota lain, sesuai dengan tugas-tugas

yang relevan dengan kemampuan mereka, dan harapan-harapan tersebut mempengaruhi

gaya interaksi di antara anggota-anggota kelompok tadi. Sudah tentu atribut yang paling

berpengaruh terhadap munculnya kinerja yang diharapkan adalah yang berkaitan dengan

14

ketrampilan kerjanya. Anggota-anggota kelompok dituntut memiliki motivasi dan

ketrampilan yang diperlukan untuk menyelesaikan tugas-tugas kelompok yang

diharapkan bisa ditampilkan sebaik mungkin.

Bagaimanapun juga, kita sering kekurangan informasi tentang kemampuan yang

berkaitan dengan tugas yang relevan, dan bahkan ketika kita memiliki informasi, yang

muncul adalah bahwa kita juga harus mendasarkan harapan kita pada atribut pribadi dan

kelompok seperti : jenis kelamin, ras, dan usia. Dalam beberapa masyarakat tertentu,

beberapa atribut pribadi dinilai lebih penting daripada atribut lainnya. Untuk menjadi

pemimpin, jenis kelamin kadang lebih diprioritaskan ketimbang kemampuan. Di

Indonesia, untuk menjadi presiden, ras merupakan syarat pertama yang harus dipenuhi.

Berger menyebut gejala tersebut sebagai “difusi karakteristik status”; karakteristik status

mempengaruhi harapan kelompok kerja. Status laki-laki lebih tinggi dibanding

perempuan dalam soal menjadi pemimpin, warganegara pribumi asli lebih diberi tempat

menduduki jabatan presiden. Difusi karakteristik status tersebut ( jenis kelamin, ras, usia,

dan lainnya) dengan demikian, mempunyai pengaruh yang kuat terhadap interaksi sosial.

c. Posmodernisme (Postmodernism)

Baik teori peran maupun teori pernyataan-harapan, keduanya menjelaskan perilaku

sosial dalam kaitannya dengan harapan peran dalam masyarakat kontemporer. Beberapa

psikolog lainnya justru melangkah lebih jauh lagi. Pada dasarnya teori posmodernisme

atau dikenal dengan singkatan “POSMO” merupakan reaksi keras terhadap dunia

modern. Teori Posmodernisme, contohnya, menyatakan bahwa dalam masyarakat

modern, secara gradual seseorang akan kehilangan individualitas-nya – kemandiriannya,

konsep diri, atau jati diri. (Denzin, 1986; Murphy, 1989; Dowd, 1991; Gergen, 1991) .

Dalam pandangan teori ini upaya kita untuk memenuhi peran yang dirancangkan untuk

kita oleh masyarakat, menyebabkan individualitas kita digantikan oleh kumpulan citra

diri yang kita pakai sementara dan kemudian kita campakkan..

Berdasarkan pandangan posmodernisme, erosi gradual individualitas muncul

bersamaan dengan terbitnya kapitalisme dan rasionalitas. Faktor-faktor ini mereduksi

pentingnya hubungan pribadi dan menekankan aspek nonpersonal. Kapitalisme atau

modernisme, menurut teori ini, menyebabkan manusia dipandang sebagai barang yang

15

bisa diperdagangkan – nilainya (harganya) ditentukan oleh seberapa besar yang bisa

dihasilkannya.

Setelah Perang Dunia II, manusia makin dipandang sebagai konsumen dan juga

sebagai produsen. Industri periklanan dan masmedia menciptakan citra komersial yang

mampu mengurangi keanekaragaman individualitas. Kepribadian menjadi gaya hidup.

Manusia lalu dinilai bukan oleh kepribadiannya tetapi oleh seberapa besar

kemampuannya mencontoh gaya hidup. Apa yang kita pertimbangkan sebagai “ pilihan

kita sendiri” dalam hal musik, makanan, dan lain-lainnya, sesungguhnya merupakan

seperangkat kegemaran yang diperoleh dari kebudayaan yang cocok dengan tempat kita

dalam struktur ekonomi masyarakat kita. Misalnya, kesukaan remaja Indonesia terhadap

musik “rap” tidak lain adalah disebabkan karena setiap saat telinga mereka dijejali oleh

musik tersebut melalui radio, televisi, film, CD, dan lain sebagainya. Gemar musik “rap”

menjadi gaya hidup remaja. Lalu kalau mereka tidak menyukai musik “rap”, dia bukan

remaja. Perilaku seseorang ditentukan oleh gaya hidup orang-orang lain yang ada di

sekelilingnya , bukan oleh dirinya sendiri. Kepribadiannya hilang individualitasnya

lenyap. Itulah manusia modern, demikian menurut pandangan penganut “posmo”.

Intinya, teori peran, pernyataan-harapan, dan posmodernisme memberikan ilustrasi

perspektif struktural dalam hal bagaimana harapan-harapan masyarakat mempengaruhi

perilaku sosial individu. Sesuai dengan perspektif ini, struktur sosial – pola interaksi yang

sedang terjadi dalam masyarakat – sebagian besarnya pembentuk dan sekaligus juga

penghambat perilaku individual. Dalam pandangan ini, individu mempunyai peran yang

pasif dalam menentukan perilakunya. Individu bertindak karena ada kekuatan struktur

sosial yang menekannya.

4. Perspektif Interaksionis (Interactionist Perspective)

Seorang sosiolog yang bernama George Herbert Mead (1934) yang mengajar

psiokologi sosial pada departemen filsafat Universitas Chicago, mengembangkan teori

ini. Mead percaya bahwa keanggotaan kita dalam suatu kelompok sosial menghasilkan

perilaku bersama yang kita kenal dengan nama budaya. Dalam waktu yang bersamaan,

dia juga mengakui bahwa individu-individu yang memegang posisi berbeda dalam suatu

kelompok, mempunyai peran yang berbeda pula, sehingga memunculkan perilaku yang

16

juga berbeda. Misalnya, perilaku pemimpin berbeda dengan pengikutnya. Dalam kasus

ini, Mead tampak juga seorang strukturis. Namun dia juga menentang pandangan bahwa

perilaku kita melulu dipengaruhi oleh lingkungan sosial atau struktur sosial. Sebaliknya

Mead percaya bahwa kita sebagai bagian dari lingkungan sosial tersebut juga telah

membantu menciptakan lingkungan tersebut. Lebih jauh lagi, dia memberi catatan bahwa

walau kita sadar akan adanya sikap bersama dalam suatu kelompok/masyarakat, namun

hal tersebut tidaklah berarti bahwa kita senantiasa berkompromi dengannya.

Mead juga tidak setuju pada pandangan yang mengatakan bahwa untuk bisa

memahami perilaku sosial, maka yang harus dikaji adalah hanya aspek eksternal

(perilaku yang teramati) saja. Dia menyarankan agar aspek internal (mental) sama

pentingnya dengan aspek eksternal untuk dipelajari. Karena dia tertarik pada aspek

internal dan eksternal atas dua atau lebih individu yang berinteraksi, maka dia menyebut

aliran perilakunya dengan nama “social behaviorism”. Dalam perspektif interaksionis ada

beberapa teori yang layak untuk dibahas yaitu Teori Interaksi Simbolis (Symbolic

Interaction Theory), dan Teori Identitas (Identity Theory).

a. Teori Interaksi Simbolis (Symbolic Interaction Theory)

Walau Mead menyarankan agar aspek internal juga dikaji untuk bisa memahami

perilaku sosial, namun hal tersebut bukanlah merupakan minat khususnya. Justru dia

lebih tertarik pada interaksi, di mana hubungan di antara gerak-isyarat (gesture) tertentu

dan maknanya, mempengaruhi pikiran pihak-pihak yang sedang berinteraksi. Dalam

terminologi Mead, gerak-isyarat yang maknanya diberi bersama oleh semua pihak yang

terlibat dalam interaksi adalah merupakan “satu bentuk simbol yang mempunyai arti

penting” ( a significant symbol”). Kata-kata dan suara-lainnya, gerakan-gerakan fisik,

bahasa tubuh (body langguage), baju, status, kesemuanya merupakan simbol yang

bermakna.

Mead tertarik mengkaji interaksi sosial, di mana dua atau lebih individu berpotensi

mengeluarkan simbol yang bermakna. Perilaku seseorang dipengaruhi oleh simbol yang

dikeluarkan orang lain, demikian pula perilaku orang lain tersebut. Melalui pemberian

isyarat berupa simbol, kita mengutarakan perasaan, pikiran, maksud, dan sebaliknya

17

dengan cara membaca simbol yang ditampilkan orang lain, kita menangkap pikiran,

perasaan orang lain tersebut. Teori ini mirip dengan teori pertukaran sosial.

Interaksi di antara beberapa pihak tersebut akan tetap berjalan lancar tanpa gangguan

apa pun manakala simbol yang dikeluarkan oleh masing-masing pihak dimaknakan

bersama sehingga semua pihak mampu mengartikannya dengan baik. Hal ini mungkin

terjadi karena individu-individu yang terlibat dalam interaksi tersebut berasal dari budaya

yang sama, atau sebelumnya telah berhasil memecahkan perbedaan makna di antara

mereka. Namun tidak selamanya interaksi berjalan mulus. Ada pihak-pihak tertentu yang

menggunakan simbol yang tidak signifikan – simbol yang tidak bermakna bagi pihak

lain. Akibatnya orang-orang tersebut harus secara terus menerus mencocokan makna dan

merencanakan cara tindakan mereka.

Banyak kualitas perilaku manusia yang belum pasti dan senantiasa berkembang :

orang-orang membuat peta, menguji, merencanakan, menunda, dan memperbaiki

tindakan-tindakan mereka, dalam upaya menanggapi tindakan-tindakan pihak lain. Sesuai

dengan pandangan ini, individu-individu menegosiasikan perilakunya agar cocok dengan

perilaku orang lain.

b. Teori Identitas (Identity Theory)

Teori Indentitas dikemukakan oleh Sheldon Stryker (1980). Teori ini memusatkan

perhatiannya pada hubungan saling mempengaruhi di antara individu dengan struktur

sosial yang lebih besar lagi (masyarakat). Individu dan masyarakat dipandang sebagai

dua sisi dari satu mata uang. Seseorang dibentuk oleh interaksi, namun struktur sosial

membentuk interaksi. Dalam hal ini Stryker tampaknya setuju dengan perspektif

struktural, khususnya teori peran. Namun dia juga memberi sedikit kritik terhadap teori

peran yang menurutnya terlampau tidak peka terhadap kreativitas individu.

Teori Stryker mengkombinasikan konsep peran (dari teori peran) dan konsep diri/self

(dari teori interaksi simbolis). Bagi setiap peran yang kita tampilkan dalam berinteraksi

dengan orang lain, kita mempunyai definisi tentang diri kita sendiri yang berbeda

dengan diri orang lain, yang oleh Stryker dinamakan “identitas”. Jika kita memiliki

banyak peran, maka kita memiliki banyak identitas. Perilaku kita dalam suatu bentuk

18

interaksi, dipengaruhi oleh harapan peran dan identitas diri kita, begitu juga perilaku

pihak yang berinteraksi dengan kita.

Intinya, teori interaksi simbolis dan identitas mendudukan individu sebagai pihak

yang aktif dalam menetapkan perilakunya dan membangun harapan-harapan sosial.

Perspektif iteraksionis tidak menyangkal adanya pengaruh struktur sosial, namun jika

hanya struktur sosial saja yang dilihat untuk menjelaskan perilaku sosial, maka hal

tersebut kurang memadai.

RANGKUMAN

Telah kita bahas empat perspektif dalam psikologi sosial. Yang dimaksud dengan

perspektif adalah asumsi-asumsi dasar yang paling banyak sumbangannya kepada

pendekatan psikologi sosial. Perspektif perilaku menyatakan bahwa perilaku sosial kita

paling baik dijelaskan melalui perilaku yang secara langsung dapat diamati dan

lingkungan yang menyebabkan perilaku kita berubah. Perspektif kognitif menjelaskan

perilaku sosial kita dengan cara memusatkan pada bagaimana kita menyusun mental

(pikiran, perasaan) dan memproses informasi yang datangnya dari lingkungan . Kedua

perspektif tersebut banyak dikemukakan oleh para psikolog sosial yang berlatar belakang

psikologi.

Di samping kedua perspektif di atas, ada dua perspektif lain yang sebagian besarnya

diutarakan oleh para psikolog sosial yang berlatas belakang sosiologi. Perspektif

struktural memusatkan perhatian pada proses sosialisasi, yaitu proses di mana perilaku

kita dibentuk oleh peran yang beraneka ragam dan selalu berubah, yang dirancang oleh

masyarakat kita. Perspektif interaksionis memusatkan perhatiannya pada proses

interaksi yang mempengaruhi perilaku sosial kita. Perbedaan utama di antara kedua

perspektif terakhir tadi adalah pada pihak mana yang berpengaruh paling besar terhadap

pembentukan perilaku. Kaum strukturalis cenderung meletakan struktur sosial (makro)

sebagai determinan perilaku sosial individu, sedangkan kaum interaksionis lebih

memandang individu (mikro) merupakan agen yang aktif dalam membentuk perilakunya

sendiri.

Karena banyaknya teori yang dikemukakan untuk menjelaskan perilaku sosial maka

seringkali muncul pertanyaan : “Teori mana yang paling benar ?” atau “teori mana yang

19

terbaik?” . Hampir seluruh psikolog sosial akan menjawab bahwa tidak ada teori yang

salah atau yang paling baik, atau paling jelek. Setiap teori mempunyai keterbatasan dalam

aplikasinya. Misalnya dalam mempelajari agresi (salah satu bentuk perilaku sosial), para

behavioris bisa memusatkan pada pengalaman belajar yang mendorong terjadinya

perilaku agresif – pada bagaimana orang tua, guru, dan pihak-pihak lain yang memberi

perlakuan positif pada perilaku agresif. Bagi yang tertarik pada perspektif kognitif maka

obyek kajiannya adalah pada bagaimana seseorang mempersepsi, interpretasi, dan

berpikir tentang perilaku agresif. Seorang psikolog sosial yang ingin menggunakan teori

medan akan mengkaji perilaku agresif dengan cara melihat hubungan antara karakteristik

individu dengan situasi di mana perilaku agresif tersebut ditampilkan. Para teoritisi

pertukaran sosial bisa memusatkan pada adanya imbalan sosial terhadap individu yang

menampilkan perilaku agresif. Jika memakai kacamata teori peran, perilaku agresif atau

tidak agresif ditampilkan oleh seseorang karena harapan-harapan sosial yang melekat

pada posisi sosialnya harus dipenuhi.

Demikianlah, setiap teori bisa digunakan untuk menjadi pendekatan yang efektif tidak

untuk semua aspek perilaku. Teori peran lebih efektif untuk menjelaskan perilaku X

dibanding dengan teori yang berperspektif kognitif, misalnya.

Buku Acuan :

Theories of Social Psychology – Marvin E. Shaw / Philip R. Costanzo, Second Edition,

1985, McGraw-Hill, Inc.

Thinking Sociologically, Sheldon Goldenberg, 1987, Wadsworth, Inc.

Social Psychology, James A. Wiggins, Beverly B. Wiggins, James Vander Zanden, Fifth

Edition, 1994, McGraw-Hill, Inc.

Sociology, Concepts and Uses , Jonathan H. Tuner, 1994. McGraw-Hill Inc.

20

Social Psychology, Kay Deaux, Lawrence S. Wrightsman, Fifth Edition, 1988,

Wadsworth, Inc.

from:http://makalahkumakalahmu.wordpress.com/2009/04/01/perspektif-dalam-psikologi-sosial/

MAKALAH PSIKOLOGI TENTANG PENYULUHAN TENTANG SIAPA, MENGAPA DAN BAGAIMANA TERJADI KETUNAGRAHITAAN

BAB I
PENDAHULUAN
I.I Latar Belakang
Anak adalah titipan tuhan yang harus kita jaga dan kita didik agar ia menjadi manusia yang berguna dan tidak menyusahkan siapa saja. Secara umum anak mempunyai hak dan kesempatan untuk berkembang sesuai potensinya terutama dalam bidang pendidikan. Namun seringkali kita melihat anak yang memiliki kekurangan dalam hal fungsi intelektualnya secara nyata dan bersamaan dengan itu, berdampak pula pada kekurangannya dalam hal prilaku adaptifnya, yang orang sebut Idiot. Dalam istilah pendidikan anak yang demikian dinamakan anak tunagrahita (anak yang mengalami hambatan perkembangan) merupakan salah satu bagian dari Anak berkebutuhan khusus. Anak luar biasa adalah anak yang memiliki penyimpangan sedemikian rupa / signifikanh dari anak pada umumnya dalam segi fisik, kecerdasan, sosial, emosi atau gabungan dari kelainan tersebut sehingga untuk mengembangkan potensinya secara optimal diperlukan layanan pendidikan khusus.

Dewasa ini banyak masyarakat yang belum mengerti tentang siapa anak berkebutuhan khusus itu khususnya Anak Tunagrahita, apa saja faktor penyebab terjadi ketunagrahitaan, dan bagaimana karakteristik mereka.

I.2 Tujuan Penulisan Makalah
Adapun tujuan penulisan Makalah ini adalah sebagai berikut :
1. Memenuhi salah satu tugas mata kuliah Pengembangan Kesadaran dan Partisipasi Masyarakat.
2. Melatih mahasiswa untuk dapat mengembangkan keterampilan yang
dimilikinya.
3. Melatih mahasiswa dalam pengalaman langsung atau tidak langsung dalam
Memberikan informasi kepada masyarakat tentang siapa itu anak Tunagrahita, apa saja faktor penyebab terjadi ketunagrahitaan, bagaimana karakteristik mereka.

1.3 Manfaat dan Kegunaan Penulisan
Adapun Manfaat penulisan Makalah ini adalah sebagai berikut :
1. Masyarakat memahami jenis dan karakteristik anak Tunagrahita.
2. Bagi ibu yang sedang mengandung khususnya lebih dapat menyikapi asumsi gizi yang baik selama kehamilan dan bahaya-bahaya yang ada.
2. Mahasiswa mempunyai pengalaman langsung dalam memberikan penyuluhan kepada masyarakat tentang siapa, mengapa dan bagaimana Ketunagrahitaan itu terjadi.

BAB II
PEMBAHASAN
2.I Pengertian Anak tunagrahita.
Menurut American Association on Mental Deficiency (AAMD) anak tunagrahita adalah anak yang secara umum memiliki kekurangan dalam hal fumgsi intelektualnya secara nyata dan bersamaan dengan itu, berdampak pula pada kekurangannya dalam hal prilaku adaptifnya, dimana hal tersebut terjadi pada masa perkembangannya dari lahir sampai dengan usia delapan belas tahun. Pernyataan tersebut pun dapat pula diartikan bahwa anak tunagrahita adalah mereka yang memiliki hambatan pada dua sisi, yaitu pertama pada sisi kemampuan intelektualnya yang berada di bawah anak normal. Anak tersebut memiliki kemampuan intelektualnya yang berada pada dua standar deviasi di bawah normal jika diukur dengan tes intelegensi dibandingkan dengan anak normal lainya. Yang kedua adalah kekurangan pada sisi prilakua adaptifnya atau kesulitan dirinya untuk mampu bertingkah laku sesuai dengan situasi yang belum dikenal sebelumnya. Keadan tersebut terjadi pada proses pertumbuhannya, cara berfikir dan kemampuannya dalam bermasyarakat sejak anak tersebut lahir dan berusia delapan belas tahun.
Moh. Amin (1995:11), menguraikan gambarkan tentang anak tunagrahita sebagai berikut :
Anak tunagrahita kurang cakap dalam memikirkan hal-hal yang bersifat abstrak, yang sulit-sulit dan yang berbelit-belit. Mereka kurang atau terbelakang atau tidak berhasil bukan sehari dua hari atau sebulan dua bulan, tetapi untuk selama-lamanya dan bukan hanya dalam satu dua hal tetapi hampir segala-galanya. Lebih-lebih dalam pelajaran seperti : mengarang, menyimpulkan isi bacaan, menggunakan symbol-simbol berhitung, dan dalam semua pelajaran yang bersifat teoritis. Dan juga mereka kurang atau terhambat dalam menyesuaikan diri dengan lingkungannya.

Pendapat diatas sejalan dengan definisi yang ditetapkan AAMD yang dikutip oleh Grossman (Kirk & Gallagher, 1986:116), yang artinya bahwa ketunagrahitaan mengacu pada sifat intelektual umum yang secara jelas dibawah rata-rata, bersama kekurangan dalam adaptasi tingkah laku dan berlangsung pada masa perkembangan.
Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa :
a. Anak tunagrahita memiliki kecerdasan dibawah rata-rata sedemikian rupa dibandingkan dengan anak normal pada umumnya.
b. Adanya keterbatasan dalam perkembangan tingkah laku.
Ketunagrahitaan tersebut berlangsung pada masa perkembangan.

2.2 Penyebab ketunagrahitaan
Terdapat banyak faktor yang dapat menyebabkan seseorang menjadi tunagrahita. Para ahli dari berbagai ilmu telah berusaha membagi faktor-faktor penyebab ini diantaranya adalah sebagai berikut:
a. Faktor keturunan
Adanya kelainan kromosom baik autosom (mempunyai kromosom 3 ekor pada kromosom nomor 21 sehingga anak mengalami Langdon Down’s S yndrome dan pada trisomi kromosom nomor 15 anak akan menderita Patau’s Syndrome dengan cicri-ciri berkepala kecil, mata kecil, berkuping aneh, sumbing, dan kantung empedu yang besar . Adanya kegagalan meiosis sehingga menimbulkan duplikasi dan translokasi) maupun kelainan pada gonosom (gonosom yang seharusnya XY, karena kegagalan menjadi XXY atau XXXY. Ciri yang menonjol adalah nampak laki-laki dan tunagrahita. Setelah mencapai masa puber tubuhnya menjadi panjang, gayanya mirip wanita, berpayudara besar).
b. Gangguan metabolisme dan Gizi
Metabolisme dan gizi merupakan hal yang penting bagi perkembangan individu terutama perkembangan sel-sel otak. Beberapa kelainan yang disebabkan oleh kegagalan metabolisme dan kekurangan gizi diantaranya adalah sebagai berikut:

• Phenylketonuria
Salah satu akibat gangguan metabolisme asam amino juga kelainan gerakan enzym phenylalanine hydroxide. Gejala umum yang nampak adalah tunagrahita, kekurangan pigmen, microcephaly, serta kelainan tingkah laku.
• Cretinisme
Disebabkan oleh keadaan hypohyroidism kronik yang terjadi selama masa janin atau segera setelah melahirkan. Berat ringan kelainan tergantung pada tingkat kekurangan thyroxin. Gejala utama yang tampak adalah adanya ketidaknormalan fisik yang khas dan ketunagrahitaan dan awal gejalanya dengan kurangnya nafsu makan, anak menjadi sangat pendiam, jarang tersenyum dan tidur yang berlebihan.

c. Infeksi dan keracunan
Adanya infeksi dan keracunan terjangkitnya penyakit-penyakit selama janin masih berada dalam kandungan ibunya yang menyebabkan anak lahir menjadi tunagrahita.
• Rubella
Penyakit ini menjangkiti ibu pada dua belas minggu pertama kehamilan. Selain tunagrahita, ketidaknormalan yang disebabkan penyakit ini adalah kelainan pendengaran, penyakit jantung bawaan, berat badan yang sangat rendah pada waktu lahir dan lain-lain.
• Syphilis bawaan
Kondisi bayi yang terkena Syphilis adalah kesulitan pendengaran, hidungnya tampak seperti hidung kuda.
• Syndrome Gravidity Beracun
• Ketunagrahitaan yang timbul dari Syndrome Gravidity Beracun terjadi pada sebagian bayi yang lahir prematur, kerusakan janin yang disebabkan oleh zat beracun, dan berkurangnya aliran darah pada rahim dan plasenta
d. Trauma dan zat radioaktif
Trauma otak yang terjadi dikepala dapat menimbulkan pendarahan intracranial terjadinya kecacatan pada otak. Ini biasanya disebabkan karena kelahiran yang sulit sehingga memerlukan alat bantu (tang). Selain itu penyinaran atau radiasi sinar X selama bayi dalam kandungan mengakibatkan cacat mental microcephaly.
e. Masalah pada kelahiran
Adanya kelahiran yang disertai hypoxia (kejang dan nafas pendek) dipastikan bahwa bayi yang akan dilahirkan menderita kerusakan otak.
f. Faktor lingkungan
Latar belakang pendidikan orang tua sering juga dihubngkan dengan masalah-masalah perkembangan. Kurangnya kesadaran orang tua akan pentingnya pendidikan dini serta kurangnya pengetahuan dalam memberikan rangsang-rangsang positif dalam masa perkembangan anak dapat menjadi salah satu penyebab timbulnya gangguan atau hambatan dalam perkembangan anak. Kurangnya kontak pribadi dangan anak, misalnya dengan tidak mengajaknya berbicara, tersenyum, bermain yang mengakibatkan timbulnya sikap tegang, dingin dan menutup diri. Kondisi demikian akan berpengaruh buruk terhadap perkembangan anak baik fisik maupun mental intelektualnya.

2.3 Karakteristik Anak Tunagrahita.
Berdasarkan pengertian yang telah dipaparkan diatas, maka anak tunagrahita memiliki karakteristik tersendiri pada segi tingkah laku, emosi dan sosialnya, cara belajarnya dan kesehatan pada fisikya. Untuk karakteristik tersebut, setiap anak tunagrahita memiliki karakteristik yang berada sesuai dengan tingkat kekurangannya.
Secara umum karakteristik tersebut dapat digeneralkan ke dalam:
1. Segi Intelektualnya
• anak tunagrahita mampu mengetahui atau menyadari situasi, benda-benda dan orang disekitarnya, namun mereka tidak mampu memahami keberadaan dirinya. Hal tersebut disebabkan oleh faktor bahasa yang manjaadi hambatan, dikarenakan mereka pada umunya sulit untuk mengatakan atau menyampaikan kata yang sesuai dengan keadaan yang diinginkannya.
• Mereka berkesulitan untuk memecahkan masalah-masalah yang ada, tidak mampu membuat suatu rencana bagi dirinya, dan anak tersebut pun sulit untuk memilih alternatif pilihan yang berbeda.
• Mereka sulit sekali untuk menuliskan simbol-angka, sehingga secara umum mereka memiliki ksulitan dalam bidang membaca, menulis dan berhitung.
• Kemampuan belajar anak tunagrahita terbatas. Mereka mengalami kesulitan yang berarti dalam pengetahuan yang bersifat konsep dan dalam menempatkan dirinya dengan keadaan situasi lingkungannya.

2. Segi Tingkah Laku (Perilaku Adaptif)
• Perkembangan anak tunagrahita lamban. sulit mempelajari sikap tertentu, bahkan sulit melakukan pekerjaan yang ditugaskan walaupun tugas tersebut bagi orang normal sangat sederhana.
• Faktor kognitif merupakan hal yang sulit bagi anak tersebut, khususnya yang berkenaan dengan perhatian dengan atau konsentrasi, ingatan, berbicara dengan bahasa yang benar, dan dalam kemampuan akademiknya.
• Anak tunagrahita seringkali merasakan ketidakmampuan dalam melakukan suatu pekerjaan atau tugas yang diberikan padanya, karena seringnya melakukan kesalahan-kesalahan pada saat melakukannya.
• Mereka pada umunya kurang percaya diri dan seringkali menggantungkan bimbingan atau bantuan orang lain, atau dengan kata lain rasa kemampuan dirinya kurang. Mereka juga seringkali sulit dalam memilih lingkungan pergaulan yang baik, sehingga mudah terjerumus pada hal-hal yang bersifat negatif.
Jadi dari karakteristik diatas, dapat disimpulkan bahwa anak tunagrahita itu memiliki kekurangan di dalam:
• Melakukan koordinasi gerak dan sensorinya,
• Rendahnya rasa toleransi,
• Kemampuan untuk memahami konsep-konsep, hal yang bersifat akademik, dan menarik suatu kesimpulan,
• Memusakan perhatian,
• Memanfaatkan waktu luangnya,
• Memilih lingkungan pergaulan yang baik,
• Kesulitan dalam bahasa,
• yang tidak kalah pentingnya adalah kemampuan untuk mendapatkan pekerjaan.

2.4 Usaha pencegahan
Beberapa alternatif upaya pencegahan timbulnya ketunagrahitaan adalah sebagai berikut:
a. Diagnostik Prenatal, yaitu usaha yang dilakukan untuk memeriksa kehamilan. Dengan ini diharapkan dapat ditemukan kemungkinan adanya kelainan pada janin, baik berupa kromosom maupun kelainan enzim yang diperlukan bagi perkembangan janin.
b. Imunisasi dilakukan terhadap ibu hamil maupun balita. Dapat mencegah timbulnya penyakit yang mengganggu perkembangan bayi
c. Tes darah, untuk menghindari kemungkinan menurunkan benih-benih yang berkelainan.
d. Program keluarga berencana
e. Penyuluhan genetik, suatu usaha mengkomunikasikan berbagai informasi yang berkaitan dengan masalah genetika dan masalah yang ditimbulkannya lewat media tertentu.
f. Tindakan operasi diperlukan terutama bagi kelahiran dengan resiko tinggi untuk mencegah kelainan yang ditimbulkan pada waktu kelahiran (masalah perinatal, misalnya trauma, kekurangan oksigen dan lainnya.)

BAB III
KESIMPULAN

Anak tunagrahita adalah mereka yang kecerdasannya jelas-jelas berada di bawah rata-rata, disamping itu mereka mengalami keterbelakangan dalam menyesuaikan diri dengan lingkungannya. Mereka memiliki hambatan pada dua sisi, yaitu pertama pada sisi kemampuan intelektualnya yang berada di bawah anak normal. Anak tersebut memiliki kemampuan intelektualnya yang berada pada dua satnda deviasi di bawah normal jika diukur dengan tes intelegensi dibandingkan dengan anak normal lainya. Yang kedua adalah kekurangan pada sisi prilakua adaptifnya atau kesulitan dirinya untuk mampu bertingkah laku sesuai dengan situasi yang belum dikenal sebelumnya.
Kurangnya kesadaran orang tua akan pentingnya pendidikan dini serta kurangnya pengetahuan dalam memberikan rangsang-rangsang positif dalam masa perkembangan anak dapat menjadi salah satu penyebab timbulnya gangguan atau hambatan dalam perkembangan anak. Beberapa alternatif yang dapat ditempuh sebagai antisipasi untuk mencegah bertambahnya populasi anak berkelainan khususnya anak Tunagrahita dengan cara Diagnostik Prenatal, Imunisasi, Tes darah, Program keluarga berencana, Penyuluhan genetik, dan Tindakan operasi.

DAFTAR PUSTAKA

Dipi, Amin. (1995). Ortopedagogik Anak Tunagrahita. Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.
Yundhini, Anna. (2006). Proposal Penelitian: Pembelajaran Bagi Anak Tunagrahita di Sekolah Dasar. Bandung: Program sarjana Univerditas Pendidikan Indonesia.
Delphi. Bandi. (1996). Sebab-sebab Keterbelakangan Mental. Bandung: Mitra Grafika.

Kamis, 11 Maret 2010

IAIN dan Masa Depan Islam Indonesia

Memasuki abad ke-21 bangsa Indonesia dihadapkan pada berbagai tantangan besar berskala global. Sebagian besar tantangan itu muncul dari proses globalisasi yang terjadi sejak paruhan kedua abad ke-20 dan diperkirakan semakin intensif pada abad mendatang. Globalisasi tidak hanya mendorong terjadinya transformasi peradaban dunia melalui proses modernisasi, industrialisasi, dan revolusi informasi. Lebih dari itu juga akan menimbulkan perubahan-perubahan dalam struktur kehidupan bangsa-bangsa dunia, termasuk Indonesia. Memasuki abad baru bangsa Indonesia diperkirakan akan mengalami perubahan-perubahan serba cepat dalam berbagai bidang kehidupan, baik sosial, budaya, ekonomi, maupun politik, maupun pendidikan.

Berkaitan dengan perubahan-perubahan itu, lembaga-lembaga pendidikan Islam, terutama IAIN sebagai lembaga pendidikan tinggi, perlu mengambil langkah-langkah strategis agar dapat melakukan antisipasi. Tulisan ini ingin menguraikan IAIN dan harapan-harapan yang ditumpukan kepadanya. Di samping itu, yang tidak kalah pentingnya, adalah mencoba melihat kaitan antara IAIN dengan masa depan Islam di Indonesia. Hal ini perlu dilakukan agar dalam perkembangannya IAIN tidak ketinggalan dibandingkan dengan perguruan tinggi lain, baik pada taraf lokal, regional maupun internasional.

IAIN Selintas Sejarah

Pendidikan merupakan salah satu wilayah perhatian (area of concern) gerakan-gerakan yang berlangsung di seluruh dunia Islam. Tokoh-tokoh gerakan Islam, seperti Muhammad Abduh di Mesir dan Sayyid Ahmad Khan di Anak Benua India menjadikan pendidikan sebagai agenda utama gerakan pembaruan Islam yang mereka canangkan. Sejak awal abad ke-19 sampai awal abad ke-20 hampir di seluruh dunia Islam berdiri lembaga-lembaga pendidikan yang bercorak modern. Tidak hanya itu, lembaga-lembaga pendidikan Islam tradisional juga mengalami transformasi menjadi lembaga-lembaga pendidikan modern. Di Anak Benua India, Sayyed Ahmad Khan mendirikan Universitas Alighar yang sepenuhnya mengadaptasi sistem pendidikan Universitas Oxford di Inggris. Sedangkan di Mesir, Muhammad Abduh berusaha mentransformasikan Universitas al-Azhar dengan memasukkan ilmu-ilmu modern.

Hampir secara serentak di seluruh dunia Islam telah muncul kesadaran akan pentingnya pendidikan. Kaum Muslim tidak hanya memandang pendidikan sebagai sarana untuk meningkatkan kualitas sumber daya manusia, tetapi juga sarana untuk mentransmisikan doktrin Islam kepada generasi mendatang. Kesadaran yang semakin menguat itu juga tumbuh di kalangan kaum Muslim terpelajar di Indonesia. Untuk sebagian kesadaran itu disebabkan oleh semakin intensifnya interaksi dan koneksi antara pusat-pusat studi di Timur Tengah, seperti Haramayn dan Kairo, dengan kelompok-kelompok terpelajar Muslim di Indonesia. Sedangkan sebagian lainnya adalah karena kuatnya desakan keadaan untuk melawan kolonialisme. Sejarah mencatat munculnya lembaga-lembaga pendidikan modern di Indonesia, terutama pada awal abad ke-19 dan awal abad ke-20.

Berkaitan dengan lembaga-lembaga pendidikan di Timur Tengah, masyarakat Muslim Indonesia sebenarnya telah menjalin hubungan sejak lama. Jauh sebelum Indonesia merdeka, masyarakat Muslim Indonesia telah menjadikan Timur Tengah, khususnya Mekkah dan Madinah (Haramain), dan pada tingkat tertentu Mesir, sebagai pusat studi Islam. Di kalangan sebagian masyarakat bahkan muncul pandangan bahwa mencari ilmu (thalab al-ilm) di Timur Tengah mempunyai nilai sakral dibandingkan dengan mencari ilmu di tempat lain. Tak heran jika minat masyarakat Muslim untuk melanjutkan studinya di Timur Tengah semakin lama tidak kian surut, sebaliknya malah semakin besar.

Minat untuk belajar di Timur Tengah itu pertama-tama diwujudkan dengan berangkat sendiri ke Timur Tengah, baik dengan tujuan khusus untuk mencari ilmu maupun naik haji. Tidak sedikit kaum Muslim Indonesia yang "muqim" di tanah suci ketika musim haji telah berakhir. Kondisi demikian itulah yang secara berturut-turut melahirkan tokoh-tokoh terkemuka seperti Abdurauf al-Sinkili dan Muhammad Yusuf al-Makasari (abad ke-17); Abdus Somad al-Palimbani, Arsyad al-Banjari, Akhmad Khatib Minangkabau, Nawawi al-Bantani (abad ke-18 dan 19); Ahmad Dahlan, Wahid Hasyim, Abdul Wahab Hasbullah, Abdul Halim Majalengka, Mahmud Yunus (abad ke-20). Hal itu tidak hanya menunjukkan besarnya minat belajar agama di Timur Tengah, tetapi juga menunjukkan besarnya arti pusat-pusat studi di Timur Tengah di kalangan masyarakat Muslim Indonesia.

Sebagaimana lembaga-lembaga pendidikan Islam lain, kelahiran Institut Agama Islam Negeri (IAIN) juga dapat ditelusuri dari perspektif di atas. Lebih khusus lagi kehadiran IAIN tidak bisa dipisahkan dari semakin besarnya jumlah alumni Timur Tengah di Indonesia yang diikuti oleh semakin kuatnya kesadaran di kalangan masyarakat Muslim untuk memiliki perguruan tinggi sendiri. Besarnya jumlah alumni Timur Tengah tidak hanya membawa perubahan-perubahan dalam paham keagamaan masyarakat, lebih dari itu juga memotivasi masyarakat untuk menuntut ilmu ke Timur Tengah. Akan tetapi, tidak semua lapisan masyarakat, terutama karena alasan ekonomi, memiliki kesempatan untuk melanjutkan studi ke Timur Tengah.

Pada saat yang sama, seiring dengan semakin besarnya kesadaran masyarakat Muslim akan arti pendidikan, muncul gagasan untuk mendirikan perguruan tinggi Islam. Gagasan itu dilatarbelakangi oleh berbagai faktor. Antara lain, pertama dimaksudkan untuk mengakomodasi kalangan yang tidak memiliki kesempatan melanjutkan studi ke Timur Tengah. Kedua, keinginan untuk mewujudkan lembaga pendidikan Islam lanjutan pascapesantren dan madrasah. Ketiga, keinginan untuk menyeimbangkan jumlah kaum terpelajar tamatan sekolah "sekuler" dengan tamatan sekolah agama. Tidak heran jika gagasan itu tidak hanya datang dari kalangan agamawan (ulama), tetapi juga muncul dari kalangan terpelajar Muslim tamatan sekolah "sekuler".

Sejarah mencatat bahwa gagasan tentang perlunya perguruan tinggi Islam itu datang dari Dr. Satiman Wirjosandjojo. Satiman bahkan sempat mendirikan Yayasan Pesantren Luhur pada 1938, meskipun akhirnya gagal karena intervensi penjajah Belanda. Pada 1940 di Sumatera Barat sejumlah guru Muslim mendirikan Sekolah Tinggi Islam (STI), meskipun hanya bertahan dua tahun karena pendudukan Jepang. Upaya yang sama juga dilakukan oleh sejumlah tokoh nasional seperti Muhammad Hatta, Muhammad Natsir, KHA. Wahid Hasyim, dan KH. Mas Mansyur. Tokoh-tokoh tersebut pada 8 Juli 1945 berhasil mendirikan STI di Yogyakarta di bawah pimpin Abdul Kahar Mudzakkir. Ketika revolusi kemerdekaan, STI terpaksa ditutup, namun dibuka kembali pada 6 April 1946. Selanjutnya, pada 2 Maret 1948 STI berganti nama menjadi Universitas Islam Indonesia (UII) dengan mengembangkan empat fakultas, yaitu Fakultas Agama, Fakultas Hukum, Fakultas Ekonomi, dan Fakultas Pendidikan.

Secara formal, pendirian lembaga pendidikan tinggi Islam baru dapat direalisasikan oleh pemerintah pada 1950 di Yogyakarta. Pada saat itu pemerintah mengubah status Universitas Gadjah Mada menjadi universitas negeri-sesuai dengan PP No. 37/1950-yang diperuntukkan bagi golongan nasionalis; pada saat yang sama, kepada kelompok Islam diberikan Perguruan Tinggi Agama Islam Negeri (PTAIN) dengan mengubah status Fakultas Agama UII. Setelah itu, Departemen Agama mendirikan Akademi Dinas Ilmu Agama di Jakarta pada 1 Juni 1957, sebagai lembaga yang mendidik dan menyiapkan pegawai negeri dengan kemampuan akademik dan semi akademik tingkat diploma sebagai guru agama di SLTP.

Selama satu dekade, jumlah mahasiswa PTAIN semakin banyak. Mahasiswa itu tidak hanya datang dari seluruh tanah air, tetapi juga dari negara tetangga, terutama Malaysia. Berdasarkan perkembangan-perkembangan itu, dan pertimbangan lain yang bersifat akademis, pada 24 Agustus 1960 Presiden mengeluarkan PP No. 11 yang menggabungkan PTAIN dan ADIA dengan nama baru, yaitu Institut Agama Islam Negeri (IAIN). Sejak saat itulah secara berturut-turut di beberapa wilayah propinsi Indonesia berdiri IAIN sebagai sarana bagi masyarakat Muslim untuk mendapatkan pendidikan tinggi dalam bidang Islam. Hingga saat ini terdapat 14 IAIN dan 35 STAIN yang tersebar di seluruh wilayah Indonesia.

Masih Bersifat Tradisional

Melihat sejarah IAIN, yang dipaparkan secara sangat singkat itu, tampak bahwa IAIN merupakan lembaga pendidikan tinggi agama yang diarahkan untuk mencetak intelektual-kyai atau kyai-intelektual. Studi Islam (Islamic studies) merupakan wilayah kajian IAIN dari sejak lembaga itu pertama kali didirikan hingga sekarang ini. Di satu sisi kuatnya studi Islam di IAIN telah menjadi ciri khas lembaga pendidikan ini. Namun, di sisi lain hal itu telah menimbulkan munculnya persepsi di kalangan masyarakat Muslim bahwa IAIN lebih merupakan lembaga agama, bahkan lembaga dakwah, daripada lembaga akademik. Hal itu antara lain tercermin dalam harapan masyarakat Muslim terhadap IAIN, terutama alumni IAIN, untuk lebih memainkan peran sebagai ulama daripada ilmuwan. Padahal sebagai lembaga pendidikan tinggi Islam, IAIN sebenarnya dimaksudkan sebagai pusat riset bagi pengembangan ilmu-ilmu keislaman. Cita-cita ini hanya mungkin diwujudkan dengan mempertguh posisi IAIN sebagai lembaga akademis.

Harapan terhadap IAIN sebenarnya dapat dikategorikan menjadi dua kelompok. Pertama, harapan yang bersifat sosial (social expectations). Kedua, harapan yang bersifat akademik (academic expectations). Setelah berlangsung lebih dari lima dekade, dengan berbagai perubahan baik pada tingkat nasional maupun global, tampak bahwa harapan yang bersifat sosial itu lebih kuat dibandingkan dengan harapan yang bersifat akademik. Padahal keduanya merupakan satu kesatuan yang ingin diwujudkan oleh IAIN.

Masyarakat menginginkan alumni IAIN, tidak hanya memahami doktrin Islam, lebih dari itu juga melaksanakan-bahkan mampu menjadi pemimpin-dalam ibadah mahdlah dan kegiatan-kegiatan sosial-keagamaan. Dalam shalat berjamah, mahasiswa atau alumni IAIN diharapkan mampu menjadi imam; dalam kegiatan sosial keagamaan, mahasiswa atau alumni IAIN diharapkan mampu membaca doa dan seterusnya. Masyarakat mamandang bahwa bidang-bidang kegiatan tersebut merupakan otoritas IAIN.

Harapan peran (role expectations) tersebut sudah melekat, bahkan menjadi jati diri IAIN. Lebih jauh masyarakat bahkan mengasumsikan setiap mahasiswa atau alumni IAIN adalah pribadi-pribadi yang taat menjalankan ibadah dengan "baik dan teratur serta berakhlak mulai". Mereka akan merasa "aneh dan janggal" menemukan mahasiswa atau alumni IAIN tidak mampu menjalankan peran yang mereka harapkan. Jelas bahwa masyarakat tidak banyak mengetahui IAIN sebagai lembaga akademis dengan berbagai fakultas dan jurusan yang tidak selamanya mencetak ulama.

Harapan peran semacam itu tidak hanya datang dari kalangan masyarakat awam. Kalangan tokoh agama dan organisasi-organisasi keagamaan juga menaruh harapan yang sama. Mereka berharap lulusan IAIN muncul menjadi kader-kader pimpinan umat atau pun "ulama muda" dan organisator. Mereka menginginkan agar alumni IAIN mempunyai kemampuan untuk menggerakkan berbagai lembaga dan organisasi Islam baik dalam bidang dakwah, kemasyarakatan, ekonomi, maupun politik. Dengan demikian, masjid yang jumlahnya ratusan ribu, juga majelis-majelis taklim, lembaga dakwah, lembaga Bazis dan berbagai organisasi Islam akan menjadi pusat-pusat pemberdayaan umat yang digerakkan oleh para alumni IAIN.

Selanjutnya dari kalangan pemerintah harapan peran yang muncul tidak jauh berbeda. Pemerintah berharap-sesuai dengan tujuan awal pendirian lembaga ini-alumni IAIN mampu menjadi "administratur Islam". Mereka diharapkan mampu mengelola administrasi pemerintah dan swasta, khususnya yang berkaitan dengan kelembagaan Islam. Antara lain, unit kantor Departemen Agama, pesantren, masjid, majelis taklim dan berbagai unit kelembagaan Islam lainnya. Di samping sebagai administratur, pemerintah juga berharap juga lulusan IAIN mampu menjadi pembina rohani di lembaga-lembaga pemerintah dan swasta seperti di kantor-kantor, rumah sakit, panti jompo dan sebagainya.

Orang tua yang menyekolahkan anaknya di IAIN juga menaruh semangat harapan yang sama. Mereka ingin agar anaknya menjadi "ulama" dalam arti mempunyai pengetahuan dan pemahaman agama yang cukup, melaksanakan ajaran agama dan mampu memberi bimbingan agama serta berakhlak yang baik. Selanjutnya setelah tamat mendapat pekerjaan yang "layak". Demikian besarnya harapan orang tua ini sehingga beberapa mahasiswa mengaku masuk IAIN bukan atas kemauannya sendiri, melainkan lebih didorong oleh kemauan orang tuanya.

Karena masih berkutat di sekitar social expectations, dapat dikatakan bahwa harapan terhadap IAIN tersebut secara umum bersifat tradisional. Tidak jauh beranjak dari harapan yang ditumpukan kepada lembaga-lembaga pendidikan Islam tradisional. Sebagaimana diketahui, masyarakat Muslim meletakkan harapan terhadap lembaga-lembaga pendidikan Islam pada fungsi-fungsi strategis yang dimainkannya. Di antara fungsi strategis itu adalah: pertama, sebagai media penyampai pengetahuan agama (transfer of Islamic knowledge). Kedua, sebagai media pemelihara tradisi Islam (maintenance of Islamic tradition). Ketiga, sebagai media "pencetak" ulama (reproduction of ulama). Tampaknya, fungsi-fungsi strategis itulah yang sampai saat ini masih diharapkan oleh kebanyakan masyarakat Muslim Indonesia terhadap IAIN.

IAIN sendiri, sejauh yang dapat dilihat, masih kuat berpegang teguh pada upaya memenuhi harapan-harapan yang bersifat sosial. Hal ini antara lain terbukti dengan model kajian keislaman yang sebagian besar masih bersifat normatif; praktik ibadah dan praktikum membaca al-Qur'an masih menjadi kewajiban setiap mahasiswa IAIN. Kajian-kajian yang bersifat historis dan sosiologis terhadap Islam dan masyarakat Muslim masih sangat terbatas, baik dari kauantitas maupun cakupan wilayah. Kalaupun terdapat kajian sejarah dan kebudayaan Islam, fokus utamanya adalah sejarah Islam abad pertengahan dengan model kajian sejarah dinasti atau kerajaan. Kajian sejarah sosial belum banyak dikenal, atau baru bersifat rintisan. Tidak heran jika mahasiswa IAIN tidak banyak mengenal masyarakat Muslim Asia Tenggara, bahkan Indonesia sendiri. Mahasiswa IAIN lebih mengenal Islam secara normatif ditambah sejarah Islam pada masa klasik saja.

Globalisasi dan Otonomi:

Antara Tantangan dan Peluang

Sejalan dengan perubahan tantangan yang dihadapi, harapan-harapan terhadap IAIN yang sepenuhnya berorientasi pada social expectations tidak lagi mencukupi. Bukan hanya karena sifatnya yang tradisional, tetapi juga karena orientasi harapan seperti itu tidak sejalan, baik dengan tantangan global maupun pengembangan IAIN sendiri di masa depan menyongsong otonomi perguruan tinggi. Menghadapi tantangan global, harapan yang bersifat akademis (academic expectations) harus lebih mendapat perhatian. Di masa depan IAIN harus lebih berkembang sebagai lembaga akademis daripada lembaga keagamaan dan dakwah. Atau minimal antara porsi sebagai lembaga keagamaan dan lembaga akademis mendapat porsi yang seimbang.

Hal itu karena dalam era globalisasi, sebagaimana dikatakan para pengamat sosial, terjadi revolusi informasi yang ditandai oleh tingginya prestasi umat manusia dalam teknologi informatika. Pada gilirannya hal ini tidak hanya membawa kemudahan-kemudahan dalam proses komunikasi antarbangsa-bangsa, tetapi juga diperkirakan akan memicu munculnya akulturasi asimetris, yaitu pola hubungan yang timpang antara negara-negara maju dan negera-negara berkembang. Dalam pola hubungan ini negara-negara maju akan mendominasi negara-negara berkembang tidak hanya dalam bidang ekonomi dan teknologi, tetapi juga dalam bidang-bidang kehidupan yang lain, seperti politik, militer, budaya, dan pendidikan. Perkembangan-perkembangan tersebut, tidak dapat dielakkan, akan memicu munculnya persaingan antarbangsa yang semakin keras dan tajam. Bangsa yang tidak memiliki daya saing dan keunggulan bukan mustahil akan terpelanting di pentas internasional.

Di samping itu, beberapa aspek tantangan diperkirakan akan mengikuti globalisasi. Pertama, globalisasi akan melahirkan tingkat kompetisi yang sangat tinggi dalam kehidupan masyarakat atau bangsa. Dalam situasi semacam ini kualitas atau mutu akan menjadi pertimbangan bagi masyarakat dalam memilih produk barang atau jasa. Kedua, penguasaan ilmu dan teknologi sangat penting untuk menghasilkan produk barang atau jasa sesuai tuntutan (kualitas) pasar. Hal ini dapat terwujud apabila suatu masyarakat atau bangsa menguasai ilmu dan teknologi. Ketiga, sebagai implikasi akan muncul neoimperialisme dari suatu bangsa kepada bangsa lain dilihat dari penguasaan ilmu pengetahuan dan teknologi. Bangsa yang menguasai ilmu pengetahuan dan teknologi cenderung menekan bangsa yang lain. Keempat, kondisi yang kompetitif dan terbukanya arus informasi antarnegara akan memungkinkan setiap bangsa untuk memperoleh informasi dengan cepat tentang ilmu pengetahuan yang dapat dimanfaatkan untuk melahirkan karya-karya inovatif bagi kesinambungan kehidupan bermasyarakat. Tidak jarang, arus informasi dapat saja memberikan implikasi yang berseberangan dengan nilai atau norma yang dianut oleh masyarakat-seperti nilai-nilai agama dan budaya. Globalisasi juga akan mempercepat transformasi masyarakat dari masyarakat tradisional menjadi masyarakat modern; dari masyarakat agraris menjadi masyarakat industri. Transformasi sosial ini jelas akan menimbulkan implikasi terhadap nilai-nilai agama.

Pada saat yang bersamaan institusi pendidikan tinggi seperti IAIN juga dihadapkan pada tantangan otonomi perguruan tinggi yang rencananya akan diterapkan pada 2003. Pelaksanaan otonomi penyelengaraan pendidikan merupakan konsekuensi dari UU No. 22 tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah dan UU No. 25 tahun 1999 tentang Perimbangan Keuangan antara pemerintah Pusat dan Daerah. Konsep otonomi perguruan tinggi menuntut lembaga-lembaga pendidikan tinggi tidak hanya memiliki kemampuan finansial, tetapi juga secara berkelanjutan melakukan peningkatan kualitas. Hanya perguruan tinggi berkualitas yang akan sanggup menciptakan kegiatan-kegiatan produktif, dan pada gilirannya menyokong kemampuan finansial perguruan tinggi bersangkutan. Lebih jauh, sesuai dengan PP No. 61 tahun 1999, perguruan tinggi bahkan dimungkinkan menjadi suatu badan hukum.

Sementara itu, perlu ditegaskan-sebagai titik tolak dalam pengembangan-bahwa perguruan tinggi di Indonesia, termasuk IAIN, secara umum masih rendah secara kualitas, khususnya dibandingkan lembaga serupa di kawasan regional. Menurut sebuah survei (1997), perguruan tinggi di Indonesia, baik negeri maupun swasta, tidak ada yang masuk dalam ranking perguruan tinggi berkualitas di wilayah Asia. Dari 50 perguruan tinggi yang terdapat dalam survei itu, hanya empat perguruan tinggi yang berasal dari Indonesia, itupun tidak masuk dalam kelompok 15 besar; ITB berada pada peringkat ke-19, UI peringkat ke-32, UGM peringkat ke-37, Universitas Erlangga peringkat ke-38 dan Undip peringkat ke-42. Hal ini menunjukkan bahwa perguruan tinggi di Indonesia, termasuk IAIN, masih jauh dari siap mengadapi kompetisi berskala regional, apalagi internasional. masih jauh dari berkualitas, dan karenanya masih belum siap menjadi otonom.

Berhadapan dengan tantangan tersebut, kalangan IAIN harus lebih menonjolkan academic expectations. Di kalangan IAIN sendiri harus dibangun kesadaran bahwa mengantarkan IAIN menjadi lembaga akademis adalah lebih penting daripada mempertahankan IAIN sebagai lembaga keagamaan atau dakwah. Dalam kaitan ini, terdapat beberapa agenda yang harus mendapat perhatian. Pertama, meningkatkan kualitas Sumber Daya Manusia (SDM); dosen dan karyawan IAIN, termasuk karyawan di lingkungan Depag. Kedua, membuka jaringan kerjasama (network), baik dengan universitas-universitas dan pusat-pusat studi di dalam maupun di luar negeri. Jaringan kerjasama juga harus dibangun dengan lembaga-lembaga pendidikan Islam yang lain, terutama pesantren dan madrasah. Ketiga, memperluas wacana keilmuan-tidak terbatas pada kajian Islam yang bercorak normatif; tidak hanya membuka horison sosiologis dan antropologis dalam kajian-kajian Islam, tetapi juga membuka bidang-bidang pengetahuan yang selama ini jauh dari IAIN.

Berkaitan dengan agenda pertama, sejak dekade 80-an IAIN secara sistematik telah mengirimkan dosen-dosen terbaiknya untuk melanjutkan studi di luar negeri, baik untuk jenjang S2 maupun S3. Hal ini terjadi melalui program pembibitan calon dosen yang diprakarsai oleh Menteri Agama Munawir Sjadzali. Namun, jauh sebelum itu, IAIN juga telah mengirimkan dosen-dosennya ke luar negeri. Mereka itu secara bergelombang telah kembali ke IAIN dan membawa sejumlah perubahan penting. Dimulai dari A. Mukti Ali yang memperkenalkan pendekatan baru dalam studi-studi agama (comparative study of religion), Harun Nasution yang memperkenalkan kajian keislaman yang tidak terikat pada madzhab, Muljanto Sumardi yang mengawali penelitian-penelitian keagamaan bercorak empiris, dan sebagainya. Demikianlah secara bergelombang para alumni universitas Barat itu memprakarsai dan mengubah performance IAIN dari lembaga keagamaan dan dakwah menjadi lembaga akademis.

Di tingkat pegawai administrasi dan perpustakaan, melalui McGill Project, IAIN telah mengirimkan para pegawai administrasi dan perpustakaan untuk mengikuti pelatihan-pelatihan, baik yang diselenggarakan di Indonesia maupun Kanada. Pelatihan-pelatihan itu tidak hanya dimaksudkan untuk memperbaiki kinerja administrasi IAIN, lebih dari itu juga adalah meningkatkan kualitas sumber daya manusia IAIN di segala lini, terutama perpustakaan yang merupakan jantung sebuah perguruan tinggi.

Sementara itu, agenda kedua-menjalin kerjasama dengan lembaga-lembaga pendidikan lain-belum secara maksimal dilakukan. Sejauh yang dapat dilihat, kerjasama dengan univesitas-universitas di dalam negeri belum banyak dilakukan oleh IAIN sehingga komunikasi kelembagaan antara IAIN dengan universitas-universitas di sekitarnya tidak maksimal. Kerjasama dengan universitas atau pusat kajian di luar negeri juga tergarap secara baik. McGill Project tampaknya merupakan satu-satunya kerjasama yang hingga sekarang masih berlangsung. Padahal dengan meningkatnya jumlah alumni luar negeri yang bersamaan dengan semakin besarnya minat para peneliti luar negeri terhadap Islam Indonesia sebenarnya merupakan potensi bagi terciptanya jaringan kerjasama itu. Mereka tinggal melakukan kontak-kontak dengan lembaga-lembaga riset yang ada di almamaternya, dan menawarkan kerjasama yang mungkin dilakukan. Akan tetapi, penting ditegaskan bahwa jaringan kerjasama itu hanya mungkin terlaksana secara proporsional jika di lingkungan IAIN terdapat lembaga riset yang berkualitas. Jika lembaga semacam itu belum dimiliki, atau jika IAIN masih dalam kondisi objektifnya sekarang, yang terjadi adalah kerjasama yang tidak seimbang.

Agenda ketiga, memperluas cakrawala keilmuan, sebenarnya sudah menjadi agenda IAIN sejak lama. Sejak dekade 80-an, kalangan ahli pendidikan, baik di lingkungan Departemen Agama maupun IAIN, sudah mempunyai gagasan untuk mentransformasikan IAIN menjadi universitas. Transformasi itu pertama-tama dimaksudkan untuk memperluas cakrawala keilmuan IAIN; tidak hanya berkutat dengan ilmu-ilmu keislaman, tetapi juga memasuki ilmu-ilmu lain, termasuk bidang eksakta. Dengan demikian, IAIN akan menjadi center of exellance di lingkungan lembaga pendidikan Islam, khusunya dan di lingkungan universitas di Indonesia umumnya. Sebagai langkah awal, kalangan IAIN, khususnya IAIN Jakarta dan Yogyakarta, telah mempersiapkan diri dengan konsep "IAIN with wider mandate". Beberapa di antaranya bahkan telah membukan jurusan-jurusan umum seperti psikologi, sosiologi, dan politik Islam. Agenda-agenda tersebut sangat strategis dan akan membuka cakrawala IAIN sebagai salah satu perguruan tinggi yang diperhitungkan di negeri ini.

IAIN dan Masa Depan Islam Indonesia

Di kalangan para pengamat keislaman (Islamisis), Asia Tenggara merupakan wilayah kajian Islam yang menarik. Jumlah penduduk Muslim Asia Tenggara yang besar menjadi salah satu kekuatan Islam yang patut diperhitungkan. Letaknya memang jauh dari pusat-pusat Islam di Timur Tengah-Indonesia bahkan paling jauh-, tetapi model keberagamaan yang cenderung sinkretik dan kurang agresif, telah menyebabkan wilayah ini menjadi pusat perhatian kalangan Islamisis. Sejumlah Islamisis seperti Anthony Reid, John L. Esposito, Mark R. Woodward, Robert W. Hefner, dan sebagainya semakin menaruh minat besar terhadap Islam di Asia Tenggara, khususnya Indonesia. Clifford Geertz, dalam komentar-komentar restrospektifnya mengenai mengenai lebih dari empat dekade penelitian dan refleksinya tentang masyarakat dan agama di Indonesia dan Maroko, mengakui bahwa studi-studi tentang Indonesia telah mengembangkan paradigma baru yang berpusat pada Islam.

Secara geografis Asia Tenggara memang berbeda dengan kawasan Islam lainnya. Nurcholis Madjid membagi dunia Islam ke dalam dua kawasan, pertama kawasan wilayah Islam Arab yang berbasis gurun dan kawasan Islam Asia Tengah yang berbasis savanah. Sementara itu kawasan Islam Asia Tenggara, terutama Indonesia, yang berbasis kepulauan dan tanah yang subur itu tidak termasuk dalam peta wilayah Islam. Perbedaan lingkungan tersebut sangat mempengaruhi corak keberagamaannya. Misalnya saja kecenderungan masyarakat agraris yang lebih mengutamakan solidaritas kelompok-kelompok sosial menyebabkan mereka lebih toleran atau terbuka dengan perbedaan-perbedaan. Hal itu menyebabkan Islam Asia Tenggara lebih siap untuk berhadapan dengan perbedaan budaya dengan sikap yang toleran dan terbuka. Tidak kurang dari Fazlur Rahman, pencetus gerakan neomodernisme Islam, ketika berkunjung ke Indonesia mengungkapkan rasa optimisme bahwa kebangkitan Islam akan mulai dari Indonesia. Optimisme Fazlur Rahman itu tidak berlebihan karena bukan saja umat Islam Indonesia dari segi jumlah adalah terbesar di dunia. Lebih dari itu, keberagamaan yang berkembang di Indonesia bercorak inklusif. Model keberagamaan eksklusif atau fundamentalis tidak banyak mempunyai pengikut di wilayah ini.

IAIN sebagai lembaga pendidikan tinggi Islam, jelas mempunyai kontribusi terhadap model keberagamaan masyarakat Muslim Indonesia. Studi Islam yang dikembangkan di IAIN tidak hanya mendukung model keberagamaan inklusif di kalangan masyarakat Muslim Indonesia, lebih dari itu juga menciptakan kerukunan antarumat beragama di Indonesia. Teologi inklusif dirintis perkembangannya oleh Harun Nasution dengan membukan mata kuliah teologi Islam yang bercorak non-madzhab dan bersemangat toleran. Konsep ini selanjutnya dimatangkan oleh Nurcholish Madjid dalam berbagai tulisan dan ceramahnya. Sedangkan konsep kerukunan antarumat beragama dirintis perkembanganya oleh A. Mukti Ali, baik semasa menjadi Menteri Agama maupun ketikan mengajar di IAIN Yogyakarta. Sementara itu tentang sumbangan Muslim Indonesia tentang wacan Islamisasi ilmu pengetahuan juga tampak. Muslim Abdurrahman dengan konsepnya Islam transformatif mencoba menggagas penerjemahan nilai normatif Islam ke dalam sebuah ideologi transformasi. Kuntowijoyo dengan konsep ilmu sosial prophetik adalah sebuah ide yang penting dalam proses pencarian konsep Islamisasi ilmu pengetahuan yang sesuai dengan proses perkembangan sejarah maupun budaya. Di bidang lain, munculnya pemikir Islam semisal Quraish Shihab, Ayumardi Azra, dan Jalaludin Rahmat, untuk menyebut beberapa orang, mengindikasikan keterlibatan Muslim Indonesia dengan wacana keislaman terlebih dengan wacana global dunia.

Beberapa intelektual Muslim yang disebutkan, tidak hanya mempunyai kaitan dengan IAIN, sebagian besar mereka adalah alumni IAIN. Dalam konteks inilah optimisme Fazlur Rahman bukan semata-mata pujian kosong, tetapi lebih merupakan harapan yang didasarkan pada realitas kehidupan keberagamaan di negeri ini. Namun harus segera dikatakan bahwa optimisme itu hanya tinggal otimisme jika tidak terdapat dukungan dari berbagai kalangan, baik kalangan intelektual maupun lembaga pendidikan, untuk mewujudkannya. IAIN sebagai lembaga pendidikan tinggi Islam bersatus negeri jelas sangat strategis dalam turut serta mewujudkan optimisme tersebut. Karena itu, tidak berlebihan jika dikatakan bahwa kualitas IAIN akan menentukan corak perkembangan Islam Indonesia di masa depan.

Mewujudkan Islam Indonesia yang ramah dan damai, alumni IAIN tidak hanya harus memiliki dasar pengetahuan (basic competancy) dalam bidang agama guna memenuhi harapan yang bersifat sosial. Lebih dari itu juga harus memiliki kaulifikasi sebagai insan akademis. Di sini tamatan IAIN dituntut memiliki wawasan teoritis dan dan ketrampilan yang dibutuhkan dalam era globalisasi. Departemen Agama sendiri telah mengambil langkah-langkah ke arah terwujudnya tuntutan tersebut. Hal ini antara lain tampak dalam rencana peningkatan IAIN menjadi universitas yang dimulai dengan memberikan mandat yang lebih luas kepada IAIN tertentu (IAIN with wider mandate).

Penutup

IAIN memang harus berani meneguhkan dirinya tidak semata-mata lembaga dakwah, tetapi lembaga akademis. IAIN harus mensosialisasikan kepada masyarakat luas bahwa harapan-harapan yang bersifat akademis harus mendapat porsi yang lebih besar daripada harapan-harapan yang bersifat sosial. Di samping itu, dari segi kurikulum IAIN juga harus berani melakukan restrukturisasi. Sebagai pusat keilmuan dan penelitian Islam, disiplin keagamaan selain lebih menekuni bidang-bidang kajian Islam, hendaknya juga mencakup penguasaan kerangka teori ilmu-ilmu umum.

Dengan mereorientasi diri sebagaimana disebutkan, IAIN dapat membuka berbagai profesi yang dibutuhkan masyarakat. Di samping itu, yang tidak kalah pentingnya adalah lebih meneguhkan dirinya sebagai lembaga akademis. Bagi mahasiswa IAIN yang berminat menjadi "ulama", dapat mengambil berbagai program studi khusus seperti program studi al-Qur'an, program studi Hadits, program studi Fiqh dan sebagainya. Bagi yang ingin menjadi "ilmuwan/saintis", dapat mengambil program studi umum seperti psikologi, ekonomi, teknik, MIPA bahkan kedokteran sekalipun.

IAIN harus terus-menerus melakukan reorientasi diri agar tidak tertinggal dibandingkan dengan dengan lembaga-lembaga pendidikan tinggi lain. Jika berhenti melakukan reorientasi dan refleksi, maka IAIN bukan hanya akan ditingggalkan oleh masyarakat Muslim, lebih dari itu perannya dalam ikut serta membangun kehidupan agama yang inklusif di Indonesia hanya menjadi cita-cita belaka.

Demikianlah.

Minggu, 07 Maret 2010

Tak biasa

Waktu terus berlalu membencinya
terlalu bnyak luka diliuk bibirnya
tak biasa luka menerpa dada, bgitu lelap d jiwa.

Tak biasa luka menerpa dada, kecewa
Kecewa hidup bibir berbisanya.

Lelah, lelah skali,
bosan, bosan skali,
tp sdhlah, tak guna hdup terluka, masa manis telah minyita jiwa.

Bukittinggi, shbat jd cnta.

SEJARAH

Di depan pelaminan itu
terukir cinta, pria wanita
tangan-tangan menitip do'a

di depan pelaminan itu
berlinang membasuh jejak, sejarah
berjejer do'a berlalu meninggalkan kenduri
dalam derap kumenyambut badai.

By agus,07

PERSPEKTIF DALAM PSIKOLOGI SOSIAL

PERSPEKTIF DALAM PSIKOLOGI SOSIAL

Hasan Mustafa

Pengantar :

Tulisan ini disusun sebagai upaya membantu mahasiswa memahami isi mata kuliah Psikologi Sosial pada program studi Administrasi Negara Fisip Unpar. Acuan uraian ini adalah buku yang ditulis oleh James A. Wiggins, Beverly B. Wiggins, dan James Vander Zanden ( 1994), dilengkapi oleh sumber bacaan lain. Topik lain yang juga merupakan pokok bahasan dalam mata kuliah tersebut akan segera disusun. Semoga bermanfaat.

Akar awal Psikologi Sosial

Walau psikologi sosial merupakan disiplin yang telah lama ada ( sejak Plato dan Aristotle), namun secara resmi, disiplin ini menjadi satu ilmu yang mandiri baru sejak tahun 1908. Pada tahun itu ada dua buku teks yang terkenal yaitu “Introduction to Social Psychology” ditulis oleh William McDougall – seorang psikolog – dan “Social Psychology : An Outline and Source Book , ditulis oleh E.A. Ross – seorang sosiolog.

Berdasarkan latar belakang penulisnya maka dapat dipahami bahwa psikologi sosial bisa di”claim” sebagai bagian dari psikologi, dan bisa juga sebagai bagian dari sosiologi.

Psikologi sosial juga merupakan pokok bahasan dalam sosiologi karena dalam sosiologi dikenal ada dua perspektif utama, yaitu perspektif struktural makro yang menekankan kajian struktur sosial, dan perspektif mikro yang menekankan pada kajian individualistik dan psikologi sosial dalam menjelaskan variasi perilaku manusia.. Di Amerika disiplin ini banyak dibina oleh jurusan sosiologi – di American Sociological Association terdapat satu bagian yang dinamakan “social psychological section“, sedangkan di Indonesia, secara formal disiplin psikologi sosial di bawah binaan fakultas psikologi, namun dalam prakteknya tidak sedikit para pakar sosiologi yang juga menguasai disiplin ini sehingga dalam berbagai tulisannya, cara pandang psikologi sosial ikut mewarnainya.

Apakah perbedaan di antara Sosiologi dan Psikologi ??

Kita sering berpikir bahwa yang namanya dunia psikologi adalah dunia yang

berkaitan dengan persoalan perasaan, motivasi, kepribadian, dan yang sejenisnya.

Dan kalau berpikir tentang sosiologi, secara umum cenderung memikirkan persoalan

kemasyarakatan. Kajian utama psikologi adalah pada persoalan kepribadian, mental,

perilaku, dan dimensi-dimensi lain yang ada dalam diri manusia sebagai individu.

Sosiologi lebih mengabdikan kajiannya pada budaya dan struktur sosial yang

keduanya mempengaruhi interaksi, perilaku, dan kepribadian. Kedua bidang ilmu

tersebut bertemu di daerah yang dinamakan psikologi sosial . Dengan demikian para

psikolog berwenang merambah bidang ini, demikian pula para sosiolog. Namun

karena perbedaan latar belakang maka para psikolog akan menekankan pengaruh

situasi sosial terhadap proses dasar psikologikal – persepsi kognisi emosi dan

2

Pertanyaan yang paling mendasar yang senantiasa menjadi kajian dalam psikologi

sosial adalah : ” Bagaimana kita dapat menjelaskan pengaruh orang lain terhadap perilaku

kita?’”. Misalnya di Prancis, para analis sosial sering mengajukan pertanyaan mengapa

pada saat revolusi Prancis, perilaku orang menjadi cenderung emosional ketimbang

rasional? Demikian juga di Jerman dan Amerika Serikat dilakukan studi tentang

kehadiran orang lain dalam memacu prestasi seseorang . Misalnya ketika seorang anak

belajar seorang diri dan belajar dalam kelompok, bisa menunjukan prestasi lebih baik

dibandingkan ketika mereka belajar sendiri. Gordon Allport (1968) menjelaskan bahwa

seorang boleh disebut sebagai psikolog sosial jika dia “berupaya memahami,

menjelaskan, dan memprediksi bagaimana pikiran, perasaan, dan tindakan individuindividu

dipengaruhi oleh pikiran, perasaan, dan tindakan-tindakan orang lain yang

dilihatnya, atau bahkan hanya dibayangkannya”

Teori-teori awal yang dianggap mampu menjelaskan perilaku seseorang, difokuskan

pada dua kemungkinan (1) perilaku diperoleh dari keturunan dalam bentuk instinkinstink

biologis – lalu dikenal dengan penjelasan “nature” - dan (2) perilaku bukan

diturunkan melainkan diperoleh dari hasil pengalaman selama kehidupan mereka -

3

dikenal dengan penjelasan “nurture”. Penjelasan “nature” dirumuskan oleh ilmuwan

Inggris Charles Darwin pada abad kesembilan belas di mana dalam teorinya

dikemukakan bahwa semua perilaku manusia merupakan serangkaian instink yang

diperlukan agar bisa bertahan hidup. Mc Dougal sebagai seorang psikolog cenderung

percaya bahwa seluruh perilaku sosial manusia didasarkan pada pandangan ini

(instinktif).

Namun banyak analis sosial yang tidak percaya bahwa instink merupakan sumber

perilaku sosial. Misalnya William James, seorang psikolog percaya bahwa walau instink

merupakan hal yang mempengaruhi perilaku sosial, namun penjelasan utama cenderung

ke arah kebiasaan - yaitu pola perilaku yang diperoleh melalui pengulangan sepanjang

kehidupan seseorang. Hal ini memunculkan “nurture explanation”. Tokoh lain yang juga

seorang psikolog sosial, John Dewey mengatakan bahwa perilaku kita tidak sekedar

muncul berdasarkan pengalaman masa lampau, tetapi juga secara terus menerus berubah

atau diubah oleh lingkungan – “situasi kita” – termasuk tentunya orang lain.

Berbagai alternatif yang berkembang dari kedua pendekatan tersebut kemudian

memunculkan berbagai perspektif dalam psikologi sosial – seperangkat asumsi dasar

tentang hal paling penting yang bisa dipertimbangkan sebagai sesuatu yang bisa

digunakan untuk memahami perilaku sosial. Ada empat perspektif, yaitu : perilaku

(behavioral perspectives) , kognitif (cognitive perspectives), stuktural (structural

perspectives), dan interaksionis (interactionist perspectives).

Perspektif perilaku dan kognitif lebih banyak digunakan oleh para psikolog sosial

yang berakar pada psikologi. Mereka sering menawarkan jawaban yang berbeda atas

sebuah pertanyaan : “Seberapa besar perhatian yang seharusnya diberikan oleh para

psikolog sosial pada kegiatan mental dalam upayanya memahami perilaku sosial?”.

Perspektif perilaku menekankan, bahwa untuk dapat lebih memahami perilaku seseorang,

seyogianya kita mengabaikan informasi tentang apa yang dipikirkan oleh seseorang.

Lebih baik kita memfokuskan pada perilaku seseorang yang dapat diuji oleh pengamatan

kita sendiri. Dengan mempertimbangkan proses mental seseorang, kita tidak terbantu

memahami perilaku orang tersebut, karena seringkali proses mental tidak reliabel untuk

memprediksi perilaku. Misalnya tidak semua orang yang berpikiran negatif tentang

sesuatu, akan juga berperilaku negatif. Orang yang bersikap negatif terhadap bangsa A

4

misalnya, belum tentu dia tidak mau melakukan hubungan dengan bangsa A tersebut.

Intinya pikiran, perasaan, sikap (proses mental) bukan sesuatu yang bisa menjelaskan

perilaku seseorang.

Sebaliknya, perspektif kognitif menekankan pada pandangan bahwa kita tidak bisa

memahami perilaku seseorang tanpa mempelajari proses mental mereka. Manusia tidak

menanggapi lingkungannya secara otomatis. Perilaku mereka tergantung pada bagaimana

mereka berpikir dan mempersepsi lingkungannya. Jadi untuk memperoleh informasi yang

bisa dipercaya maka proses mental seseorang merupakan hal utama yang bisa

menjelaskan perilaku sosial seseorang.

Perspektif struktural dan interaksionis lebih sering digunakan oleh para psikolog sosial

yang berasal dari disiplin sosiologi. Pertanyaan yang umumnya diajukan adalah : “

Sejauhmana kegiatan-kegiatan individual membentuk interaksi sosial ?”. Perspektif

struktural menekankan bahwa perilaku seseorang dapat dimengerti dengan sangat baik

jika diketahui peran sosialnya. Hal ini terjadi karena perilaku seseorang merupakan reaksi

terhadap harapan orang-orang lain. Seorang mahasiswa rajin belajar, karena masyarakat

mengharapkan agar yang namanya mahasiswa senantiasa rajin belajar. Seorang ayah rajin

bekerja mencari nafkah guna menghidupi keluarganya. Mengapa ? Karena masyarakat

mengharapkan dia berperilaku seperti itu, jika tidak maka dia tidak pantas disebut sebagai

“seorang ayah”. Perspektif interaksionis lebih menekankan bahwa manusia merupakan

agen yang aktif dalam menetapkan perilakunya sendiri, dan mereka yang membangun

harapan-harapan sosial. Manusia bernegosiasi satu sama lainnya untuk membentuk

interaksi dan harapannya. Untuk lebih jelas, di bawah ini diuraikan satu persatu keempat

prespektif dalam psikologi sosial.

1. Perspektif Perilaku (Behavioral Perspective)

Pendekatan ini awalnya diperkenalkan oleh John B. Watson (1941, 1919).

Pendekatan ini cukup banyak mendapat perhatian dalam psikologi di antara tahun 1920-

an s/d 1960-an. Ketika Watson memulai penelitiannya, dia menyarankan agar

pendekatannya ini tidak sekedar satu alternatif bagi pendekatan instinktif dalam

memahami perilaku sosial, tetapi juga merupakan alternatif lain yang memfokuskan pada

pikiran, kesadaran, atau pun imajinasi. Watson menolak informasi instinktif semacam itu,

5

yang menurutnya bersifat “mistik”, “mentalistik”, dan “subyektif”. Dalam psikologi

obyektif maka fokusnya harus pada sesuatu yang “dapat diamati” (observable), yaitu

pada “apa yang dikatakan (sayings) dan apa yang dilakukan (doings)”. Dalam hal ini

pandangan Watson berbeda dengan James dan Dewey, karena keduanya percaya bahwa

proses mental dan juga perilaku yang teramati berperan dalam menyelaskan perilaku

sosial.

Para “behaviorist” memasukan perilaku ke dalam satu unit yang dinamakan

“tanggapan” (responses), dan lingkungan ke dalam unit “rangsangan” (stimuli). Menurut

penganut paham perilaku, satu rangsangan dan tanggapan tertentu bisa berasosiasi satu

sama lainnya, dan menghasilkan satu bentuk hubungan fungsional. Contohnya, sebuah

rangsangan ” seorang teman datang “, lalu memunculkan tanggapan misalnya, “tersenyum”.

Jadi seseorang tersenyum, karena ada teman yang datang kepadanya. Para

behavioris tadi percaya bahwa rangsangan dan tanggapan dapat dihubungkan tanpa

mengacu pada pertimbangan mental yang ada dalam diri seseorang. Jadi tidak terlalu

mengejutkan jika para behaviorisme tersebut dikategorikan sebagai pihak yang

menggunakan pendekatan “kotak hitam (black-box)” . Rangsangan masuk ke sebuah

kotak (box) dan menghasilkan tanggapan. Mekanisme di dalam kotak hitam tadi -

srtuktur internal atau proses mental yang mengolah rangsangan dan tanggapan – karena

tidak dapat dilihat secara langsung (not directly observable), bukanlah bidang kajian para

behavioris tradisional.

Kemudian, B.F. Skinner (1953,1957,1974) membantu mengubah fokus behaviorisme

melalui percobaan yang dinamakan “operant behavior” dan “reinforcement“. Yang

dimaksud dengan “operant condition” adalah setiap perilaku yang beroperasi dalam suatu

lingkungan dengan cara tertentu, lalu memunculkan akibat atau perubahan dalam

lingkungan tersebut. Misalnya, jika kita tersenyum kepada orang lain yang kita hadapi,

lalu secara umum, akan menghasilkan senyuman yang datangnya dari orang lain tersebut.

Dalam kasus ini, tersenyum kepada orang lain tersebut merupakan “operant behavior“.

Yang dimaksud dengan “reinforcement” adalah proses di mana akibat atau perubahan

yang terjadi dalam lingkungan memperkuat perilaku tertentu di masa datang . Misalnya,

jika kapan saja kita selalu tersenyum kepada orang asing (yang belum kita kenal

sebelumnya), dan mereka tersenyum kembali kepada kita, maka muncul kemungkinan

6

bahwa jika di kemudian hari kita bertemu orang asing maka kita akan tersenyum. Perlu

diketahui, reinforcement atau penguat, bisa bersifat positif dan negatif. Contoh di atas

merupakan penguat positif. Contoh penguat negatif, misalnya beberapa kali pada saat kita

bertemu dengan orang asing lalu kita tersenyum dan orang asing tersebut diam saja atau

bahkan menunjukan rasa tidak suka, maka dikemudian hari jika kita bertemu orang asing

kembali, kita cenderung tidak tersenyum (diam saja).

Dalam pendekatan perilaku terdapat teori-teori yang mencoba menjelaskan secara

lebih mendalam mengapa fenomena sosial yang diutarakan dalam pendekatan perilaku

bisa terjadi. Beberapa teori antara lain adalah Teori Pembelajaran Sosial (Social Learning

Theory) dan Teori Pertukaran Sosial (Social Exchange Theory).

a. Teori Pembelajaran Sosial.

Di tahun 1941, dua orang psikolog – Neil Miller dan John Dollard – dalam laporan

hasil percobaannya mengatakan bahwa peniruan (imitation) di antara manusia tidak

disebabkan oleh unsur instink atau program biologis. Penelitian kedua orang tersebut

mengindikasikan bahwa kita belajar (learn) meniru perilaku orang lain. Artinya peniruan

tersebut merupakan hasil dari satu proses belajar, bukan bisa begitu saja karena instink.

Proses belajar tersebut oleh Miller dan Dollard dinamakan “social learning ” -

“pembelajaran sosial”. Perilaku peniruan (imitative behavior) kita terjadi karena kita

merasa telah memperoleh imbalan ketika kita meniru perilaku orang lain, dan

memperoleh hukuman ketika kita tidak menirunya. Agar seseorang bisa belajar

mengikuti aturan baku yang telah ditetapkan oleh masyarakat maka “para individu harus

dilatih, dalam berbagai situasi, sehingga mereka merasa nyaman ketika melakukan apa

yang orang lain lakukan, dan merasa tidak nyaman ketika tidak melakukannya.”,

demikian saran yang dikemukakan oleh Miller dan Dollard.

Dalam penelitiannya, Miller dan Dollard menunjukan bahwa anak-anak dapat belajar

meniru atau tidak meniru seseorang dalam upaya memperoleh imbalan berupa permen.

Dalam percobaannya tersebut, juga dapat diketahui bahwa anak-anak dapat membedakan

orang-orang yang akan ditirunya. Misalnya jika orang tersebut laki-laki maka akan

ditirunya, jika perempuan tidak. Lebih jauh lagi, sekali perilaku peniruan terpelajari

(learned), hasil belajar ini kadang berlaku umum untuk rangsangan yang sama. Misalnya,

7

anak-anak cenderung lebih suka meniru orang-orang yang mirip dengan orang yang

sebelumnya memberikan imbalan. Jadi, kita mempelajari banyak perilaku “baru” melalui

pengulangan perilaku orang lain yang kita lihat. Kita contoh perilaku orang-orang lain

tertentu, karena kita mendapatkan imbalan atas peniruan tersebut dari orang-orang lain

tertentu tadi dan juga dari mereka yang mirip dengan orang-orang lain tertentu tadi, di

masa lampau.

Dua puluh tahun berikutnya, Albert Bandura dan Richard Walters (1959, 1963),

mengusulkan satu perbaikan atas gagasan Miller dan Dollard tentang belajar melalui

peniruan. Bandura dan Walters menyarankan bahwa kita belajar banyak perilaku melalui

peniruan, bahkan tanpa adanya penguat (reinforcement) sekalipun yang kita terima. Kita

bisa meniru beberapa perilaku hanya melalui pengamatan terhadap perilaku model, dan

akibat yang ditimbulkannya atas model tersebut. Proses belajar semacam ini disebut

“observational learning” – pembelajaran melalui pengamatan. Contohnya, percobaan

Bandura dan Walters mengindikasikan bahwa ternyata anak-anak bisa mempunyai

perilaku agresif hanya dengan mengamati perilaku agresif sesosok model, misalnya

melalui film atau bahkan film karton.

Bandura (1971), kemudian menyarankan agar teori pembelajaran sosial seyogianya

diperbaiki lebih jauh lagi. Dia mengatakan bahwa teori pembelajaran sosial yang benarbenar

melulu menggunakan pendekatan perilaku dan lalu mengabaikan pertimbangan

proses mental, perlu dipikirkan ulang. Menurut versi Bandura, maka teori pembelajaran

sosial membahas tentang (1) bagaimana perilaku kita dipengaruhi oleh lingkungan

melalui penguat (reinforcement) dan observational learning, (2) cara pandang dan cara

pikir yang kita miliki terhadap informasi, (3) begitu pula sebaliknya, bagaimana perilaku

kita mempengaruhi lingkungan kita dan menciptakan penguat (reinforcement) dan

observational opportunity - kemungkinan bisa diamati oleh orang lain.

b. Teori Pertukaran Sosial (Social Exchange Theory)

Tokoh-tokoh yang mengembangkan teori pertukaran sosial antara lain adalah

psikolog John Thibaut dan Harlod Kelley (1959), sosiolog George Homans (1961),

Richard Emerson (1962), dan Peter Blau (1964). Berdasarkan teori ini, kita masuk ke

dalam hubungan pertukaran dengan orang lain karena dari padanya kita memperoleh

8

imbalan. Dengan kata lain hubungan pertukaran dengan orang lain akan menghasilkan

suatu imbalan bagi kita. Seperti halnya teori pembelajaran sosial, teori pertukaran sosial

pun melihat antara perilaku dengan lingkungan terdapat hubungan yang saling

mempengaruhi (reciprocal). Karena lingkungan kita umumnya terdiri atas orang-orang

lain, maka kita dan orang-orang lain tersebut dipandang mempunyai perilaku yang saling

mempengaruhi Dalam hubungan tersebut terdapat unsur imbalan (reward), pengorbanan

(cost) dan keuntungan (profit). Imbalan merupakan segala hal yang diperloleh melalui

adanya pengorbanan, pengorbanan merupakan semua hal yang dihindarkan, dan

keuntungan adalah imbalan dikurangi oleh pengorbanan. Jadi perilaku sosial terdiri atas

pertukaran paling sedikit antar dua orang berdasarkan perhitungan untung-rugi. Misalnya,

pola-pola perilaku di tempat kerja, percintaan, perkawinan, persahabatan – hanya akan

langgeng manakala kalau semua pihak yang terlibat merasa teruntungkan. Jadi perilaku

seseorang dimunculkan karena berdasarkan perhitungannya, akan menguntungkan bagi

dirinya, demikian pula sebaliknya jika merugikan maka perilaku tersebut tidak

ditampilkan.

Berdasarkan keyakinan tersebut Homans dalam bukunya “Elementary Forms of Social

Behavior, 1974 mengeluarkan beberapa proposisi dan salah satunya berbunyi :”Semua

tindakan yang dilakukan oleh seseorang, makin sering satu bentuk tindakan tertentu

memperoleh imbalan, makin cenderung orang tersebut menampilkan tindakan tertentu

tadi “. Proposisi ini secara eksplisit menjelaskan bahwa satu tindakan tertentu akan

berulang dilakukan jika ada imbalannya. Proposisi lain yang juga memperkuat proposisi

tersebut berbunyi : “Makin tinggi nilai hasil suatu perbuatan bagi seseorang, makin

besar pula kemungkinan perbuatan tersebut diulanginya kembali”. Bagi Homans, prinsip

dasar pertukaran sosial adalah “distributive justice” – aturan yang mengatakan bahwa

sebuah imbalan harus sebanding dengan investasi. Proposisi yang terkenal sehubungan

dengan prinsip tersebut berbunyi ” seseorang dalam hubungan pertukaran dengan orang

lain akan mengharapkan imbalan yang diterima oleh setiap pihak sebanding dengan

pengorbanan yang telah dikeluarkannya – makin tingghi pengorbanan, makin tinggi

imbalannya – dan keuntungan yang diterima oleh setiap pihak harus sebanding dengan

investasinya - makin tinggi investasi, makin tinggi keuntungan”.

9

Inti dari teori pembelajaran sosial dan pertukaran sosial adalah perilaku sosial

seseorang hanya bisa dijelaskan oleh sesuatu yang bisa diamati, bukan oleh proses

mentalistik (black-box). Semua teori yang dipengaruhi oleh perspektif ini menekankan

hubungan langsung antara perilaku yang teramati dengan lingkungan.

2. Perspektif Kognitif (The Cognitive Perspective)

Kita telah memberikan indikasi bahwa kebiasaan (habit) merupakan penjelasan

alternatif yang bisa digunakan untuk memahami perilaku sosial seseorang di samping

instink (instinct). Namun beberapa analis sosial percaya bahwa kalau hanya kedua hal

tersebut (kebiasaan dan instink) yang dijadikan dasar, maka dipandang terlampau ekstrem

- karena mengabaikan kegiatan mental manusia.

Seorang psikolog James Baldwin (1897) menyatakan bahwa paling sedikit ada dua

bentuk peniruan, satu didasarkan pada kebiasaan kita dan yang lainnya didasarkan pada

wawasan kita atas diri kita sendiri dan atas orang lain yang perilakunya kita tiru. Walau

dengan konsep yang berbeda seorang sosiolog Charles Cooley (1902) sepaham dengan

pandangan Baldwin. Keduanya memfokuskan perhatian mereka kepada perilaku sosial

yang melibatkan proses mental atau kognitif .

Kemudian banyak para psikolog sosial menggunakan konsep sikap (attitude) untuk

memahami proses mental atau kognitif tadi. Dua orang sosiolog W.I. Thomas dan Florian

Znaniecki mendefinisikan psikologi sosial sebagai studi tentang sikap, yang diartikannya

sebagai proses mental individu yang menentukan tanggapan aktual dan potensial individu

dalam dunia sosial”. Sikap merupakan predisposisi perilaku. Beberapa teori yang

melandasi perpektif ini antara lain adalah Teori Medan (Field Theory), Teori Atribusi

dan Konsistensi Sikap (Concistency Attitude and Attribution Theory), dan Teori Kognisi

Kontemporer.

a. Teori Medan (Field Theory)

Seorang psikolog, Kurt Lewin (1935,1936) mengkaji perilaku sosial melalui

pendekatan konsep “medan”/”field” atau “ruang kehidupan” – life space. Untuk

memahami konsep ini perlu dipahami bahwa secara tradisional para psikolog

memfokuskan pada keyakinan bahwa karakter individual (instink dan kebiasaan), bebas -

10

lepas dari pengaruh situasi di mana individu melakukan aktivitas. Namun Lewin kurang

sepaham dengan keyakinan tersebut. Menurutnya penjelasan tentang perilaku yang tidak

memperhitungkan faktor situasi, tidaklah lengkap. Dia merasa bahwa semua peristiwa

psikologis apakah itu berupa tindakan, pikiran, impian, harapan, atau apapun,

kesemuanya itu merupakan fungsi dari “ruang kehidupan”- individu dan lingkungan

dipandang sebagai sebuah konstelasi yang saling tergantung satu sama lainnya. Artinya

“ruang kehidupan” merupakan juga merupakan determinan bagi tindakan, impian,

harapan, pikiran seseorang. Lewin memaknakan “ruang kehidupan” sebagai seluruh

peristiwa (masa lampau, sekarang, masa datang) yang berpengaruh pada perilaku dalam

satu situasi tertentu.

Bagi Lewin, pemahaman atas perilaku seseorang senantiasa harus dikaitkan dengan

konteks – lingkungan di mana perilaku tertentu ditampilkan. Intinya, teori medan

berupaya menguraikan bagaimana situasi yang ada (field) di sekeliling individu

bepengaruh pada perilakunya. Sesungguhnya teori medan mirip dengan konsep “gestalt”

dalam psikologi yang memandang bahwa eksistensi bagian-bagian atau unsur-unsur tidak

bisa terlepas satu sama lainnya. Misalnya, kalau kita melihat bangunan, kita tidak

melihat batu bata, semen, kusen, kaca, secara satu persatu. Demikian pula kalau kita

mempelajari perilaku individu, kita tidak bisa melihat individu itu sendiri, lepas dari

konteks di mana individu tersebut berada.

b. Teori Atribusi dan Konsistensi Sikap ( Attitude Consistency and Attribution

Theory)

Fritz Heider (1946, 1958), seorang psikolog bangsa Jerman mengatakan bahwa kita

cenderung mengorganisasikan sikap kita, sehingga tidak menimbulkan konflik.

Contohnya, jika kita setuju pada hak seseorang untuk melakukan aborsi, seperti juga

orang-orang lain, maka sikap kita tersebut konsisten atau seimbang (balance). Namun

jika kita setuju aborsi tetapi ternyata teman-teman dekat kita dan juga orang-orang di

sekeliling kita tidak setuju pada aborsi maka kita dalam kondisi tidak seimbang

(imbalance). Akibatnya kita merasa tertekan (stress), kurang nyaman, dan kemudian kita

akan mencoba mengubah sikap kita, menyesuaikan dengan orang-orang di sekitar kita,

misalnya dengan bersikap bahwa kita sekarang tidak sepenuhnya setuju pada aborsi.

11

Melalui pengubahan sikap tersebut, kita menjadi lebih nyaman. Intinya sikap kita

senantiasa kita sesuaikan dengan sikap orang lain agar terjadi keseimbangan karena

dalam situasi itu, kita menjadi lebih nyaman.

Heider juga menyatakan bahwa kita mengorganisir pikiran-pikiran kita dalam

kerangka “sebab dan akibat”. Agar supaya bisa meneruskan kegiatan kita dan

mencocokannya dengan orang-orang di sekitar kita, kita mentafsirkan informasi untuk

memutuskan penyebab perilaku kita dan orang lain. Heider memperkenalkan konsep

“causal attribution” - proses penjelasan tentang penyebab suatu perilaku. Mengapa Tono

pindah ke kota lain ?, Mengapa Ari keluar dari sekolah ?. Kita bisa menjelaskan perilaku

sosial dari Tono dan Ari jika kita mengetahui penyebabnya. Dalam kehidupan seharihari,

kita bedakan dua jenis penyebab, yaitu internal dan eksternal. Penyebab internal

(internal causality) merupakan atribut yang melekat pada sifat dan kualitas pribadi atau

personal, dan penyebab external (external causality) terdapat dalam lingkungan atau

situasi.

c. Teori Kognitif Kontemporer

Dalam tahun 1980-an, konsep kognisi, sebagian besarnya mewarnai konsep sikap.

Istilah “kognisi” digunakan untuk menunjukan adanya proses mental dalam diri

seseorang sebelum melakukan tindakan. Teori kognisi kontemporer memandang manusia

sebagai agen yang secara aktif menerima, menggunakan, memanipulasi, dan mengalihkan

informasi. Kita secara aktif berpikir, membuat rencana, memecahkan masalah, dan

mengambil keputusan. Manusia memproses informasi dengan cara tertentu melalui

struktur kognitif yang diberi istilah “schema” (Markus dan Zajonc, 1985 ; Morgan dan

Schwalbe, 1990; Fiske and Taylor, 1991). Struktur tersebut berperan sebagai kerangka

yang dapat menginterpretasikan pengalaman-pengalaman sosial yang kita miliki. Jadi

struktur kognisi bisa membantu kita mencapai keterpaduan dengan lingkungan, dan

membantu kita untuk menyusun realitas sosial. Sistem ingatan yang kita miliki

diasumsikan terdiri atas struktur pengetahuan yang tak terhitung jumlahnya.

Intinya, teori-teori kognitif memusatkan pada bagaiamana kita memproses informasi

yang datangnya dari lingkungan ke dalam struktur mental kita Teori-teori kognitif

percaya bahwa kita tidak bisa memahami perilaku sosial tanpa memperoleh informasi

12

tentang proses mental yang bisa dipercaya, karena informasi tentang hal yang obyektif,

lingkungan eksternal belum mencukupi.

3. Perspektif Struktural

Telah kita catat bahwa telah terjadi perdebatan di antara para ilmuwan sosial dalam

hal menjelaskan perilaku sosial seseorang. Untuk menjelaskan perilaku sosial seseorang

dapat dikaji sebagai sesuatu proses yang (1) instinktif, (2) karena kebiasaan, dan (3)

juga yang bersumber dari proses mental. Mereka semua tertarik, dan dengan cara sebaik

mungkin lalu menguraikan hubungan antara masyarakat dengan individu. William James

dan John Dewey menekankan pada penjelasan kebiasaan individual, tetapi mereka juga

mencatat bahwa kebiasaan individu mencerminkan kebiasaan kelompok – yaitu adatistiadat

masyarakat – atau strutur sosial . Para sosiolog yakin bahwa struktur sosial terdiri

atas jalinan interaksi antar manusia dengan cara yang relatif stabil. Kita mewarisi struktur

sosial dalam satu pola perilaku yang diturunkan oleh satu generasi ke generasi

berikutnya, melalui proses sosialisasi. Disebabkan oleh struktur sosial, kita mengalami

kehidupan sosial yang telah terpolakan. James menguraikan pentingnya dampak struktur

sosial atas “diri” (self) – perasaan kita terhadap diri kita sendiri. Masyarakat

mempengaruhi diri – self.

Sosiolog lain Robert Park dari Universitas Chicago memandang bahwa masyarakat

mengorganisasikan, mengintegrasikan, dan mengarahkan kekuatan-kekuatan individuindividu

ke dalam berbagai macam peran (roles). Melalui peran inilah kita menjadi tahu

siapa diri kita. Kita adalah seorang anak, orang tua, guru, mahasiswa, laki-laki,

perempuan, Islam, Kristen. Konsep kita tentang diri kita tergantung pada peran yang kita

lakukan dalam masyarakat. Beberapa teori yang melandasi persektif strukturan adalah

Teori Peran (Role Theory), Teori Pernyataan – Harapan (Expectation-States Theory), dan

Posmodernisme (Postmodernism)

a. Teori Peran (Role Theory)

Walau Park menjelaskan dampak masyarakat atas perilaku kita dalam hubungannya

dengan peran, namun jauh sebelumnya Robert Linton (1936), seorang antropolog, telah

mengembangkan Teori Peran. Teori Peran menggambarkan interaksi sosial dalam

13

terminologi aktor-aktor yang bermain sesuai dengan apa-apa yang ditetapkan oleh

budaya. Sesuai dengan teori ini, harapan-harapan peran merupakan pemahaman bersama

yang menuntun kita untuk berperilaku dalam kehidupan sehari-hari. Menurut teori ini,

seseorang yang mempunyai peran tertentu misalnya sebagai dokter, mahasiswa, orang

tua, wanita, dan lain sebagainya, diharapkan agar seseorang tadi berperilaku sesuai

dengan peran tersebut. Mengapa seseorang mengobati orang lain, karena dia adalah

seorang dokter. Jadi karena statusnya adalah dokter maka dia harus mengobati pasien

yang datang kepadanya. Perilaku ditentukan oleh peran sosial

Kemudian, sosiolog yang bernama Glen Elder (1975) membantu memperluas

penggunaan teori peran. Pendekatannya yang dinamakan “life-course” memaknakan

bahwa setiap masyarakat mempunyai harapan kepada setiap anggotanya untuk

mempunyai perilaku tertentu sesuai dengan kategori-kategori usia yang berlaku dalam

masyarakat tersebut. Contohnya, sebagian besar warga Amerika Serikat akan menjadi

murid sekolah ketika berusia empat atau lima tahun, menjadi peserta pemilu pada usia

delapan belas tahun, bekerja pada usia tujuh belah tahun, mempunyai istri/suami pada

usia dua puluh tujuh, pensiun pada usia enam puluh tahun. Di Indonesia berbeda. Usia

sekolah dimulai sejak tujuh tahun, punya pasangan hidup sudah bisa usia tujuh belas

tahun, pensiun usia lima puluh lima tahun. Urutan tadi dinamakan “tahapan usia” (age

grading). Dalam masyarakat kontemporer kehidupan kita dibagi ke dalam masa kanakkanak,

masa remaja, masa dewasa, dan masa tua, di mana setiap masa mempunyai

bermacam-macam pembagian lagi.

b. Teori Pernyataan Harapan (Expectation-States Theory)

Teori ini diperkenalkan oleh Joseph Berger dan rekan-rekannya di Universitas

Stanford pada tahun 1972. Jika pada teori peran lebih mengkaji pada skala makro, yaitu

peran yang ditetapkan oleh masyarakat, maka pada teori ini berfokus pada kelompok

kerja yang lebih kecil lagi. Menurut teori ini, anggota-anggota kelompok membentuk

harapan-harapan atas dirinya sendiri dan diri anggota lain, sesuai dengan tugas-tugas

yang relevan dengan kemampuan mereka, dan harapan-harapan tersebut mempengaruhi

gaya interaksi di antara anggota-anggota kelompok tadi. Sudah tentu atribut yang paling

berpengaruh terhadap munculnya kinerja yang diharapkan adalah yang berkaitan dengan

14

ketrampilan kerjanya. Anggota-anggota kelompok dituntut memiliki motivasi dan

ketrampilan yang diperlukan untuk menyelesaikan tugas-tugas kelompok yang

diharapkan bisa ditampilkan sebaik mungkin.

Bagaimanapun juga, kita sering kekurangan informasi tentang kemampuan yang

berkaitan dengan tugas yang relevan, dan bahkan ketika kita memiliki informasi, yang

muncul adalah bahwa kita juga harus mendasarkan harapan kita pada atribut pribadi dan

kelompok seperti : jenis kelamin, ras, dan usia. Dalam beberapa masyarakat tertentu,

beberapa atribut pribadi dinilai lebih penting daripada atribut lainnya. Untuk menjadi

pemimpin, jenis kelamin kadang lebih diprioritaskan ketimbang kemampuan. Di

Indonesia, untuk menjadi presiden, ras merupakan syarat pertama yang harus dipenuhi.

Berger menyebut gejala tersebut sebagai “difusi karakteristik status”; karakteristik status

mempengaruhi harapan kelompok kerja. Status laki-laki lebih tinggi dibanding

perempuan dalam soal menjadi pemimpin, warganegara pribumi asli lebih diberi tempat

menduduki jabatan presiden. Difusi karakteristik status tersebut ( jenis kelamin, ras, usia,

dan lainnya) dengan demikian, mempunyai pengaruh yang kuat terhadap interaksi sosial.

c. Posmodernisme (Postmodernism)

Baik teori peran maupun teori pernyataan-harapan, keduanya menjelaskan perilaku

sosial dalam kaitannya dengan harapan peran dalam masyarakat kontemporer. Beberapa

psikolog lainnya justru melangkah lebih jauh lagi. Pada dasarnya teori posmodernisme

atau dikenal dengan singkatan “POSMO” merupakan reaksi keras terhadap dunia

modern. Teori Posmodernisme, contohnya, menyatakan bahwa dalam masyarakat

modern, secara gradual seseorang akan kehilangan individualitas-nya – kemandiriannya,

konsep diri, atau jati diri. (Denzin, 1986; Murphy, 1989; Dowd, 1991; Gergen, 1991) .

Dalam pandangan teori ini upaya kita untuk memenuhi peran yang dirancangkan untuk

kita oleh masyarakat, menyebabkan individualitas kita digantikan oleh kumpulan citra

diri yang kita pakai sementara dan kemudian kita campakkan..

Berdasarkan pandangan posmodernisme, erosi gradual individualitas muncul

bersamaan dengan terbitnya kapitalisme dan rasionalitas. Faktor-faktor ini mereduksi

pentingnya hubungan pribadi dan menekankan aspek nonpersonal. Kapitalisme atau

modernisme, menurut teori ini, menyebabkan manusia dipandang sebagai barang yang

15

bisa diperdagangkan – nilainya (harganya) ditentukan oleh seberapa besar yang bisa

dihasilkannya.

Setelah Perang Dunia II, manusia makin dipandang sebagai konsumen dan juga

sebagai produsen. Industri periklanan dan masmedia menciptakan citra komersial yang

mampu mengurangi keanekaragaman individualitas. Kepribadian menjadi gaya hidup.

Manusia lalu dinilai bukan oleh kepribadiannya tetapi oleh seberapa besar

kemampuannya mencontoh gaya hidup. Apa yang kita pertimbangkan sebagai “ pilihan

kita sendiri” dalam hal musik, makanan, dan lain-lainnya, sesungguhnya merupakan

seperangkat kegemaran yang diperoleh dari kebudayaan yang cocok dengan tempat kita

dalam struktur ekonomi masyarakat kita. Misalnya, kesukaan remaja Indonesia terhadap

musik “rap” tidak lain adalah disebabkan karena setiap saat telinga mereka dijejali oleh

musik tersebut melalui radio, televisi, film, CD, dan lain sebagainya. Gemar musik “rap”

menjadi gaya hidup remaja. Lalu kalau mereka tidak menyukai musik “rap”, dia bukan

remaja. Perilaku seseorang ditentukan oleh gaya hidup orang-orang lain yang ada di

sekelilingnya , bukan oleh dirinya sendiri. Kepribadiannya hilang individualitasnya

lenyap. Itulah manusia modern, demikian menurut pandangan penganut “posmo”.

Intinya, teori peran, pernyataan-harapan, dan posmodernisme memberikan ilustrasi

perspektif struktural dalam hal bagaimana harapan-harapan masyarakat mempengaruhi

perilaku sosial individu. Sesuai dengan perspektif ini, struktur sosial – pola interaksi yang

sedang terjadi dalam masyarakat – sebagian besarnya pembentuk dan sekaligus juga

penghambat perilaku individual. Dalam pandangan ini, individu mempunyai peran yang

pasif dalam menentukan perilakunya. Individu bertindak karena ada kekuatan struktur

sosial yang menekannya.

4. Perspektif Interaksionis (Interactionist Perspective)

Seorang sosiolog yang bernama George Herbert Mead (1934) yang mengajar

psiokologi sosial pada departemen filsafat Universitas Chicago, mengembangkan teori

ini. Mead percaya bahwa keanggotaan kita dalam suatu kelompok sosial menghasilkan

perilaku bersama yang kita kenal dengan nama budaya. Dalam waktu yang bersamaan,

dia juga mengakui bahwa individu-individu yang memegang posisi berbeda dalam suatu

kelompok, mempunyai peran yang berbeda pula, sehingga memunculkan perilaku yang

16

juga berbeda. Misalnya, perilaku pemimpin berbeda dengan pengikutnya. Dalam kasus

ini, Mead tampak juga seorang strukturis. Namun dia juga menentang pandangan bahwa

perilaku kita melulu dipengaruhi oleh lingkungan sosial atau struktur sosial. Sebaliknya

Mead percaya bahwa kita sebagai bagian dari lingkungan sosial tersebut juga telah

membantu menciptakan lingkungan tersebut. Lebih jauh lagi, dia memberi catatan bahwa

walau kita sadar akan adanya sikap bersama dalam suatu kelompok/masyarakat, namun

hal tersebut tidaklah berarti bahwa kita senantiasa berkompromi dengannya.

Mead juga tidak setuju pada pandangan yang mengatakan bahwa untuk bisa

memahami perilaku sosial, maka yang harus dikaji adalah hanya aspek eksternal

(perilaku yang teramati) saja. Dia menyarankan agar aspek internal (mental) sama

pentingnya dengan aspek eksternal untuk dipelajari. Karena dia tertarik pada aspek

internal dan eksternal atas dua atau lebih individu yang berinteraksi, maka dia menyebut

aliran perilakunya dengan nama “social behaviorism”. Dalam perspektif interaksionis ada

beberapa teori yang layak untuk dibahas yaitu Teori Interaksi Simbolis (Symbolic

Interaction Theory), dan Teori Identitas (Identity Theory).

a. Teori Interaksi Simbolis (Symbolic Interaction Theory)

Walau Mead menyarankan agar aspek internal juga dikaji untuk bisa memahami

perilaku sosial, namun hal tersebut bukanlah merupakan minat khususnya. Justru dia

lebih tertarik pada interaksi, di mana hubungan di antara gerak-isyarat (gesture) tertentu

dan maknanya, mempengaruhi pikiran pihak-pihak yang sedang berinteraksi. Dalam

terminologi Mead, gerak-isyarat yang maknanya diberi bersama oleh semua pihak yang

terlibat dalam interaksi adalah merupakan “satu bentuk simbol yang mempunyai arti

penting” ( a significant symbol”). Kata-kata dan suara-lainnya, gerakan-gerakan fisik,

bahasa tubuh (body langguage), baju, status, kesemuanya merupakan simbol yang

bermakna.

Mead tertarik mengkaji interaksi sosial, di mana dua atau lebih individu berpotensi

mengeluarkan simbol yang bermakna. Perilaku seseorang dipengaruhi oleh simbol yang

dikeluarkan orang lain, demikian pula perilaku orang lain tersebut. Melalui pemberian

isyarat berupa simbol, kita mengutarakan perasaan, pikiran, maksud, dan sebaliknya

17

dengan cara membaca simbol yang ditampilkan orang lain, kita menangkap pikiran,

perasaan orang lain tersebut. Teori ini mirip dengan teori pertukaran sosial.

Interaksi di antara beberapa pihak tersebut akan tetap berjalan lancar tanpa gangguan

apa pun manakala simbol yang dikeluarkan oleh masing-masing pihak dimaknakan

bersama sehingga semua pihak mampu mengartikannya dengan baik. Hal ini mungkin

terjadi karena individu-individu yang terlibat dalam interaksi tersebut berasal dari budaya

yang sama, atau sebelumnya telah berhasil memecahkan perbedaan makna di antara

mereka. Namun tidak selamanya interaksi berjalan mulus. Ada pihak-pihak tertentu yang

menggunakan simbol yang tidak signifikan – simbol yang tidak bermakna bagi pihak

lain. Akibatnya orang-orang tersebut harus secara terus menerus mencocokan makna dan

merencanakan cara tindakan mereka.

Banyak kualitas perilaku manusia yang belum pasti dan senantiasa berkembang :

orang-orang membuat peta, menguji, merencanakan, menunda, dan memperbaiki

tindakan-tindakan mereka, dalam upaya menanggapi tindakan-tindakan pihak lain. Sesuai

dengan pandangan ini, individu-individu menegosiasikan perilakunya agar cocok dengan

perilaku orang lain.

b. Teori Identitas (Identity Theory)

Teori Indentitas dikemukakan oleh Sheldon Stryker (1980). Teori ini memusatkan

perhatiannya pada hubungan saling mempengaruhi di antara individu dengan struktur

sosial yang lebih besar lagi (masyarakat). Individu dan masyarakat dipandang sebagai

dua sisi dari satu mata uang. Seseorang dibentuk oleh interaksi, namun struktur sosial

membentuk interaksi. Dalam hal ini Stryker tampaknya setuju dengan perspektif

struktural, khususnya teori peran. Namun dia juga memberi sedikit kritik terhadap teori

peran yang menurutnya terlampau tidak peka terhadap kreativitas individu.

Teori Stryker mengkombinasikan konsep peran (dari teori peran) dan konsep diri/self

(dari teori interaksi simbolis). Bagi setiap peran yang kita tampilkan dalam berinteraksi

dengan orang lain, kita mempunyai definisi tentang diri kita sendiri yang berbeda

dengan diri orang lain, yang oleh Stryker dinamakan “identitas”. Jika kita memiliki

banyak peran, maka kita memiliki banyak identitas. Perilaku kita dalam suatu bentuk

18

interaksi, dipengaruhi oleh harapan peran dan identitas diri kita, begitu juga perilaku

pihak yang berinteraksi dengan kita.

Intinya, teori interaksi simbolis dan identitas mendudukan individu sebagai pihak

yang aktif dalam menetapkan perilakunya dan membangun harapan-harapan sosial.

Perspektif iteraksionis tidak menyangkal adanya pengaruh struktur sosial, namun jika

hanya struktur sosial saja yang dilihat untuk menjelaskan perilaku sosial, maka hal

tersebut kurang memadai.

RANGKUMAN

Telah kita bahas empat perspektif dalam psikologi sosial. Yang dimaksud dengan

perspektif adalah asumsi-asumsi dasar yang paling banyak sumbangannya kepada

pendekatan psikologi sosial. Perspektif perilaku menyatakan bahwa perilaku sosial kita

paling baik dijelaskan melalui perilaku yang secara langsung dapat diamati dan

lingkungan yang menyebabkan perilaku kita berubah. Perspektif kognitif menjelaskan

perilaku sosial kita dengan cara memusatkan pada bagaimana kita menyusun mental

(pikiran, perasaan) dan memproses informasi yang datangnya dari lingkungan . Kedua

perspektif tersebut banyak dikemukakan oleh para psikolog sosial yang berlatar belakang

psikologi.

Di samping kedua perspektif di atas, ada dua perspektif lain yang sebagian besarnya

diutarakan oleh para psikolog sosial yang berlatas belakang sosiologi. Perspektif

struktural memusatkan perhatian pada proses sosialisasi, yaitu proses di mana perilaku

kita dibentuk oleh peran yang beraneka ragam dan selalu berubah, yang dirancang oleh

masyarakat kita. Perspektif interaksionis memusatkan perhatiannya pada proses

interaksi yang mempengaruhi perilaku sosial kita. Perbedaan utama di antara kedua

perspektif terakhir tadi adalah pada pihak mana yang berpengaruh paling besar terhadap

pembentukan perilaku. Kaum strukturalis cenderung meletakan struktur sosial (makro)

sebagai determinan perilaku sosial individu, sedangkan kaum interaksionis lebih

memandang individu (mikro) merupakan agen yang aktif dalam membentuk perilakunya

sendiri.

Karena banyaknya teori yang dikemukakan untuk menjelaskan perilaku sosial maka

seringkali muncul pertanyaan : “Teori mana yang paling benar ?” atau “teori mana yang

19

terbaik?” . Hampir seluruh psikolog sosial akan menjawab bahwa tidak ada teori yang

salah atau yang paling baik, atau paling jelek. Setiap teori mempunyai keterbatasan dalam

aplikasinya. Misalnya dalam mempelajari agresi (salah satu bentuk perilaku sosial), para

behavioris bisa memusatkan pada pengalaman belajar yang mendorong terjadinya

perilaku agresif – pada bagaimana orang tua, guru, dan pihak-pihak lain yang memberi

perlakuan positif pada perilaku agresif. Bagi yang tertarik pada perspektif kognitif maka

obyek kajiannya adalah pada bagaimana seseorang mempersepsi, interpretasi, dan

berpikir tentang perilaku agresif. Seorang psikolog sosial yang ingin menggunakan teori

medan akan mengkaji perilaku agresif dengan cara melihat hubungan antara karakteristik

individu dengan situasi di mana perilaku agresif tersebut ditampilkan. Para teoritisi

pertukaran sosial bisa memusatkan pada adanya imbalan sosial terhadap individu yang

menampilkan perilaku agresif. Jika memakai kacamata teori peran, perilaku agresif atau

tidak agresif ditampilkan oleh seseorang karena harapan-harapan sosial yang melekat

pada posisi sosialnya harus dipenuhi.

Demikianlah, setiap teori bisa digunakan untuk menjadi pendekatan yang efektif tidak

untuk semua aspek perilaku. Teori peran lebih efektif untuk menjelaskan perilaku X

dibanding dengan teori yang berperspektif kognitif, misalnya.

Buku Acuan :

Theories of Social Psychology – Marvin E. Shaw / Philip R. Costanzo, Second Edition,

1985, McGraw-Hill, Inc.

Thinking Sociologically, Sheldon Goldenberg, 1987, Wadsworth, Inc.

Social Psychology, James A. Wiggins, Beverly B. Wiggins, James Vander Zanden, Fifth

Edition, 1994, McGraw-Hill, Inc.

Sociology, Concepts and Uses , Jonathan H. Tuner, 1994. McGraw-Hill Inc.

20

Social Psychology, Kay Deaux, Lawrence S. Wrightsman, Fifth Edition, 1988,

Wadsworth, Inc.